Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXXIII - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXXIII

Aku masih menatap ke arah kamar Ayano ketika Cindy memanggilku dengan mengguncang-guncangkan tubuhku “Hei, Lisa, lu ngapain bengong gitu?”

“Eh? Ah… enggak apa kok…” jawabku. Sepertinya Cindy tidak menyadari sosok di dalam kamar Ayano itu.

“Nggak usah ngelihatin kamar Ayano begitu kali” godanya, kemudian dia mendekat ke untuk berbisik ke telingaku “nanti malam saja lu nyusup ke kamar Ayano, emang sengaja gua atur supaya lu orang berdua yang di atas” bisiknya.

Aku merasakan wajahku memanas dan menatap Cindy dengan pandangan tidak percaya, sedangkan gadis itu mengedipkan matanya sambil mengacungkan jempol padaku sambil tersenyum penuh arti.

“Haaah?” aku sedikit berteriak karena kaget mendengar kata-kata Cindy itu.

‘Bruk-bruk’

Ayano datang tergopoh-gopoh dari arah dapur “Kamu kenapa Lis?” tanyanya.

Aku buru-buru menggeleng “Nggak, nggak ada apa-apa kok, hanya mengobrol dengan Cindy” jawabku sebelum menatap Cindy dengan kesal “Apa-apaan yang kamu bilang?” desisku mengancam.

Cindy menunjukkan muka polosnya sambil pura-pura bingung.

“Aku.nggak.ada.hubungan.apa-apa.dengan.Ayano!!” desisku sambil melirik ke arah Ayano yang sudah menghilang dibalik tembok penghalang ruangan aula dengan dapur.

“Belum!!” jawab Cindy sembari kabur sambil tertawa-tawa genit.

Astaga… mengapa semua orang menyangka kalau kami ini pacaran. Pikirku.

(Well… jujur sih, waktu itu aku sama sekali belum melihat Ayano sebagai boyfriend material. Ayanopun begitu, awalnya dia hanya melihatku sebagai adik kecil yang harus dilindungi. Lagipula selera Ayano waktu itu hanyalah wanita yang terlihat anggun dan dewasa. Jelas bukan cewek galak dan anti dandan sepertiku. Mungkin gangguan dari ‘mereka’ yang terlalu sering membuat otaknya sedikit rusak sehingga saat ini benar-benar hanya fokus ke diriku. Yahh, aku tidak complain soal itu sih, malah mungkin bersyukur. Hahaha)

Aku masih merasakan wajahku masih panas karena komentar Cindy. Ada-ada saja, pikirku sambil mencoba menghilangkan pikiran kalau Ayano dan aku sampai berpacaran. Waktu itu aku berpikir kalau sepertinya aku akan lebih sering bertengkar daripada bermesraan dengannya. Hahahaha..

(Yeah… waktu membuktikan kalau aku salah…)

Butuh waktu semenit untuk menormalkan kembali wajahku.

Setelah merasa kalau wajahku sudah baik-baik saja, aku berjalan ke arah dapur untuk mencari Ayano dan memberitahukan kepadanya perihal sosok yang kulihat di dalam kamarnya.

Aku menemukan Ayano sedang tengah memasak bersama Diana dan Dewi. Pemandangan yang cukup unik sebenarnya. Karena Ayano sebagai lelaki malahan sedang memberikan petunjuk kepada dua gadis lainnya sedangkan dia sendiri berperan sebagai koki utama.

Dan waktu itu aku tidak menyadari kenapa aku merasa sedikit tidak menyukai pemandangan itu.

Meskipun begitu, aku tidak melakukan apapun untuk mengganggu mereka. Maksudku, aku hanya merasa tidak suka melihat pemandangan di depanku, tapi karena aku tidak punya cukup alasan untuk mengatakannya, aku memutuskan untuk tidak terlalu mengacuhkannya.

Ayano mendongak menatapku ketika menyadari aku sedang berdiri memperhatikan dia.

“Elisa?” panggilnya “Ada apa?”

“Nggak kok, baunya harum… jadi aku kemari” jawabku berbohong. Tentu saja, mana mungkin aku mengatakan tentang kemungkinan adanya ‘mereka’ ketika ada orang lain selain Ayano, aku dan Cindy.

Oh, aku melupakan satu orang lagi. Felix.

Dan Ayano terlalu mengenalku untuk percaya kebohonganku. Tentu saja.

