Sudut pandang dari Elisa
Ketika aku terbangun karena silau oleh cahaya matahari, aku mendapati langit-langit suram yang berbeda dengan langit-langit yang biasa kulihat.
Rasa sakit di tanganku membuatku secara reflek mengangkatnya dan menemukan jarum infus sedang terpasang rapih di tanganku yang terhubung melalui selang dengan botol infus yang menetes berirama. Otakku mulai berkerja dengan perlahan, dan dengan perlahan juga membuatku menyadari kalau saat ini aku sudah berada di rumah sakit.
Aku melihat ke sisi satunya dan kulihat Ayano sedang tertidur dengan bersandar pada tempat tidurku sambil menggenggam tanganku yang tidak diinfus.
Entah berapa waktu yang sudah berlalu semenjak aku berada di sini? Terakhir kali yang kuingat adalah ketika Ayano menjagaiku ketika aku tumbang karena demam tinggi di rumah kontrakanku.
Bagaimana cara dia membawaku kesini.
Aku menatap Ayano, dan perlahan aku menyadari sesuatu yang aneh.
Tangannya sangat dingin, dinginnya sangat menusuk bagaikan es.
Dan itu adalah hal yang sangat aneh, karena Ayano yang biasanya memiliki telapak tangan yang hangat.
Aku menggenggam tangannya dengan kondisi yang masih lemas. Dan memanggil namanya pelan “Ayano..”
“Ayano…” bisikku sekali lagi.
Aku merasakan genggaman tangannya pada tanganku menguat sebentar. Dan perlahan kepalanya terangkat dan matanya menatap ke arahku.
“Elisa…” katanya, matanya masih belum terlihat fokus pada awalnya. Setelah itu Mister-terlalu-sering-khawatir mengerjap-ngerjapkan matanya dan seakan baru tersadar dan melihat fokus padaku. “Elisa!! Kamu sudah sadar? Bagaimana keadaan kamu? Masih lemas?” tanyanya secara beruntun.
“Sabar dong, nanyanya satu-satu” jawabku sambil tertawa melihat gayanya yang selalu khawatir berlebihan.
“Ah.. iya-iya” katanya sambil bersender kembali di kursinya.
“Aku.. masih lemas sih sedikit, tapi udah nggak pusing kok” jawabku. “Udah berapa lama aku di sini?”
“Baru dua malam kok” jawab Ayano.
“Hmm.. dua malam ya..” pikirku.
Aku memperhatikan Ayano dengan lebih saksama. Sangat jelas sekali wajahnya memucat dan terlihat seperti menahan sakit.
Ada yang tidak beres. Pikirku.
“Kamu kenapa?” aku bertanya. “Jujur!” lanjutku.
Ayano masih ragu untuk menjawab pertanyaanku, tapi memang dia tidak pernah bisa berbohong. Setidaknya, tidak denganku.
“Diganggu kan? Berapa banyak ‘mereka’ yang ada di sini?” selidikku.
“Lumayan banyak..” jawabnya.
“Bahaya?” tanyaku lagi.
Ayano mengangguk. “Seberapa parah?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, alih-alih, Ayano berdiri membelakangiku dan membuka kaosnya supaya aku bisa melihat punggungnya.
“Aku belum periksa sih, tapi sepertinya lumayan parah ya?” tanyanya sambil tetap membelakangiku.
Kondisinya? Parah mungkin masih belum cukup untuk menggambarkannya.
Punggung Ayano bagaikan di-tattoo oleh gambar mengerikan. Gambar yang menunjukkan seakan-akan suatu mahluk sedang merangkak naik dari pinggang Ayano menuju punggungnya. Lebih parahnya lagi, gambar itu berwarna merah darah sehingga pada awalnya aku mengira gambar itu adalah darah atau luka.
Aku berusaha bangun dari tempat tidur “Aduh!!” keluhku ketika selang infus menghalangi aku untuk beranjak lebih jauh dari tempat tidurku.
