Namun, kami sama sekali tidak menemukan apa-apa. Yang terjadi malah kami menemukan keanehan dari pemandangan di dapur itu.
Pisau yang menancap di talenan menghilang…
Dan kami sama sekali tidak mendatangi dapur ini sebelumnya, alih-alih membereskannya.
“Pisau…. Pisaunya hilang” Gumam Felix di sampingku. Sepertinya dia juga memperhatikan hal yang sama sepertiku.
Perasaanku agak tidak enak ketika mengetahui pisau itu hilang. Pada saat itulah Wati berteriak “Eh, itu si Dewi di luar!” katanya. “Eh? Sama siapa itu dia?” lanjutnya.
Aku buru-buru menengokkan kepalaku ke arah Wati melihat. Dan ya… Dewi sedang diluar, di bawah pohon rindang yang tinggi besar. Dia sedang bersama orang yang terlihat menuntunnya dengan menggenggam tangannya.
“Siapa itu?” tanya boy A dan boy B yang baru saja ikut bergabung bersama kami.
Aku, Ayano, Cindy dan Felix menutup mulut kami rapat-rapat.
Bukan karena kami berniat merahasiakan mengenai “siapa” sosok itu. Tapi karena sosok itu sudah jelas bukan mahluk hidup, tidak, bahkan sosok itu sama sekali bukan manusia.
Kenapa?
Karena tidak ada manusia yang mempunyai tangan sekurus gagang sapu.
Atau tengkorak, sepertinya…..
Entahlah, yang pasti sosok itu membuat pucat ketiga orang temanku, termasuk aku… mungkin….
“Hei..hei.. sepertinya orang itu sedang mengajak Dewi ke dalam hutan?” seru si boy A sambil menunjuk ke arah Dewi dan sosok aneh itu.
“Hentikan mereka!!!”
Ayano berteriak. Aku belum pernah mendengar dia berteriak sebelumnya. Tapi wajahnya terlihat sangat tegang, dan aku menyadari dia sedang mengepalkan tangannya dengan sangat keras hingga terlihat kukunya menancap pada telapak tangannya hingga memutih.
“Ko?” panggilku.
Ayano sepertinya masih mengenali suaraku, karena dia menoleh dan menggosok wajahnya dengan tanganya dan menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya. Kebiasaan yang sering dilakukannya saat stress.
“Hentikan mereka” katanya lagi, kali ini dia mengatakannya tanpa berteriak. Tapi ketegasan dari suaranya masih dapat kurasakan “Hutan terlalu berbahaya, ajak Dewi kembali!!” ajaknya pada boy A dan boy B.
Mereka berdua mengangguk dan kemudian bersama-sama dengan Ayano berlari ke luar.
Tidak lama kemudian Felix juga ikut mengejar mereka.
Dan aku merasakan lenganku ditarik. “Ayo Lis!! Mending kita ikutan, dan lu lebih aman deket suami lu!!” seru Cindy sambil menarik tanganku.
“Siapa yang suami……” kataku terputus karena menyadari kalau percuma saja membantah kata-kata Cindy yang sudah sangat terfokus menatap ke depan.
Aku melihat Wati lari mendahului kami. Dan aku juga melihat kalau jauh di depan kami, Dewi dan ‘sosok’ yang sedang menggandeng tangannya tampak menengok kepada kami yang sedang berlari menuju tempatnya, dan kemudian merekapun ikut berlari masuk ke dalam hutan.
“Dewi!! Berhenti!!” panggil Ayano berteriak yang diikuti oleh boy A dan boy B.
Tapi Dewi tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti dan bahkan tidak menengok ke arah kami sekalipun lagi.
Untuk mengikuti Dewi dan ‘sosok’ misterius itu, boy A dan boy B berlari memasuki hutan. Sedangkan Ayano berbalik dan menunggui sampai aku tiba di sisi luar hutan itu.
“Ko?” tanyaku padanya ketika mencapai tempatnya menungguku.
Dia mengulurkan tangannya dan menggandengku “Koko merasakan firasat kurang enak… dan sebaiknya koko tidak berpisah dari kamu, takut ada apa-apa” jelasnya.
Felix menatap kami berdua dan memutuskan untuk melakukan hal yang sama pada Cindy.
