Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXXII - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXXII

Part XXXII

Kali ini aku akan menceritakan ulang catatanku ketika berlibur ke villa di gunung bersama dengan Ayano, Cindy dan beberapa teman yang lain.

Sejujurnya, sebelum aku setuju untuk ikut berlibur ke gunung, aku menolak dengan keras ide untuk menginap di villa yang agak jauh letaknya dari desa terdekat.

Masalahnya sudah dua kali aku merasakan pengalaman tidak mengenakkan selama berlibur di villa dengan teman-temanku di daerah pegunungan. Tidak aneh bukan apabila aku berkeberatan untuk berpartisipasi dalam piknik kali ini.

Tapi toh akhirnya Cindy bisa membujukku dengan mengatakan kalau kali ini ada bodyguard yang siap menjagaku. Aku rasa aku tidak perlu lagi mengatakan siapa orangnya.

Dengan pertimbangan itu, akhirnya aku setuju untuk ikut.

Ayano sendiri juga mengatakan kalau dia akan melindungi aku kalau sampai terjadi yang aneh-aneh lagi. Setidaknya tiga dari rombongan grupku sudah mengetahui mengenai hubunganku dengan ‘mereka’ yang sulit untuk dipisahkan.

Tadi aku berkata tiga kan? Selain Ayano dan Cindy, satunya lagi adalah pacar Cindy yaitu Felix yang adalah seorang yang mengaku Indigo. Tapi yah, memang dia bisa melihat, merasakan dan berbicara dengan mereka sih. Bahkan Felix ini mengaku menemukan Cindy karena dia bisa melihat Cindy sama sepertinya, anak Indigo. Dia juga berkata kalau Ayano memiliki bakat untuk hal seperti itu juga, namun dia mengatakan kalau dia tidak merasakan bakat serupa dari diriku (awalnya sih aku tersinggung, tapi sekarang aku sudah biasa.. hampir semua ‘orang pintar’ yang melihatku mengatakan hal serupa).

Setidaknya empat dari delapan orang yang ikut adalah orang-orang yang punya pengetahuan mengenai keberadaan ‘mereka’.

Hal itu akan membuatku sedikit aman paling tidak….

Salah!

Orang-orang seperti kami berkumpul di satu tempat? Sudah barang tentu merupakan hal yang tidak akan dilewatkan oleh ‘mereka’.

Lain kali aku harus benar-benar mengerti sifat mereka deh…. Meskipun aku baru tau belakangan setelah diberitahukan oleh seorang bijak di Ende – Flores (ketika aku pergi kesana dengan Ayano) kalau dia sudah mencium ‘aura’ yang berbeda dariku semenjak aku tiba di Flores, yang artinya puluhan Kilometer dari rumahnya. Aura itu ternyata berasal dari mataku. Aura itu sangat kuat dan kalau diibaratkan aura semacam warna yang dapat dipergunakan oleh ‘mereka’ untuk melihat orang-orang sepertiku, maka auraku itu seperti warna cerah diantara warna-warna lainnya yang lebih kusam. Itulah sebabnya aku mengalami lebih banyak gangguan daripada orang-orang sepertiku biasanya. Karena mereka lebih mudah menemukan aku karena aura dari mataku yang memancar bagaikan berkata ‘hei, aku di sini, kalian kemarilah’ atau semacam itulah.

Jadi mau aku sendirian atau berempat atau berpuluh-puluh dengan orang-orang sepertiku… maaf, karena mataku kalian sudah pasti terlibat dengan ‘mereka’.

Hal yang barusan kukatakan erat kaitannya dengan catatan dari Diaryku yang akan kuceritakan ulang kali ini.

Jadi, seperti yang kukatakan di awal tadi, aku dan kelompokku berniat untuk menginap di Villa yang juga menjadi tempat perkemahan di daerah perbukitan.

Untuk mencapai villa itu sendiri, kami harus sedikit melakukan hiking.

Perkenalan ‘mereka’ yang berasal dari gunung ini sudah dimulai semenjak awal hiking dimulai.

Kami sampai di daerah perkemahan itu sekitar jam 6 pagi. Segera setelah turun dari mobil minibus yang kami sewa, masing-masing dari kami segera menyiapkan barang-barang kami dan berniat memulai hiking sebelum siang hari tiba.

