“Uhh..” saya terbangun dengan sedikit rasa sakit di kepala, yang anehnya malah membuat pikiran saya menjadi sangat jernih.
Saya bangun dengan ingatan jelas atas kejadian malam kemarin. Segera saya bangun dan mengalihkan pandangan pada tempat tidur Danu.
“Dan!!”
Tidak ada…
Danu tidak ada di tempat tidurnya.
Kemana dia…. Pikir saya.
Saya mendekati tempat tidurnya, diluar kebiasaannya untuk membereskan tempat tidurnya setelah dia bangun, kali ini tempat tidurnya dibiarkan dalam keadaan berantakan.
Dan di atas tempat tidurnya, berserakan kelopak-kelopak bunga kecil berwarna ungu. Sebelum mencari Danu saya menyempatkan diri untuk memfoto kelopak-kelopak itu (berbekal foto tersebut, belakangan saya baru tau nama bunganya Hyantich atau semacam itu deh).
Saya segera berpakaian sekenanya dan turun ke resepsionis.
“Mang, sorry apa lihat teman saya?” tanya saya pada resepsionis yang kebetulan adalah mas yang sama yang menyambut saya dan Danu ketika datang.
“Yang jangkung itu temannya ya pak? Tadi pagi saya lihat jalan keluar pak. Saya pikir Cuma jalan-jalan sebentar karena hanya pakai kaus dan celana pendek” jawab si resepsionis.
Oke… celana pendek? Jelas bukan Danu banget. Dia cowok paling ja’im yang pernah saya kenal. Mau sedekat apapun perginya harus full dandan.
“Lagi ngomongin bapak yang tadi pagi itu ya mang?” tanya seorang gadis resepsionis yang juga sedang bertugas jaga.
“Iya nih” kata sang resepsionis pria.
“Yang parfumnya bau bunga itu kan?” imbuh si gadis resepsionis lagi.
Wtf?? Bunga? Parfum Danu selalu parfum yang berbau-bau rempah-rempah, atau yang terkesan maskulin.
“Iya Yuk, liat dia kemana gak?” tanya saya pada si gadis.
“Wah, tak tau pak, saya tidak lihat lagi dia kemana setelah keluar” jawabnya.
“Oke… terimakasih ya” ujar saya sembari berjalan tergesa-gesa menuju ke pintu keluar hotel.
Mobil masih ada. Saya segera mengeluarkan kunci mobil dan menyalakan mobil itu.
Setelah kurang lebih menyalakan mobil selama 5 menit, saya langsung membawa mobil itu keluar untuk mencari Danu.
Selama kurang lebih satu jam saya mengitari sekitar kompleks Hotel yang kira-kira dapat dicapai dengan berjalan kaki. Melihat ke beberapa warung-warung atau minimarket untuk mencari teman yang merepotkan ini.
Masalahnya selain kepergiannya yang aneh, dia juga tidak membawa handphonenya, satu-satunya cara mudah untuk mencarinya hilang sudah. Sekarang saya hanya bisa menelusuri kompleks untuk mencari dia.
Hari sudah pukul 9:00 pagi ketika saya memutuskan kalau Danu tidak berada di sekitar kompleks ini. Dan logika saya sudah mengatakan kalau ‘hilang’nya Danu ini sudah sangat tidak normal.
Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan untuk menelepon sepuh yang dikenalkan oleh bapak pemandu kemarin.
“Halo, Selamat pagi Pak” sapa saya ketika hubungan telepon tersambung.
“Halo, ya, pagi juga. Dari siapa ini?” tanya bapak sepuh dari seberang telepon.
“Saya Ayano Pak, kemarin saya dapat nomor telepon bapak dari mang ****** “
“Oh, yang datang dari Jakarta? Iya saya sudah dengar dari mang *****, pikir saya akan di telepon kemarin”
“Ah, iya pak, sebenarnya kemarin saya mau telepon tapi sudah kemalaman, takut mengganggu”
“Oh, sebenarnya tak apa dek, soalnya masalah begini seharusnya lebih cepat lebih baik ditanggulangi”
“Bapak sudah tahu mengenai masalah kami?”
“Katanya salah satu dari adek-adek diganggu sama tujuh bidadari?”
Saya terkesiap, rupanya bapak Sepuh ini sudah tahu “Betul sekali pak. Teman saya diganggu oleh para ‘wanita-wanita’ itu”
“Oh, begitu.. adek sendiri tidak diganggu?”