Sedangkan Wati berlari melesat masuk ke dalam hutan menyusul kedua cowok yang sudah masuk duluan.
“Lix…” panggil Ayano sambil berlari “Kasitau gua apa yang lu liat” pintanya.
“Gua nggak ngelihat apapun” kata Felix sambil terengah-engah.
“Apa aja boleh!” desak Ayano.
“Serius!! Gua nggak bisa lihat apapun, semuanya berkabut di mata gua” balas Felix “Harusnya lu tanya dia” teriaknya sambil menunjukku.
Ayano melirikku sejenak, dan menarikku mendekat untuk bersembunyi di punggungnya. “Jangan bawa-bawa Elisa..” geramnya.
Eh?
Apa maksudnya?
“Apa maksud lo?” tuntut Felix “Jangan ngelibatin dia? Jelas-jelas dia lebih bisa ngeliat daripada gua!!” semburnya sambil tetap menunjuk ke arahku yang disembunyikan di belakang punggung Ayano.
“Iya ko.. kenapa?” bisikku pada Ayano.
Ayano berbalik ke arahku, wajahnya penuh dengan kekhawatiran “Justru karena kamu sendiri aja yang bisa lihat Lis…” katanya dengan lembut “Koko nggak mau ‘mahluk’ itu tau kamu bisa lihat dia dengan jelas. Koko nggak mau ambil resiko ‘mahluk’ itu nempel sama kamu”
Waktu itu aku benar-benar merasa terharu ketika mendengarnya. Aku bahkan tidak berpikir sampai ke sana. Aku mengerti alasan Ayano melakukannya. Namun sayangnya, kita sedang berbicara mengenai salah seorang teman kami yang menghilang. Dan mungkin saja bisa mengalami nasib buruk.
Karena itulah aku memutuskan untuk tetap membantu. Meskipun aku merasa bersalah pada Ayano…
“Thanks..” kataku pada Ayano. “Tapi, Dewi perlu ditolong ko, dan aku bisa lihat ‘mahluk’ itu pergi kemana” tambahku.
Mata Ayano terbelalak, namun suara yang kudengar bukanlah suaranya, melainkan Felix “Kamu bisa tau kemana dia pergi?” tanya Felix tidak percaya.
Aku mengangguk “Aura ‘mahluk’ itu terlihat olehku seperti meninggalkan jejak asap yang mengarah ke dalam hutan.
“Ke sana!!” tunjukku.
Ayano dan yang lainnya melihat ke arah yang kutunjuk.
“Baiklah” Ayano mengangguk. “Semuanya, ke arah sana!! Gua liat Dewi sekilas!!” teriaknya kepada Wati, boy A dan boy B yang sudah berada agak jauh dan berlawanan arah dengan arah kemana ‘mahluk’ itu pergi.
Aku menatap Ayano bingung. Dia balas menatapku dan berkata “Kasihtau koko aja petunjuknya. Koko nggak mau ambil resiko kamu ketahuan sama ‘mereka’ ataupun sama teman-teman yang lain”
Ah… benar juga.. pikirku.
Ayano kembali menggandengku selama kami memasuki daerah hutan lebih dalam lagi.
‘Asap’ seperti kabut berwarna hitam yang ditinggalkan oleh ‘mahluk’ itu semakin pekat. Aku yakin kalau kami sudah sangat dekat dengannya.
Pengejaran kami terhenti pada pohon besar berada di hutan itu. Aku melihat kabut asap ‘mahluk’ itu berkumpul bagaikan awan di dasar pohon itu.
Namun hanya itu saja. Aku tidak melihat lagi kabut asap itu ke tempat lainnya. Ini adalah ujung terakhir dari jejak ‘mahluk’ itu.
Aku memberitahukan hal itu pada Ayano. Wajahnya tampak bingung dan dia segera mengatakannya pada Felix yang pada saat ini sudah hampir kehilangan seluruh warna dari wajahnya dan terengah-engah dengan keringat mengucur deras.
Felix nampak bingung mendengar penjelasan dari Ayano itu, namun kemudian dia seakan berpikir sesuatu, dan mengatakan satu kata yang disebutkannya dengan susah payah karena kehabisan nafas.
Jebakan?
Itulah kata-kata Felix yang berhasil dia keluarkan.
