Sebelumnya aku mau minta maaf untuk beberapa bagian di part ini yang akan menimbulkan reaksi antipati karena membuat catatan ini seperti drama. Maaf sekali kalau ada yang keberatan untuk itu, aku tidak bisa menghilangkan bagian-bagian itu karena akan menghilangkan esensi ceritanya.
Dan karena kepanjangan terpaksa dibagi di dua post ya
Ketika aku membuka mataku, aku sedang berada dalam sebuah tempat yang sangat gelap. Tapi anehnya, aku masih bisa melihat dengan jelas tangan dan tubuhku.
Aku menatap ke sekelilingku, namun tidak nampak apapun, hanya kegelapan yang menghitam dan meluas seakan tanpa ujung.
“Ayano…?” panggilku yang dijawab dengan kesunyian. Tidak ada suara apapun disini.
Rasa takut mulai merayap naik sampai ke tenggorokanku. Dan aku harus bersusah payah untuk menahan diriku agar tidak mulai menangis.
Aku ketakutan…
Dan kegelapan adalah salah satu hal yang paling aku takutkan…
Dengan panik aku mencari-cari di sakuku.
Handphone!!
Aku terkejut karena tidak menyangka kalau benda itu masih kubawa di sakuku.
Aku segera menyalakan benda itu dan ketika layarnya menunjukkan fotoku dengan Ayano, Cindy dan Rina saat terakhir kalinya kami berpergian bersama, hatiku menjadi sedikit lebih tenang...
“Huuffff… huuupppp!!” Aku menghembuskan nafas dan menarik nafas panjang sebelum memutuskan untuk berdiri.
Dengan berbekal cahaya dari handphoneku, aku berusaha menerangi jalanan di depanku.
“Apa ini mimpi?”
“Atau aku masih berada di villa?”
“Mengapa segelap ini sih?”
Aku menyuarakan pendapatku dengan keras dengan harapan seseorang akan mendengarku. Aku sangat takut sendirian di kegelapan seperti ini.
“Ayano…” bisikku gemetar di dalam ketakutan. Kemana dia? Aku sudah terlalu terbiasa dengan keberadaannya yang hampir-hampir tidak pernah jauh dari sisiku. Terutama dalam menghadapi ‘mereka’. Aku tidak sadar kalau ternyata aku sudah sangat bergantung pada keberadaan cowok itu.
Dan sekarang… aku merasa sangat rapuh…
Dan sangat ketakutan…
‘bzzt’
Sebuah suara gesekan dan gerakan berkelebat terlihat dari sudut mataku.
Aku segera berbalik dan mengarahkan cahaya dari handphoneku ke arah suara itu.
Sebuah cahaya berwarna ungu terlihat bagaikan melayang di kejauhan.
Will-o-wisp kah itu? Pikirku.
Aku mendekati perlahan cahaya ungu itu. Semakin dekat, aku memperhatikan kalau cahaya ungu itu lama kelamaan berubah sosok menjadi sosok orang tua.
Setelah aku melihatnya lebih jelas, tubuh dari orang tua itu sama sekali bukan tubuh renta. Tubuhnya penuh dengan otot dan bertelanjang dada kalau saja sosok tua itu tidak mengenakan toga yang hampir-hampir mirip dengan toga orang yunani hanya diikat di salah satu bahu sedangkan bahu lainnya tidak.
Wajah renta itu melihatku, aku dapat melihat matanya yang seakan memiliki pusaran di bola matanya. Pusaran berwarna keunguan yang berputar dan menatapku tajam.
Terlepas dari auranya yang gelap, sosok ‘kakek’ ini terlihat bijaksana ketika menatapku.
Kakek itu tersenyum “Mendekatlah..” katanya dalam kepalaku tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali.
Mata bijaksana itu nampak seperti mempelajariku sejenak. “Oh, ini menarik” kata ‘kakek’ itu. “Kurban dari ‘M******’?” tanyanya, namun aku merasa kalau seakan dia tidak menanyakan itu padaku. Hanya sebuah pertanyaan pada dirinya sendiri.
Kemudian matanya membelalak dan aku melihat ekspresi seakan dia sedang melihat sesuatu yang menarik.
“Bukan.. bukan kurban, tapi kau ‘ditandai’ oleh setan kecil itu ya?” tanyanya lagi. Sekali lagi bukan bermaksud mendapatkan jawaban dariku, karena kemudian ‘kakek’ itu mengangguk-angguk sambil menggaruk-garuk janggutnya.