Aku sebenarnya membawa dua tas besar. Tapi Ayano berbaik hati membawakan satu tas besarku untuk dipanggulnya. Hal yang serupa terjadi pada Cindy dan Felix. Maaf ya… tapi apa boleh buat, aku tidak bisa memutuskan untuk meninggalkan barang-barang yang siapa tau penting nantinya. Manatau kan?

Sepanjang perjalanan, berbeda dengan Ayano yang sangat bersemangat untuk menunjukkan keindahan flora dan beberapa burung-burung yang kami lihat di hutan selama perjalanan hiking kepadaku, Felix sepertinya sedikit kepayahan dengan keringat yang bercucuran di wajahnya. Namun dia tetap menolak untuk mengembalikan bawaan Cindy padanya.

Aku tertawa melihat pemandangan itu. Kadang ego dan kebanggaan lelaki itu yang membuat susah sendiri ya?

Aku sedang tersenyum-senyum melihat cekcok mulut ringan antara Cindy dan Felix mengenai bawaan Cindy yang tadi kukatakan ketika tiba-tiba Ayano menggenggam tanganku.

“Ko?”

“Lis, ada yang aneh nggak? Koko ngerasa tiba-tiba suhu berubah” jelasnya.

“Eh?” gumamku bingung.

Ayano menatapku “Kok malah bingung begitu? Koko takut tau-tau ada yang lompat dan nyerang kamu, sini deketan deh” katanya sambil menarikku mendekat.

‘Ohh… karena itu toh… bikin bingung saja….’ Kataku dalam hati.

Iya, aku tau yang terpikir ketika membaca hal diatas… tidak usah dikomentari, aku tetap menuliskan hal ini kembali karena penting untuk penceritaan selanjutnya.

Pada waktu itu, Ayano belum dibuka ‘mata batinnya’ tapi sebagai radar, entah mengapa dia sangat peka. Jauh lebih peka daripadaku yang baru menyadari adanya ‘mereka’ setelah mereka terlihat oleh mataku, atau setelah ‘mereka’ sangat dekat denganku.

Dan saat itu, aku tidak merasakan keanehan yang Ayano katakan. Tapi aku mengenal sifat Ayano, dia sangat anti untuk bercanda soal ini karena dia masih penakut mengenai ‘mereka’ seperti yang pernah dia katakan padaku di awal kami berteman.

Tidak lama, karena kemudian aku melihatnya.

Berpuluh-puluh sosok bayangan tampak bersembunyi di balik pepohonan, di balik batu dan di balik rerumputan dan semak yang berada di hutan ini. Jumlah mereka sangat banyak, dan aku bisa melihat beberapa bola cahaya redup, seperti mata yang sedang menatapku dari beberapa sosok bayangan itu.

“Kalian bisa melihatnya ya?” kata Felix dari belakangku sambil terengah-engah. Dia menarik nafas panjang dan meluruskan punggungnya. Setelah nafasnya cukup teratur, dia berkata “Tidak apa, sudah biasa gue liat mereka setiap naik gunung kok. Mereka penunggu gunung sini, dan nggak bakal ngapa-ngapain kita kok selama kita nggak sembarangan di gunung ini”
Aku mendengarkan penjelasan Felix dan mengangguk.

“Tapi agak aneh…” gumam Felix pelan “Biasanya nggak sebanyak ini di satu tempat…” gumamnya sambil berjalan melewati kami.

Aku yang mendengar kata-kata Felix itu tanpa sengaja merasa bagaikan jantungku terjatuh ke tanah.

Firasat buruk!!

Jumlah mereka yang menurut Felix tidak biasanya itu semakin bertambah dan semakin mendekat. Seakan mereka mengamati kami dan berusaha mengetahui apakah kami berbahaya untuk mereka atau tidak.

Dan itu membuatku khawatir dan takut. Bisa saja mereka memutuskan kalau kami tidak berbahaya dan kemudian menyerang kami semua.

Jumlah mereka sangat banyak. Kami tidak akan bisa berbuat apa-apa kalau mereka menyerang.