“Syukurlah saya tidak pak.”
“Tapi adek bisa melihat bidadari-bidadari itu?”
“Bisa pak”
“Bisa? Bagaimana rupa mereka kalau yang adek lihat?”
Saya terdiam sejenak. Sempat terasa malu untuk mengatakan bahwa para ‘wanita’ itu sangat cantik pada bapak yang sudah jelas mengetahui kalau ‘mereka’ itu bukan manusia. Tapi pada akhirnya saya memilih untuk menjawab jujur, ketimbang apabila saya berkata bohong dan malah akan mengacaukan bantuan apapun yang bisa diberikan oleh bapak sepuh ini “Mereka sangat cantik pak.. mungkin bisa dikatakan paling cantik yang pernah saya lihat”
“Dan mereka sesuai dengan selera adek?” selidik bapak itu.
“Benar pak” jawab saya, jujur.
“Hoo!” kata bapak itu setengah berteriak “Lalu bagaimana adek tidak ikut digoda? Coba ceritakan selengkapnya pada saya deh”
Sayapun menceritakan kepada bapak itu perihal gangguan pertama yang dirasakan oleh Danu di kamar mandi Hotel, sampai dengan ucapan Danu mengenai kesediaannya untuk diganggu oleh ‘mereka’ asalkan cantik. Kemudian juga mengenai mimpi Danu, dan kata-katanya kalau dia akan berkata ke para ‘bidadari’ itu agar tidak mengganggu saya, semuanya saya ceritakan kepada bapak sepuh.
Tapi atas alasan yang saya sendiri tidak mengerti, saya tidak menceritakan mengenai si sosok dengan kepala terlepas itu. Seakan ada sesuatu yang menahan saya untuk mengatakan mengenai ‘mahluk’ itu.
“Jadi saat ini teman adek menghilang?” tanya bapak itu akhirnya setelah saya selesai bercerita.
“Iya pak, hanya ada bunga warna ungu di ranjangnya, dan katanya wanginya bau bunga banget” jelasku.
Terdengar suara berdeham bapak sepuh di telepon. “Adek sekarang ada di kota?” tanya bapak itu.
“Iya pak, saya ada di *******”
“Adek bisa ke tempat saya, tidak jauh dari batas kota, sekitar 30 menit saja kok, nama desanya ******. Bilang saja mau bertemu mang *********** ke orang yang adek temui di desa itu”
“Baik pak, saya coba ke sana sekarang ya”
Saya segera melesat ke batas kota, untungnya ada kantor polisi yang berada di pintu gerbang batas kota, sehingga saya bisa menyempatkan bertanya kepada polisi di sana terkait dengan desa yang dikatakan bapak sepuh itu.
Untungnya Desa itu sudah diberikan petunjuk berupa papan nama Desa sehingga tidak terlalu sulit menemukannya.
Saya membawa mobil merapat ke gerbang Desa dan turun berjalan kaki memasuki Desa itu.
“Selamat pagi pak? Ada keperluan apa kiranya?” sapa seorang penduduk yang kebetulan duduk di dekat gerbang Desa, umurnya masih muda sekitar seumuran denganku.
“Selamat pagi pak, saya diminta datang oleh mang*********** “
“Oh, bapak Kades? Mari pak, saya antar ke rumahnya” jawab penduduk itu.
Setelah berjalan kira-kira ke rumah yang terletak agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, si pemuda penduduk itu menggedor pintu rumah itu dan berteriak “Pak!! ada yang nyari nih” kurang lebih itu arti dari teriakannya. Saya lupa aslinya apa karena pemuda itu berbicara dengan Bahasa daerah.
Tak lama pintu terbuka, dan keluarlah bapak yang mengenakan pakaian seperti seorang pendeta di cerita silat Kho Ping Hoo, lengkap dengan ikat rambut model cepol ala pendekar pemanah rajawali, janggut yang panjangnya hampir mencapai perut, baju kimono, jubah luaran sepaha dan ikat pinggang kain yang mengikat pinggang kokoh bapak itu dengan erat dan celana panjang batik dan tak lupa, tubuh yang kekar walaupun wajahnya tidak bisa mengingkari umur beliau yang sudah sangat tua.
Meskipun penampilan luarnya bagaikan pesilat, tapi bahkan bagi saya yang tidak bisa melihat aura, kehadiran bapak ini memberikan tekanan tersendiri pada atmosfir.