“Eh…” aku membuka mulutku untuk bertanya, namun ‘kakek’ itu mengacungkan tangannya untuk menyuruhku diam. “Tidak perlu bicara apa-apa” katanya “A-ni mengerti, anaknu khah yal akan memberikanmu kemampuan yang sama” (Aku tidak mengerti arti istilah-istilah itu, tapi entah mengapa sampai ketika aku menuliskannya dalam Diary dua hari setelahnya, aku masih mengingat kata-kata itu dengan baik).
Dan kemudian ‘kakek’ itu melakukan sesuatu yang mengubah segalanya menjadi lebih buruk untukku.
‘Kakek’ itu mengarahkan tangannya padaku dan seketika itu, aku merasakan lututku kehilangan tenanganya.
Aku terjatuh hingga berlutut tepat di depan ‘kakek’ itu tepat di depannya hingga tangannya bisa mencapai wajahku.
“Lif koh ahh” kata ‘kakek’ itu menggema dalam kepalaku.
Dan seketika itu juga kedua bola mataku terasa sangat panas, sangat-sangat panas seakan keduanya terbakar dari dalam.
“Ahhhh!!! Ahhhhh!!!” samar-samar aku dapat merasakan diriku terjatuh, namun rasa sakit di kedua bola mataku jauh lebih menyita perhatianku. Aku mencengkram kedua bola mataku, rasa sakit yang tidak tertahankan itu membuatku rasanya ingin mencongkelnya keluar agar sakitnya hilang.
“AAAHHHHH!!!!” aku berteriak-teriak sekencang-kencangnya sambil tetap menahan rasa terbakar di kedua bola mataku.
“Elisa….”
“Elisa……..”
“Elisa………..”
Samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Rasa sakit pada kedua bola mataku mereda sedikit walaupun belum hilang.
“Elisa!!”
Suara yang memanggil namaku kini terdengar lebih jelas. Dan aku merasa kalau aku seharusnya mengenal suara itu.
Dan kemudian, aku merasakan kehangatan pada tubuhku dan sakit pada kedua mataku kembali mengilang dengan drastis ketimbang sebelumnya.
Kemudian aku membuka kedua mataku.
Tepat di depanku, wajah Ayano terlihat sedang menatapku dengan ekspresi panik dan takut.
“Elisa!!” teriaknya memanggilku dan kemudian memelukku.
Eh? Eh?....
Aku terlalu terkejut dan lemah untuk bisa bereaksi dengan cepat.
Sesaat kemudian, aku merasakan perasaan menusuk pada kedua bola mataku “Aduh!!” keluhku.
Ayano melepaskan pelukannya “Elisa?” katanya sambil memegang kedua lenganku “Kamu kenapa?”
Aku meletakkan telapak tanganku menutupi mataku. Kegelapan yang disebabkan membuatku sedikit lebih nyaman.
Sedikit….
“Elisa….?” Suara lembut Ayano memanggilku kembali tersadar.
Aku membuka tangan yang menutupi mataku. Ayano, Cindy, Wati dan Felix sedang berdiri di sekelilingku.
Aku melihat sekelilingku, mencoba untuk mengetahui keadaanku saat ini. Aku mendapati kalau aku sedang terbaring di sofa di aula. Lampu-lampu telah dinyalakan di atasku.
Aku melirik ke luar, dan melihat kalau suasana saat ini sudah sangat gelap. Hari sudah berganti malam rupanya.
“Elisa..” panggil Ayano sekali lagi. Aku menatapnya. Dan aku melihat ekspresi khawatir yang sangat kukenal. “Ya koko…?” jawabku.
“Kamu nggak apa?” tanyanya.
“??” aku menatap Ayano dengan bingung.
“Kamu nggak sadar tadi kamu ngapain?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
Jari Ayano mengusap alisku dan menyentuh pinggiran mataku “Daritadi kamu berteriak-teriak sambil berkata kalau matamu sakit…” katanya “Kamu nggak apa?”
“Aku…” aku hendak menceritakan perihal sang ‘kakek’ yang kutemui di… entahlah, mimpi?
Tapi ketika aku melihat pandangan Wati, aku memutuskan kalau aku tidak berani mengambil resiko kalau dia mengetahui ‘rahasiaku’, itupun kalau belum terbongkar.
Jadi aku kembali menggelengkan kepalaku.