Ayano memandang wajahku dan berkata tanpa suara “…’mereka’ ya?...” bisiknya tanpa suara.

Aku mengangguk.

Dia menengok ke kedua gadis di belakangnya dan berkata lagi padaku, tanpa suara “Ok.. sebentar ya…” bisiknya.

Kemudian dia berbalik dan mengatakan beberapa petunjuk cara untuk menyelesaikan masakan yang sedang mereka buat kemudian Ayano sendiri berjalan ke arahku.

“Ada apa?” tanyanya.

Aku membawanya pergi dari dapur untuk menghindari pembicaraan kami terdengar oleh yang lainnya.

Kemudian aku menceritakan hal-hal yang baru kualami, termasuk adanya sosok yang mengintip dari dalam kamar Ayano.

Ayano tampak berpikir sejenak, kemudian menatapku lurus-lurus “Sebenarnya… koko udah mencium bau wangi semenjak awal kita melangkah masuk” katanya.

“Bau wangi? Melati?” tanyaku.

Ayano menggeleng “Sepertinya bukan, tapi memang bau bunga sih. Koko enggak tau bau bunga apa ini.. baunya manis, tapi kalau dicium seperti… gimana ya, ada rasa kesepian? Kayak gitu deh pokoknya” jelas Ayano.

Aku menautkan alisku bingung, informasi yang baru kudapatkan dari Ayano ini membuatku agak takut.

Ayano sepertinya mengetahui itu, karena itu dia berbisik “Jangan takut, koko nggak ngerasakan ‘itu’ “ katanya.

‘Itu’ yang dimaksud oleh Ayano adalah perasaan dingin di tulang belakangnya setiap kali ada sesuatu yang cukup jahat dan kuat yang berada di dekat kami. Baru akhir-akhir ini saja dia bisa merasakan itu.

“Kalau kamu ragu, apa mau tanya Felix?” usul Ayano.

“Felix?” tanyaku kembali karena heran mendengar nama itu disebut oleh Ayano.

Ayano mengangkat bahunya “Entah deh, tapi sepertinya dia tahu banyak soal ‘mereka’ dan sepertinya cukup punya kemampuan untuk mengatasinya atau apalah” kata Ayano.

Seperti Robert, pikirku, dan lihat keadaan Robert waktu itu saat dia mencoba melawan sesuatu yang lebih dari kemampuannya.

Dan lihat nasibnya sekarang…. Pikirku lagi sambil merasa miris dengan nasib yang menimpa Robert.

Aku tidak mau hal itu terjadi pada Felix. Selain karena Cindy sepertinya benar-benar menyayangi cowok itu, juga karena aku tidak mau hal itu terjadi pada seseorang apabila aku bisa mencegahnya. Tidak perlu mengorbankan orang lain… pikirku.

“Tidak perlu” aku mengatakan maksudku pada Ayano.

Ayano menatapku dan berkata dengan senyuman menenangkan a-la dirinya “Kalau begitu semua akan baik-baik saja” katanya sambil menepuk kepalaku.

Aku baru saja hendak mengatakan ‘iya’ ketika gorden yang terpasang menutupi semua jendela villa ini berkibar seakan baru saja ada angin kencang yang meniupnya.

Dan tidak ada angina apapun yang kami rasakan. Padahal aku dan Ayano berdiri di tengah-tengah aula di depan pintu masuk yang terbuka sebelah.

Seperti biasa, Ayano langsung maju dan menyembunyikan tubuhku di balik punggungnya.

‘KRIEET..’

Pintu masuk villa yang hanya terbuka satu, perlahan-lahan menggeser menutup. Sangat pelan sampai akhirnya pintu itu menutup dengan bunyi ‘ceklek’ yang meyakinkan.

Tidak berhenti sampai di sana. Lampu chandelier besar yang menggantung megah di tengah-tengah ruangan aula dan lampu-lampu gantung dengan ukuran lebih kecil yang menggantung di sisi-sisi dinding sebagai sumber penerangan utama di aula ini berkedip-kedip.

“Apa?....” aku menggumam heran melihat kejadian ini.

Kemudian lampu chandelier itu beserta lampu-lampu gantung di sekelilingnya mati berbarengan. Untungnya hari masih siang, sehingga ruangan hanya menjadi redup karena masih ada sinar matahari dari luar yang menembus jendela-jendela kecil di bagian atas dinding aula yang tinggi.