“Lho, adek datang jalan kaki menjemput saya?” tanya bapak itu.
“I-iya pak?” jawab saya sedikit bingung “Memang salah ya?”
Bapak itu tertawa “HAHAHAHA, bagus, ternyata adek termasuk generasi muda yang masih tahu sopan ya. Saya pikir adek akan menunggu saya di mobil sementara adek meminta tolong si Udin ini memanggil saya”
“O-oh… tidak lah pak… saya kan mau minta bantuan bapak soalnya” jawab saya sedikit bingung harus bereaksi seperti apa.
“Baiklah kalau begitu! Mari kita langsung saja?” tanya bapak itu.
“Iya pak, mari” jawab saya menyetujui.
“Din, kamu ikut saja! Mungkin kita akan butuh bantuan” kata si bapak.
Si pemuda tadi mengangguk dan mengenalkan diri pada saya “Syarifuddin, atau dipanggil Udin” katanya memperkenalkan diri.
“Ayano” jawab saya.
“Ayo, ceritanya di mobil saja” ajak si bapak sepuh itu.
Tak lama kemudian, kami bertiga sudah berada di atas mobil. “Kita ke tempat adek melihat ‘mereka’ mandi itu” kata si bapak sepuh.
Bapak sepuh menceritakan secara singkat cerita mengenai gangguan sang ‘tujuh bidadari’ pada teman saya kepada Udin. Pemuda itu manggut-manggut selama mendengar cerita itu sambil sesekali memasang muka tercengang.
“Wah, hebat kali teman mang Ayano itu. Malah berani nantang tujuh bidadari” kata si Udin.
Ember cyinn… dalam pikiran saya menyetujui omongan dari Udin. Emang gila tuh anak… uda tau mahluk begituan masih aja ditantangin. Curiga jadinya saya, jangan-jangan si Danu mikirnya pake urat bukan pake otak.. ckckck..
Tak lama sampailah kami pada lokasi tempat saya berhenti kemarin untuk melihat para ‘wanita’ mandi di pinggir hutan.
Kali ini pemandangan yang terlihat oleh saya hanyalah hutan yang gelap.
“Adek jangan teriak ya kalau melihat wujud mereka” kata si bapak “Kalau adek teriak, nanti dinding saya tidak mempan”
Saya tidak begitu paham, tapi saya mengangguk.
“Din, kamu bantu saya! kamu hapal ayat surat *sorry banget saya lupa apa namanya* kan?”
“Hapal dong pak” jawab Udin mantap.
“Oke ayo mulai, mulai dari ayat *sorry beneran lupa*”
Bapak sepuh dan Udin mulai merapalkan doa-doa.
Tidak lama dari arah hutan yang gelap keluar semacam kabut dan wangi-wangian bunga yang memabukkan.
Kemudian dari tengah pepohonan muncullah iring-iringan para ‘wanita’ yang sangat cantik dan hanya mengenakan selendang tembus pandang yang dilingkarkan pada lengan mereka, tanpa adanya sedikitpun busana lain yang menempel pada tubuh mereka.
Glek…
Tanpa sadar saya menelan ludah melihat pemandangan itu.
“Apa maksudnya ini bapak tua?” tanya ‘wanita’ yang berada paling depan dari barisan itu “Kita sudah terikat perjanjian kan? Apa kau mau melanggar batas kami?”
“Kalianlah yang terlebih dahulu melanggar batas” tantang sang bapak sepuh.
“Kami? Apa yang kami langgar?” tanya sang ‘wanita’ lagi, masih dengan suara manja.
“Kalian menculik seseorang dari pihak kami” ujar bapak sepuh.
“Kami tidak mengambilnya, dia yang mengikuti kami dengan senang hati kok” sahut sang ‘wanita’ sambil tertawa terkikik genit “Benar kan Danu?”
Danu?
Dari tengah-tengah ‘wanita’ itu, tampak Danu sedang merangkul dua dari ‘wanita’ itu di sisi kiri dan kanannya. Dia sedang…… katakanlah dia sedang melakukan hal yang tidak pantas sembari merangkul kedua ‘wanita’ itu.
“!!” bapak itu merintangkan tangannya ke hadapan wajah saya tepat sebelum saya berteriak memanggil Danu.