Tapi hal itu tidak terjadi. Mereka tetap merayap dan beringsut-ingsut sambil menjaga jarak beberapa meter dari kami. Namun yang membuatku tetap khawatir, adalah karena jumlah mereka yang malah semakin banyak.

Felix yang berada beberapa langkah di depanku dan Ayano memelankan langkah dan kemudian berputar balik sambil menggandeng Cindy bersamanya.

“Ada apa?” tanya Ayano ketika melihat gelagat Felix.

“Lebih baik kita orang saling deket aja” kata Felix “Gua takut mereka mau culik atau ngerjain kita”

“Apa? Culik?” seruku tanpa sengaja.

“Sssstt..” Felix mengisyaratkanku untuk diam. “Hei, bro, jelasin!” pinta Ayano, genggamannya semakin erat pada tanganku dan aku semakin ditarik mendekat padanya.

Felix menatap Ayano dengan pandangan tidak senang, kemudian menghela nafas dan menjelaskan “Lu pasti pernah denger dong orang-orang tersesat di gunung, biasanya itu gara-gara mereka”

Aku yakin waktu itu aku melotot “Menculik orang di gunung?” tanyaku.

“Iya, mereka tapi cuma suruhan saja… yang nyuruh culik itu biasa bos jin-nya”

“Bos-jin…” bisikku.

Tanpa sadar aku teringat pada Robert. Robert yang sampai sekarang masih gentayangan di dekatku. Robert yang tidak bisa melanjutkan ke ‘dunia sana’ karena tubuhnya disembunyikan oleh penghuni gunung.

“Hei…” Aku sedikit tersentak ketika Ayano menyentuh wajahku. “Kamu nggak apa Lis?” tanyanya.

“Ha?” hanya itulah yang dapat kukatakan pada Ayano yang terlihat khawatir. “Kamu tidak apa-apa?” Ayano mengulangi pertanyaannya.

“Eh? Kenapa ko?” aku bertanya padanya.

“Kamu pucat Lis, kamu masih kuat?” tanyanya.

Aku menggeleng “Aku nggak apa, hanya sedikit takut” kataku.

Wajah Ayano terlihat berjaga-jaga “Takut? ‘mereka’ ya?” tanyanya sambil melihat sekeliling.

“Dimana ‘mereka’?” tanyanya. Rupanya Ayano tidak bisa melihat wujud ‘mereka’ walaupun bisa merasakan keberadaan mereka.

Aku memutuskan untuk tidak perlu membuatnya takut. Tidak sekarang.. karena itu aku menggeleng “sudah menghilang…” kataku.

Ayano mengerling ke sekelilingnya “Begitu ya?” kemudian dia melihat sebentar dengan sedikit curiga ke arah Felix yang masih pucat, sebelum menatapku kembali “Ayo… sedikit lagi sampai” katanya sambil menarik tanganku lembut.

Jujur… meskipun waktu itu sama sekali tidak terpikir untuk bersama Ayano sebagai kekasih, tapi memang aku mensyukuri kehadirannya. Aku menyukai ketika berdekatan dengannya, aku tidak pernah merasakan adanya aura yang membuatku sesak setiap kemunculan ‘mereka’.

Entah apakah hal itu hanyalah sugestiku atau memang berdekatan dengan Ayano bisa meredam kemampuanku merasakan aura? Entahlah, bahkan sampai sekarangpun aku tidak mengerti.

Sekitar 10 menit kemudian, kami sampai di villa di tengah-tengah hutan yang dimaksud. Villa itu terawat dengan baik, dengan sebuah danau berada tepat di belakangnya.

Kami semua memasuki villa dengan berisik, dengan komentar yang paling banyak adalah mengeluh kelelahan karena perjalanan hiking tadi.

Pada saat memasuki rumah dan menaruh barangku, aku melihat sekelebat sosok yang berlari dari balik tiang besar yang terletak di samping tangga besar di tengah-tengah ruangan tersebut.

Sosok anak kecil…

… Ya, tentu saja ada ‘mereka’ juga di dalam villa ini. Seharusnya aku sudah tahu akan hal itu…

Tapi sosok anak kecil? Aku yakin sekali kalau sosok itu bukanlah salah satu sosok yang mengepung kami di luar sana.

Tidak lama kemudian sosok anak kecil itupun terlupakan sementara kawan-kawan grupku memulai permainan sederhana untuk melupakan rasa penat di tubuh kami.