‘tok..tok..tok…’

‘tok…tok…tok…’

Suara itu berasal dari lantai dua. Dengan cepat Ayano dan aku berbalik menatap ke arah suara itu.

Di lantai dua, pada ‘pagar’ railing pembatas yang terbuat dari kayu, terlihat sebuah sosok seakan seseorang sedang berdiri dengan menumpukan tangannya pada pagar kayu itu dan menatap ke arahku dan Ayano.

Aku tidak dapat melihat wajah dari sosok itu karena tidak adanya cahaya matahari yang jatuh ke lantai tersebut. Aku hanya melihat siluetnya.

Sosok itu masih mengetuk-ngetukkan jarinya pada pagar kayu itu sehingga masih membuat bunyi ‘tok…tok…tok….’ Berirama.

Ayano berdiri di antara diriku dan sosok itu.

Kami tetap pada posisi itu untuk beberapa menit sebelum Felix dan Cindy merangsek masuk ke dalam dengan separuh mendobrak pintu masuk aula.

“Elisa!! Ayano!!” teriak Cindy dengan panik seraya menghambur ke arahku dan memelukku.

“Lu nggak apa?” tanya Cindy padaku.

“Hah? Justru aku kira kamu yang kenapa-kenapa” jawabku heran “Kenapa lu? Ketakutan begitu?”.

Mulut Cindy membentuk huruf ‘O’, kemudian menjelaskan dengan cepat “Felix bilang dia ngerasa kalau lu ama Ayano dalam bahaya. Dia bilang ngerasa aura lu ama Ayano disekap ama aura lain yang lebih gelap”

Aku dan Ayano berpandangan.

“Kalian kenapa?” tanya Cindy heran.

Ayano menjawabnya “Sepertinya kami mengerti maksud kalian deh” kata Ayano. “Lis, kamu mau kan ceritain ke mereka dari awal?”

Dan aku melakukannya.

Cindy terlihat pucat sedangkan wajah Felix terlihat datar, tidak ada perubahan ekspresi berarti padanya.

Ayano juga menyadarinya “Lix… kayaknya lu udah tau yang diceritain Elisa?” tanyanya pada Felix.

Felix mengangguk dengan muram. “Iya, gua udah tau, gua bisa ‘lihat’ semuanya terjadi. Walopun kadang nggak jelas dan dalam bentuk aura”

“Aura?” tanyaku.

“Iya, aura..” Felix mengkonfirmasi “Jadi, dari aura kalian bisa…” “AHHHH!!!”

Penjelasan yang ingin dikatakan oleh Felix terpotong karena suara teriakan.

Dari arah dapur!!!

Ayano menatapku sejenak dan sesaat kemudian kami semua berlarian ke arah dapur.

Di dapur, kami melihat Diana sedang terduduk sambil menangis sedangkan Dewi bersandar pada nakas yang berada di sebelah kulkas.

Di tengah-tengah mereka, sebilah pisau dapur yang mengkilat menancap pada talenan kayu yang berada di tengah meja dapur. Tempat Ayano terakhir kalinya sedang membersihkan ikan saat aku datang tadi.

“Ada apa ini?” tanya Ayano.

Diana menatap kami semua, kemudian dengan cepat berdiri dan masuk.ke.dalam.pelukan.Ayano.

Sambil tetap terisak tentunya.

“Diana?” Ayano bertanya pada gadis yang tidak berhenti menangis di dadanya.

Kemudian, seorang gadis lagi, Dewi mendekati kami dengan wajah pucat dan berdiri di sisi agak.terlalu.dekat dengan Ayano.

“Apa yang terjadi Wi?” tanya Ayano lagi, kali ini kepada Dewi.

Kemudian Dewi menceritakan kalau mereka berdua sedang mempersiapkan piring untuk menyajikan makanan yang sudah selesai dimasak. Mereka berdua sedang berada di bawah lemari gantung yang berada tepat di atas talenan di mana pisau dapur itu menancap.

Dewi mengatakan kalau tiba-tiba pintu lemari atas itu terbuka ketika mereka menutup nakas yang berada tepat dibawahnya setelah selesai mengambil piring-piring plastik.

Diana merasa penasaran melihat pintu lemari gantung yang terbuka sendiri itu ketika tiba-tiba pisau dapur yang entah mengapa tersimpan di dalam lemari gantung itu meluncur dan menancap tepat di depan Diana.