Bapak itu menggeleng sembari memberikan isyarat untuk diam dengan tangan satunya.
Saya mengangguk. Kemudian bapak itu berbisik “Siap-siap…” bisiknya.
“Baca ayat *……lupa namanya….. * Din…..” bisik bapak itu ke Udin.
Udin mengangguk. Kemudian melantunkan doa-doa yang disuruh bapak itu.
“Kalian hanya membohongi dia dengan ilusi, perlihatkan wujud kalian yang asli!!” teriak bapak sepuh.
Mendengar itu, para ‘wanita’ yang tadinya tersenyum-senyum genit menjadi berekspresi marah.
Wajah mereka yang tadinya cantik berubah menjadi sedikit menyeramkan, mata mereka menjadi menyala terang berwarna ungu dan wajah mereka yang mulus mulai menampakkan urat-urat keunguan yang menonjol, menjadikan wajah mereka tampak sangat marah.
“HENTIKAN!!!” teriak mereka. Suara mereka terdengar seperti suara lelaki ketimbang suara wanita.
“HENTIKANN!!!” teriak mereka lagi, saya merasakan angina yang
tapi sang bapak sepuh dan Udin sama sekali tidak bergeming dan tetap melantunkan doa-doa.
“DIA MAKANAN KAMI!!!” suara yang terdengar dari para ‘wanita’ itu seakan bukan berasal dari manusia. Tidak ada suara manusia yang bergema dan seserak itu.
“PERGIIIII!!!!” teriak ‘mereka’ histeris bersamaan dengan berubahnya wujud mereka menjadi mahluk mengerikan.
Wajah-wajah cantik mereka berubah menjadi bengkak dan berwarna ungu muda, lengkap dengan urat-urat yang berwarna ungu yang lebih tua. Tubuh mereka yang sempurna berubah menjadi berkerut-kerut bagaikan pepohonan, namun berwarna kulit manusia.
Tapi bagian yang paling mengerikan, adalah semua dari ‘mereka’ pasti memiliki bagian tubuh yang terkoyak dengan organ dalam yang menggantung ke luar. Misalnya usus, jantung atau lambung yang menggelantung keluar dari bagian tubuh yang koyak. Seakan organ-organ itu seakan ditarik keluar dari tubuh mereka.
Jujur, saya bingung dengan perasaan saat ini. Saya bertahan mati-matian menahan diri saya untuk tidak berteriak histeris atau tidak muntah melihat sosok menjijikkan itu, sepertinya pemandangan itu akan membuat saya tidak bisa tidur untuk beberapa hari deh.
Para ‘mahluk’ yang sebelumnya berwujud wanita cantik itu terlihat memegang kepala mereka masing-masing. Seakan doa-doa yang dilantunkan oleh bapak sepuh dan Udin menyakiti mereka.
“HENTIKAANN!!” “GRHHHHHHHH!!”
Teriakan dan raungan keluar dari mulut para ‘mahluk’ itu.
Beberapa lama doa-doa dilantunkan oleh bapak sepuh dan Udin, bahkan saya yang tidak paham arti dari doa tersebut menyadari bahwa doa-doa tersebut sudah di ulang beberapa kali oleh mereka.
Para ‘mahluk’ itu masih berteriak-teriak dan menggeram sambil memegang kepala mereka. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa ‘pertarungan’ ini akan berakhir segera.
Terlihat bulir-bulir keringat mulai berjatuhan di pipi bapak sepuh. Roma muka beliaupun sudah menunjukkan tanda-tanda keletihan.
Akhirnya beliau mundur sejenak dan berbisik kepada saya. “Tidak bisa begini…. Saya tidak tau yang mana yang pimpinan mereka...” kata beliau “mereka terlalu banyak, kalau ngerti mana pimpinannya bisa langsung tembak ke dia saja” lanjutnya.
“Pimpinan?...” bisik saya.
“Iya… ‘ibu’-nya mereka lah” kata bapak sepuh lagi.
Ibunya?
Seketika itu, sebuah ingatan muncul di benak saya. Yaitu kejadian malam kemarin.
Dengan cepat mata saya mendapatkan ‘mahluk’ yang saya cari.
“Pak!... itu pak pimpinannya, yang kepalanya rusak!...” bisik saya pada bapak sepuh.
Bapak sepuh hanya menatap saya dengan heran, namun kemudian mengangguk dan mulai membaca doa dengan mengacungkan tasbihnya tepat ke arah si ‘pimpinan’.