“Bener kamu nggak apa?” tanya Ayano lagi memastikan.
Aku mengangguk “Aku cuma agak lapar” kataku.
Ayano tersenyum “Koko udah masakin kamu sup, makan ya. Koko mungkin harus keluar sebentar” katanya.
“Eh?” dengan reflek aku memegang erat bajunya “Koko mau pergi lagi? Kemana? Kenapa?” desakku.
Aku tidak menyadarinya sampai kemudian, tapi sepertinya aku masih sangat terguncang dengan ‘mimpi’ tadi.
Ayano menatapku dengan bingung, namun kemudian tangannya menakup tanganku yang memegang lengan bajuku “Tenang, koko nggak akan jauh-jauh…”
“Kemana?” desakku.
“Diana…” katanya “Kamu masih ingat soal Diana yang membuat kamu pingsan?”
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi sebelum aku bangun di ‘ruangan gelap’ itu.
Benar… hal terakhir yang kuingat adalah Diana melompat ke arahku dan… rasa sakit di kepalaku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Sepertinya ‘sesuatu’ sedang merasuki Diana” kata Felix dari belakang Ayano “Dan setelah dia membuat kepalamu bocor, dia mengurung diri di ruangan belakang yang sepertinya adalah gudang” jelasnya lagi.
Dengan reflek aku bermaksud memegang daerah belakang kepalaku dan tanganku ditahan oleh Ayano “Jangan dipegang dulu” katanya.
“Parah?” tanyaku.
“Nggak juga” jawab Ayano “Tapi jangan dipegang dulu, koko baru kompres aja” katanya sambil menurunkan tanganku. “Nah, sekarang kamu makan dulu ya” bujuknya.
Aku mengangguk.
“Koko akan ambilkan sup buat kamu, terus koko dan cowok-cowok akan coba dobrak pintu gudang tempat Diana masuk itu” katanya.
Ketika Ayano bicara seperti itu, tiba-tiba aku merasakan pandanganku mulai nanar.
Dan sesaat kemudian, aku melihat ruangan gelap yang hanya diterangi oleh satu lampu kecil. Ruangan itu sempit dan berdebu.
Ini di gudang?
Kenapa bisa…. Oh!!?
Aku melihat Diana!! Gadis itu tengah meringkuk di tengah-tengah gudang. Tangannya memeluk lutut dan badannya gemetar sangat hebat.
“Diana!! Diana!!!” teriakku, namun aku tidak bisa beranjak dari tempatku berada. Dan Dianapun tidak dapat mendengar suaraku.
Kemudian aku melihat, seekor ular berwarna putih seakan keluar begitu saja dari tubuh Diana, ular itu melata menyusuri ruangan, dan kemudian berhenti untuk…. Menatapku.
Ya, ular itu menatap tepat ke arahku.
Aku merasakan hatiku ciut, dan seketika kemudian, pemandangan berubah. Kini aku berada di dalam kamar, aku melihat ke bawah dan mendapati Dewi yang sedang tertidur.
Ini.. apa-apaan?
Dan sebelum aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalaku, aku melihat seekor kucing putih. Sangat putih seakan terbuat dari salju yang masuk menembus jendela dan mendekati Dewi, sekali lagi, hewan itu juga berhenti dan menatap tepat ke arahku.
Saat itulah aku kembali berada di bawah tatapan khawatir Ayano. “Lisa? Kamu betul enggak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Diana… Diana udah nggak kerasukan ko, dia lagi kedinginan di gudang…” bisikku.
Ayano terbelalak kaget mendengar kata-kataku. “Lisa?” bisiknya pelan matanya melirik khawatir pada teman-temanku yang lain. Dan aku baru mengingat kalau kami tidak sendirian di ruangan ini.
“Aku… mimpi…” kataku “Dan Dewi!! Dewi dalam bahaya!!”
Aku melihat ekspresi khawatir Ayano sejenak, kemudian dia segera berdiri dan meneriakkan beberapa hal pada teman-temanku yang lain.
Dia menunjuk pada boy A dan boy B, “Ke tempat Diana!!” serunya. Dan kedua cowok itu langsung melompat pergi dan segera berlari ke arah samping villa ini dan menghilang seiring dengan suara debumban pintu.
“Felix! Tolong soal Dewi!!” kata Ayano pada Felix yang sudah berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Ok!!” katanya dan diapun melesat ke kamar Dewi dengan diikuti Cindy dan Wati.