Tidak perlu waktu lama untukku dan Ayano untuk mengerti kata-kata Felix itu. Jebakan? Benar juga… apa dasarnya aku memutuskan kalau jejak itu adalah dari ‘mahluk’ itu? Kenapa aku bahkan tidak memperkirakan kalau itu bisa saja upaya ‘mahluk’ itu untuk mengarahkan kami pada arah yang salah?
Memikirkan kalau kesalahanku ini bisa saja mengakibatkan Dewi menjadi korban membuat perutku serasa melilit dan diremas-remas. Aku diselimuti panik, bulir-bulir keringat dingin mulai mengalir di wajahku. Aku merasa dingin pada tubuhku. Ingatan akan ‘kematian’ Robert membuatku sangat panik.
Aku benar-benar tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Rasa takut dan bersalah menguasai diriku dan mengambil semua tenaga yang ada dalam diriku untuk tetap berdiri tegak.
Aku jatuh terduduk.
“Elisa!!” teriak Ayano yang terdengar bagiku seakan terdengar dari tempat yang jauh dan menggema.
Pandanganku mulai kabur dan gelap.
Aku merasakan pelukan Ayano di tubuhku, namun aku seakan tidak bisa membuat tubuhku bergerak. Sementara, panggilan Ayano kepadaku menggema dari tempat yang jauh.
Kesadaranku hampir saja hilang dan gelap ketika aku mendengar satu teriakan yang mengembalikan semua indraku bersamaan.
Teriakan dari Wati “Itu dia!! Dewi!! Di sana!!!” teriaknya.
Aku merasakan sesuatu yang kurasa adalah pacuan adrenalin. Kalimat Wati itu membuat kesadaranku pulih. Harapan!! Aku tidak membawa temanku ke arah yang salah… Dewi ada di sini…
Pikiranku saat itu benar-benar bagaikan badai, karena aku memikirkan berbagai hal sekaligus hingga kepalaku terasa pusing karenanya.
Aku menatap ke arah Wati yang masih berteriak-teriak sambil menunjuk ke atas.
Sebentar…
Ke atas?
Aku menengadahkan kepalaku dan melihat Dewi sedang berada di ranting pohon besar yang berada kurang lebih 5 meter di atas kami.
“Dewi!!” teriak kawan-kawan kami “Kamu ngapain di atas? Turun Wi!!” pinta Wati.
Sementara kami berteriak-teriak memanggil Dewi, gadis itu menatap kami dengan pandangan kosong.
Dan seketika, pandangan kosong itu memudar dan membentuk sebuah senyuman jahat.
“Hihihi…” tawa lirih terdengar dari mulut Dewi. Meskipun suara itu bukanlah suara milik gadis itu.
Gadis itu memiliki suara yang sedikit unik karena falsetto yang seakan selalu keluar sementara dia bicara. Tapi suara ini tajam dan tinggi bagaikan lengkingan.
“Hihihihi… hihihihi… hihihihi!!!” tawanya lagi dengan suara kencang.
Mendengar tawa itu, aku merasakan seluruh bulu kudukku meremang. Wati dan yang lainnya pun terdiam menatap kawannya yang tertawa itu.
Kemudian, dengan mengacuhkan kengerian kami semua, Dewi berdiri di dahan pohon besar itu dengan lincah. Dan melompat turun…..
“Waaaahhh!!!”
“Ahhhhhhh!!!”
Kami semua berteriak ketakutan ketika Dewi melompat turun.
Tapi gadis itu hanya meluncur kurang lebih dua meter dan melakukan hal yang mengejutkan.
Dia mencengkram batang pohon besar itu dengan tangannya dan merangkak turun seperti laba-laba.
Kami semua menganga melihat pemandangan itu.
Dewi terus merangkak turun dengan cepat dan melompat ke tanah dari jarak dua meter dan mendarat dengan tangan dan kakinya.
“Hihihihi….” tawa Dewi sembari berdiri goyah di depan kami.
“Dewi!!” teriak boy A sambil mendekati dan memegang lengan Dewi dan mengguncang-guncangkan gadis itu.
Aku melihat sesuatu keluar dari tubuh Dewi, seperti hewan melata yang menghilang dengan cepat di balik pohon.
“Hilang…” gumam Ayano yang berdiri di depanku.
“Apa?” tanyaku.