Diana berteriak ketika pisau itu menancap tepat di depannya, dan kemudian terduduk menangis. Sedangkan Dewi sendiri merasa tubuhnya membeku dan lemas sehingga tidak dapat berbuat apa-apa. Dan tidak lama kemudian, kami semua masuk.

Aku dan yang lainnya mendengar cerita Dewi dengan diam. Kemudian Ayano menyenggol sedikit tanganku dan berbisik “Lis… koko ngerasain ‘itu’ “ bisiknya.

“Ap….” Baru saja aku bermaksud bertanya ketika kami mendengar suara yang sangat kencang.

‘BRAKKK!!!!!’

Apa itu?

Kami semua tergopoh-gopoh kembali ke aura tengah sambil membawa Dewi yang masih pucat ketakutan dan Diana yang masih terisak dengan tangan.Ayano.di.bahunya.

Setibanya di Aula, suasana masih remang-remang dengan sedikit sinar matahari yang menembus jendela sebagai satu-satunya sumber cahaya.

Pintu masuk utama yang sebelumnya kami tinggalkan terbuka ketika berlari ke dapur kini terlihat menutup. Sebagai informasi saja, pintu kayu itu cukup besar dan berat. Sehingga kecil kemungkinan kalau pintu itu tertutup karena tertiup angin. Kecuali anginnya sebesar angin badai. Itupun cukup aneh karena pintu itu terbuka ke arah dalam, jadi butuh angin yang sangat kencang bertiup dari arah dalam ruangan ke luar, karena hanya dengan cara itulah baru bisa muncul kemungkinan pintu itu tertutup karena angin.

Kami semua berdiri terpaku menatap ke pintu besar yang tertutup itu. Satu-satunya suara keras yang memungkinkan adalah suara pintu itu terbanting menutup. Tapi bagaimana mungkin?

‘Krekk..Krekk…’

“Ahh!!” beberapa dari kami terkesiap melihat kenop pintu besar itu perlahan-lahan memutar.

‘Krieeett….’

Perlahan, sangat perlahan pintu besar itu bergeser terbuka dengan suara deritan pintu yang membuat bulu kuduk merinding.

Pintu itu bergeser terbuka hingga hampir sepertiganya dan berhenti total.

Tidak ada satupun dari kami yang berani bersuara. Sampai akhirnya Felix melangkah maju menuju ke pintu itu. Aku mendengar Felix menggumamkan sesuatu sembari mendekati pintu itu.

Felix memegang ujung daun pintu dengan sebelah tangannya dan menyentaknya terbuka.

Ketika pintu itu terbuka, aku merasakan angin kencang berhembus dari luar. Dan kemudian sesuatu yang aneh terjadi.

Angin yang kencang itu seakan meniup gorden yang terletak tepat di sebelah pintu sehingga tersibak sedikit.

Aku melihat sepintas sosok anak kecil yang bersembunyi di balik gorden itu. Dengan gorden panjang menutupi seluruh badannya sampai kaki. Kemudian ketika gorden itu menutup, aku masih melihat bentuk menggelembung dari gorden itu, seakan memang benar ada ‘sesuatu’ yang berada di baliknya.

Kemudian, bagian yang menggelembung itu bergeser perlahan, dan kemudian dengan cepat bergeser di sepanjang gorden itu seakan ‘sesuatu’ yang ada di belakang gorden itu sedang berlari memutari ruangan aula.

Aku mengikuti bagian yang menggelembung itu dengan kepalaku dan secara kebetulan memperhatikan kalau Ayano juga sedang mengikuti arah bagian menggelembung yang ‘berlari’ tersebut hingga menghilang tiba-tiba bertepatan dengan ujung dimana gorden itu berakhir.

“Apa itu…?” bisikku pada Ayano yang sedang melihat pada tempat yang sama sepertiku.

Kemudian Ayano yang sedang berada di depanku bergerak dengan sangat cepat, memegang bahuku dan mendorongku lembut hingga berada di belakangnya.

“Ko?” tanyaku bingung seraya dia menyembunyikan aku dengan tangannya di belakang punggungnya.

Aku menengadah untuk menatap wajahnya dan melihat ekspresinya yang menunjukkan roman yang hanya bisa kuartikan sebagai rasa was-was dan takut.