Itu, dan tentu saja memasak makan siang bagi perut kami semua yang sudah kelaparan. Terutama Felix yang terlihat hampir pingsan karena kelelahan.

Setelah itu, tanpa terasa hari sudah menjadi gelap. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku untuk mandi dulu.

Kamarku berada di lantai dua dan terletak di sisi paling dekat dengan tangga. Kali ini aku hanya tidur sendirian karena kamar ini terlalu sempit untuk ditinggali berdua dengan Cindy. Kamar Cindy berada tepat di bawah kamarku, dan di samping kamarku hanya ada kamar Ayano. Satu kamar kosong tersisa di lantai dua ini, di tempat terjauh dari lorong.

Aku sedang mencari-cari baju ganti dan perlengkapan mandiku ketika aku merasakan ada pandangan yang menatapku dari belakang.

Aku menoleh ke belakangku, menatap ke arah pandangan yang kurasakan. Tidak ada siapapun atau apapun… hanya sudut kamar yang kosong melompong.

Meskipun aku merasakan sesuatu yang aneh dengan gradasi warna pada tembok kamarku ini. Warna putih di temboknya terlihat sedikit kusam di beberapa tempat karena dimakan waktu. Tapi aku merasakan keanehan seakan gradasi warna kusam itu terlihat seperti membentuk suatu sosok. Tapi aku tidak tau apa itu.

Sementara aku menatap sudut ruangan itu, aku melihat seseorang melintas di jendela kamarku.

“Hah!?” aku terkejut secara reflex karena sosok yang melintas itu.

‘Tok..Tok..Tok..’

Suara ketukan tiba-tiba pada pintu kamarku membuatku sangat terkejut. Terutama setelah adanya sosok yang melintas barusan.

“Lis? Kamu nggak apa?” suara Ayano.

Aku menghembuskan nafas lega, sosok tadi adalah Ayano yang lewat di depan kamarku. Aku jadi sedikit malu karena kaget tadi, aku bahkan lupa kalau kamar Ayano berada di sebelah kamarku. “Aku nggak apa, hanya liat serangga tadi”.

“…Hati-hatilah..” kata Ayano dari balik pintu.

“Ya.. jangan khawatir” jawabku.

Lalu dengan hati yang sedikit lebih tenang. Aku segera mandi dengan menggunakan shower yang tersedia di kamar mandi yang terletak di masing-masing kamar.

Setelah selesai mandi dan mengenakan baju santai training, aku membuka pintu kamar dan berjalan ke kamar Ayano.

“Ayano?” panggilku sambil mengetuk pintu kamarnya.

Tidak ada jawaban, dan kamarnya gelap.

Aku mengetuk pintunya sekali lagi dan memanggilnya. Tetap tidak ada jawaban.

“Lisa?” panggil Cindy dari bawah tangga.

“Oh? Cin?” Aku menengok dan menatap Cindy yang memanggilku.

“Lu cari suami lu?” tanyanya sambil tersenyum jahil.

“Hah? Suami apaan? Dasar!” protesku.

“Ahahahaha, nggak apa kali Lis” ejeknya sambil tertawa geli “Suami lu ada di belakang noh, dapur, daritadi yang lagi sibuk masak. Lumayan juga bawa-bawa restoran kemari ya, hahahaha” katanya.

“Oh.. dia udah turun toh, pantes nggak ada di kamarnya” kataku.

Cindy memandangku dengan aneh.

“Hah? Lu ngigo ya? Udah gua bilang daritadi laki lu lagi masak di dapur. Mana ada dia naik ke atas sih”

Bulu kudukku langsung naik, dan aku merasakan aura dingin yang datang dari belakangku.

Aku menatap ke belakang. Dan dari kamar Ayano yang gelap, aku melihat ada sosok bayangan yang menempelkan tubuh dan wajahnya pada jendela. Seakan mengintip ke luar dengan kedua tangannya di atas kepalanya seperti pose seseorang yang berusaha mengintip dari balik kaca gelap.

Sosok itu menetap di sana beberapa saat sebelum menghilang masuk di kegelapan kamar Ayano.

Apa itu?




=== Cerita Selanjutnya ===