Sekarang tinggal aku berdua dengan Ayano.
“Lisa.. kamu mau jelasin ke koko?” tanyanya.
Aku mengangguk, kemudian menceritakan mengenai ‘mimpi’ku bertemu dengan ‘kakek’ itu.
Selesai mendengar ceritaku, Ayano hanya menghela napas dan menatapku sekali lagi dengan pandangan yang sangat kukenal, pandangan khawatir.
Dan aku tidak suka itu.. aku tidak mau membuatnya khawatir….
“Aku nggak apa kok ko” kataku coba meyakinkan dia. “Manatau ini mata jadi beguna banget! Bisa jadi pemburu hantu nih” kataku dengan keceriaan yang sedikit kulebih-lebihkan.
Alih-alih termakan oleh kebohonganku, Ayano hanya memberiku senyuman kecil dan mengusapkan tangannya di alis mataku “Sekarang masih sakit?” tanyanya.
Aku menggeleng dan kemudian nafasku tercekat, matanya menatapku seakan menembusku. Kemudian dia menyunggingkan senyuman separuhnya yang khas dan tanpa memberiku aba-aba, dia menggendongku a-la princess style.
“Ko?!” tanyaku terkejut.
“Hmm?” gumamnya singkat.
“Turunin aku, kenapa digendong begini?” tanyaku lagi.
“Kita ke ruang makan” katanya “Kamu makan dulu abis itu istirahat”.
“Ya udah, tapi aku kan bisa jalan” kataku sambil meronta dari gendongannya.
“Eits!” seru Ayano kemudian mengeratkan gendongannya “Hati-hati, ntar jatuh..” kata Ayano memperingati.
“Makanya turunin!!” desakku, mungkin dengan muka merah sekarang.
“Sssttt..” katanya “Udah nggak usah rewel, udah deket ini…..”
Aku mendengar Ayano sedang mengatakan sesuatu, tapi pandanganku kembali nanar. Kali ini aku berada di luar villa. Aku melihat saat si kucing putih itu melompat dari luar jendela dan mendarat di lapangan rumput tempatku melihatnya.
Kucing itu berjalan sedikit dan bertemu dengan ular putih yang kulihat keluar dari tubuh Diana sebelumnya.
Kedua binatang putih itu saling menatap dengan tatapan memusuhi, kemudian si kucing putih menunjukkan taringnya dan menggembungkan badannya, sedangkan ular putih meliuk-liukkan leher dan badannya dengan posisi siap menyerang.
Ketegangan keduanya berlangsung beberapa saat ketika sebuah sosok lain. Sosok yang mengenakan kain compang-camping berwarna hitam sebagai jubahnya sehingga aku sama sekali tidak bisa melihat wujudnya.
Sampai ketika dia membuka jubahnya yang compang-camping itu.
Sosoknya seperti sosok mahluk biru di film *vatar. Namun puluhan kali lebih mengerikan daripada itu. Kesamaannya hanya terletak di wajah mahluk itu.
Tubuhnya berwarna hijau dan coklat dan terlihat kotor ketimbang berwarna biru mengkilap. Tubuhnya seperti tubuh manusia kurus, tangannya panjang hingga mencapai lututnya, dan sebelah tangannya, kalau tidak salah sebelah kiri, dari lengan sampai ujung jarinya tidak dilapisi oleh daging, hanya tengkorak yang ditutupi oleh kulit yang berkeriput. Sedangkan dari pinggang sampai ujung kakinya ditutupi oleh bulu-bulu berwarna hitam yang nampak hidup dan bergerak-gerak.
Kedua binatang yang hendak berkelahi tadi terdiam dan nampak seperti melakukan penghormatan pada mahluk yang baru saja datang itu.
Mahluk itu kemudian mencengkram kedua binatang itu dengan masing-masing tangannya dan…
Mendorongnya masuk ke dalam tubuhnya, lengkap dengan meongan dan desisan yang terdengar penuh derita dalam prosesnya.
“Uhhh….” Keluhku mual melihat kejadian itu.
Dan saat itulah mahluk itu menatapku. Pada saat itu aku sangat yakin kalau dia bisa melihatku. Karena dia menyeringai mengerikan kepadaku.
Kemudian dia membungkukkan badannya dan melompat ke arahku.
“Ahhhh!!!” teriakku.
=== Cerita Selanjutnya ===