Dan benar saja, begitu si bapak sepuh memfokuskan ‘serangan’nya ke ‘pimpinan’, para ‘mahluk’ lainnya berteriak-teriak semakin histeris dan wujud mereka semakin mengabur.
“KIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIEEEEEEEEEEEEEEEKKKKKK”
Pada akhirnya jeritan tinggi bagaikan kaca yang tergores terlepas dari mulut si ‘pemimpin’ mereka.
Bapak sepuh mengucapkan serangkaian kata doa yang sedikit berbeda dengan doa yang disebutkan oleh Udin, dan memutar tasbih pada tangannya sehingga berbunyo ‘kcrekk-kcrekk’.
‘Mahluk-mahluk’ itu berteriak marah dan melompat mundur ke arah hutan dan menghilang, meninggalkan Danu berdiri terbengong-bengong di pinggir hutan.
“!!” Bapak sepuh menahan badan saya ketika saya bermaksud untuk berlari menghampiri Danu.
“Nanti dulu… takutnya mereka belum benar-benar pergi” kata bapak sepuh itu.
Bapak sepuh membaca beberapa bait doa sambil memandang ke sekitar. Setelah beberapa bait doa, bapak sepuh menyimpan tasbihnya dalam sakunya dan berkata “Sudah aman dek, coba kita samperi temannya sama-sama”
Kamipun berjalan perlahan ke arah Danu.
Danu sendiri masih terlihat linglung, wajahnya sangat pucat tapi ekspresinya datar seakan-akan dia sedang bengong.
“Tidak apa-apa ini” kata bapak sepuh.
Bapak sepuh mengusap wajah Danu sambil membaca doa.
Tidak lama kemudian Danu terjatuh.
“Dan!!” saya segera memanggul tubuh Danu yang terjatuh.
“Oi… lo toh… kok badan gue lemes banget ya…” bisik Danu sambil matanya setengah terpejam. Sesaat kemudian dia benar-benar tertidur pulas.
Sangat pulas malah, sampai mengorok soalnya sih.
“Nanti teman adek suruh berdoa menurut agama temannya ya dek, minta dijauhkan dari mahluk-mahluk itu, dan jangan lupa diberi makan” pesan si bapak.
Saya mengangguk dan kita semua menaiki mobil untuk kembali ke kota.
Perjalanan kembali tidak diganggu oleh apapun kecuali suara ngorok Danu yang luar biasa kerasnya.
Saya mengantar bapak sepuh dan Udin kembali ke desanya. Bapak sepuh menolak pemberian terima kasih saya dan berkata kalau bantuannya Cuma-Cuma dan berharap lain kali saya dan Danu berhati-hati khususnya di daerah yang masih kental unsur mistisnya.
Sekembalinya saya di hotel (kembali menyeret-nyeret Danu sampai ke kamar), saya mendapati kelopak-kelopak bunga ungu yang ada di tempat tidur Danu sudah menghilang.
Saya bertanya pada mas yang membantu saya menyeret Danu ke kamar “Mang, tadi kamar ada dibersihkan?” tanya saya.
“Belum ada pak, biasanya nanti jam satu siang” jawabnya.
“Ohh.. oke mang, thanks ya” kata saya.
Selanjutnya tidak ada yang terjadi selain Danu yang tiba-tiba mengalami demam tinggi. Hingga akhirnya terpaksa kepulangan kami ditunda karena Danu mendapatkan vonis harus di opname karena extreme fatique setelah saya memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Selama kurang lebih 3 hari Danu di opname tidak ada satupun hal yang aneh terjadi pada saya. Meskipun dengan ‘perasaan’ saya, saya bisa me’rasa’kan kehadiran ‘sesuatu’ di rumah sakit tapi itu adalah hal yang normal. Setidaknya tidak ada yang muncul ke hadapan saya.
--
Pada saat ini Danu sendiri menyatakan sudah lupa dengan kejadian yang terjadi waktu itu. Tapi terdapat perubahan yang cukup drastic, dimana si Danu jadi kalem dan tidak mata keranjang lagi.
Selain itu, yang lebih aneh lagi, setiap dia melihat bunga berwarna ungu, Danu akan menatap bunga itu lama dengan pandangan menerawang dan kosong, kemudian komat-kamit sebentar dan kemudian berlaku seperti biasa lagi.