Aku mengintip dari bahu Ayano ke arah di mana Ayano sedang menatap.

Dan aku melihatnya, dan cukup yakin kalau itulah penyebab Ayano menempatkanku di belakangnya untuk melindungiku.

Aku melihat sosok seperti manusia dengan jubah compang-camping. Namun aku tidak bisa melihatnya dengan lebih jelas lagi. Sosok itu seakan tertutupi oleh asap berwarna hitam yang membuatku hanya bisa melihat siluetnya.

‘Srekk’

Felix dan Cindy juga beringsut mundur. Wajah Felix penuh dengan keringat yang hampir sebesar bulir-bulir jagung. Cindy sendiri terlihat pucat, mulutnya menganga karena ketakutan dan tidak bersuara ataupun berkomentar apapun.

“Felix..”

Aku mendengar Ayano bicara pelan pada Felix. Cowok yang dipanggil itu menengok, wajahnya sangat pucat dan penuh dengan keringat yang aku yakin adalah keringat dingin. “Lu tau apa itu?” tanya Ayano lagi pada cowok itu.

Felix menggeleng “Nggak tau… gua nggak bisa lihat wujudnya, Cuma bisa lihat Aura yang item banget..”

“… Sama…” Cindy berbisik dari sebelah Felix.

“Gua nggak bisa lihat… tapi gua ngerasain firasat buruk seakan gua udah deket sama ajal” kata Ayano.

Nafas mereka bertiga memburu, seakan sesuatu yang sedang berada di depan pintu itu membuat mereka sulit bernafas.

“Aku bisa melihatnya…” bisikku pelan.

Ayano menengok ke arahku, begitu pula dengan Felix dan Cindy.

“Kamu bisa lihat?” tanya Ayano.

“Nggak mungkin….” Bisik Felix.

Aku menatap ke sosok itu dan menggambarkan penampilannya dan wajah Felix terlihat membiru dan lebih pucat dari sebelumnya.

“Kamu kenapa?” Cindy bertanya pada pacarnya itu. Tapi Felix hanya menggeleng dan menjawab “Tidak apa”. Kami semua menatap Felix yang menghindari tatapan mata kami. Cowok ini menyembunyikan sesuatu. Itu perasaanku saat itu.

“Hei!!”

“!!!!”

Kami semua terkejut dengan suara panggilan itu dan dengan reflek menengok ke arah suara berasal. Pintu utama.

Dari luar, Wati dan kedua cowok yang ikut bersama kami (maaf aku tidak pernah ingat nama mereka berdua dan tidak pernah mencatatnya di Diaryku, sebut saja dia boy A dan boy B. Boy A adalah anggota penjelajah alam tulen, dengan badan jangkung dan berotot serta kulit coklat terbakar matahari. Sedangkan Boy B sedikit gemuk, dan belakangan diketahui kalau dia punya hobby yang sama dengan Ayano, yaitu memasak).

“Kalian ngapain nyambut kami?” tanya Wati lagi dengan riang.

Tidak ada.

Sosok itu sudah tidak ada. Kami semua celingukan satu sama lain karena bingung. “Sejak kapan?...” bisik Felix.

Mereka semua menatapku “Aku juga nggak lihat” kataku “Tadi aku lagi ngelihatin Felix”.

“HEII!! Kalian kok ditanyain diem sih?” Wati memanggil kami.

“Eh..ah…. umm… iya, kami lagi nungguin kalian, soalnya lama banget. Takut kalian khilaf” Ayano menjawab mereka dengan bercanda.

“Sembarangan!! Nggak lah ya!!” jawab Wati.

Aku dan Cindy memaksakan tertawa dengan gugup. Sementara Felix masih bermuram durja.

“Masakan udah kelar belum?” tanya Wati pada Ayano.

“Oh.. iya.. masakan…” Ayano memukul dahinya “Udah sih, tadi udah Dewi ama Diana beresin…….”

“Lho.. mana mereka?” Ayano bertanya, tidak ke siapapun sebenarnya. Lebih kepada diri sendiri.

“Siapa?” tanya Wati.

“Dewi dan Diana?”

Kedua gadis itu yang tadinya berada di belakang kami menghilang. Bahkan kami tidak tau semenjak kapan mereka pergi, atau kemana mereka pergi.

Atau jangan-jangan…..

Sorry bersambung lagi.. kepanjangan soalnya


=== Cerita Selanjutnya ===