“Rasa ‘itu’ hilang….” kata Ayano. Yang dia maksudkan adalah perasaan dingin di tulang belakangnya setiap kali ada ‘mereka’ yang jahat di dekat kami.
“Ahh…” aku mendengar Dewi menggumam dan ambruk di pelukan boy A.
“Dewi!! Dewi!!” panggil kami, namun tubuh gadis itu tetap lunglai. Ayano menggandengku untuk maju mendekati tubuh gadis itu dan setelah dekat, ia berlutut di samping Dewi dan memegang pergelangan tangannya.
“Dia hanya pingsan… sepertinya” kata Ayano. “Tapi detaknya lemah dan tubuhnya sangat dingin…” tambahnya lagi.
Ayano mendongak untuk melihat kerumunan yang mengerubungi Dewi “Kita harus cepat bawa dia balik ke Villa” katanya.
Mendengar itu, boy A menggendong Dewi di punggungnya dan berkata “Ayo!!”.
Tidak ada seorangpun yang membantahnya dan kami semua mencari jalan keluar dari hutan itu. Beruntung sekali aplikasi kompas yang ada di handphone kami masih berjalan dengan baik sehingga tersasar adalah hal yang tidak terlalu kami khawatirkan.
Dan untungnya hal itu memang benar. Beberapa menit kemudian, tanpa kesulitan yang berarti kami berhasil mencapai di pinggiran hutan dan dapat melihat villa kami di kejauhan.
“Hei… ngomong-ngomong… Diana masih belum ketemu lho..” kata boy B mengingatkan kami.
Benar..
Kami terlalu sibuk mengejar Dewi sampai melupakan ada satu teman kami yang masih hilang.
“Untuk sementara kita harus hangatkan Dewi dulu, para cewek nanti bisa jagain Dewi sementara kita cari Diana” kata Ayano yang masih memelukku untuk melindungiku dari semak-semak tajam di jalan setapak hutan.
Seluruh kawanan kami mengangguk setuju. Terlalu lelah untuk berkomentar apapun.
Sebenarnya aku juga sudah terasa lelah. Kami bahkan belum makan siang. Perutku sudah mulai memberontak semenjak kami meninggalkan hutan dan menginjak padang rumput yang terawat di depan villa tempat kami menginap.
Kami mencapai villa tanpa gangguan apapun lagi, membaringkan Dewi dan menyelimutinya agar hangat. Kemudian Wati mengusulkan untuk membuat coklat panas untuk mengisi energi kami sementara. Cindy mengikutinya sementara aku terduduk di salah satu bangku karena kelelahan.
Para cowokpun tampak kelelahan. Ayano duduk tidak jauh dariku, sebelumnya dia mengatakan dilemanya untuk meninggalkan aku apabila dia akan mencari Diana dengan para cowok lain. Tapi dia juga mengatakan lebih banyak orang akan membantu dalam pencarian, apalagi hari semakin gelap dan akan semakin berbahaya.
Sedangkan aku dengan egois memintanya untuk tidak ikut.
Setelah hal yang terjadi hari ini, entah mengapa kejadian mengenai Robert yang ‘meninggal’ di hutan menggangguku. Dan aku memutuskan untuk mempercayai firasatku dan tidak memperbolehkan Ayano pergi.
Aku dan Ayano masih berbicara mengenai hal-hal yang terjadi hari ini. Semuanya terjadi begitu cepat dan membingungkan.
Pada saat itulah kami mendengar suara itu. Dari lantai dua.
‘tok…tok…tok….’
‘tok…tok…tok…’
Aku dan Ayano dengan cepat bangkit berdiri dan melihat ke arah lantai dua.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Pasti Ayano dan teman-teman yang lain juga begitu.
Aku melihat Diana….
Diana teman kami yang hilang.
Dan dia sedang berdiri di lantai dua dengan pandangan menyeringai yang sama seperti Dewi.
Setelah itu segala sesuatunya terjadi dengan sangat cepat…
Seiring dengan teriakan nyaring ‘KHIIIIIII!!!!’, Diana melompat dari lantai dua itu.
Menuju ke arahku….
Hal terakhir yang aku ingat adalah beban tubuh Diana yang menimpa tubuhku. Dan rasa sakit di belakang kepalaku.
Kemudian semuanya gelap….
=== Cerita Selanjutnya ===