Mendengar keluhanku itu, Ayano langsung berbalik sekedipan mata dan langsung separuh memelukku untuk membaringkanku kembali di tempat tidur.
Aku menurut saja, tidak ada gunanya melawan Ayano kalau sudah khawatiran. Tapi ketika Ayano membantuku untuk kembali tidur, aku merasakan tubuh Ayano benar-benar dingin, seperti es.
Hal itu sangat mengkhawatirkanku.
“Aku mau pulang saja…” kataku.
Ayano mendongak dari apel yang sedang dikupasnya. Dia terdiam sejenak kemudian berkata dengan sabar “Kamu belum sembuh sayang” katanya.
Aku paling sebal kalau Ayano sudah memakai kata-kata itu deh.. masalahnya aku jadi tidak bisa melawan kata-katanya kalau ‘kata mujarab’ itu keluar.
“Ceritakan ke aku kalau begitu tentang ‘mereka’ yang ada di sini” kataku akhirnya.
Ayano menceritakan mengenai sang kakek yang ditemuinya pada saat awal datang di rumah sakit ini hingga sampai sosok ‘tangan’ yang berjumlah banyak yang sepertinya menjadi penyebab munculnya bekas di punggung Ayano.
“Jadi kakek itu meminta kamu jaga aku?” tanyaku.
Ayano mengangguk “Oh iya, aku lupa kasihtau. Kakek itu juga kasih lihat ke aku lingkaran blackhole jadi-jadian”
“Hah? Apaan tuh” tanyaku.
“Entah, dia berkata soal lubang tumbal atau apalah” kata Ayano lagi.
Entah kenapa badanku merinding ketika mendengar kata tumbal itu. Firasatku mengatakan sesuatu yang cukup besar sedang mempengaruhi rumah sakit ini.
Tidak berapa lama kemudian, dokter datang untuk memeriksaku. Setelah memberikanku obat dan setelah aku melalui dipaksa-makan-oleh-Ayano (baca : disuapi paksa), akhirnya aku tertidur dan begitu terbangun pemandangan pertama yang kulihat adalah Ayano yang sedang bersender di dinding dengan kedua tangannya sedang memegang lehernya dan ruangan yang sudah gelap, dengan cahaya satu-satunya berasal dari lampu dinding yang agak redup.
“NGGKKHHH!!!!” geram Ayano. Wajahnya terlihat sangat kesakitan dan seluruh otot di tangannya tampak mengeras. Aku duduk dan melihatnya dengan lebih jelas. Sesosok tangan berwarna hitam mencengkram keras leher Ayano dan menahan tubuhnya merapat pada dinding.
“AYANO!!!” teriakku sembari berusaha berdiri.
Ayano melihat ke arahku dan menggelengkan kepalanya. Sebelah tangannya mengacung ke arahku dengan isyarat “jangan kemari!”.
“Ayano!!” teriakku lagi namun masih menuruti permintaannya untuk tidak beranjak.
“NGGKKHHH!!!” geram Ayano lagi.
Aku melihat cengkraman ‘tangan’ di leher Ayano semakin menguat. Aku sudah tidak perduli lagi. Dengan tanganku yang bebas aku mencabut jarum infus yang masih terpasang di punggung tangan kiriku.
Ketika kakiku menginjak lantai dan mencoba untuk berdiri, aku merasakan rasa pusing yang amat sangat sehingga kepalaku terasa bagaikan berputar, sehingga aku terduduk kembali.
“NGGHHHKK!!” Ayano menggeram lagi. Kali ini sebelah kakinya sudah menggelepar. Cengkraman tangan itu semakin kuat pada leher Ayano. Aku bahkan sudah bisa melihat wajah Ayano mulai membiru.
“AYANO!!!” aku menggigit bibirku dan berusaha bangkit.
Aku langsung menuju ke Ayano dan berusaha menarik tangan yang mencekik lehernya.
Dengan sekuat tenagaku aku menarik tangan yang mencekik leher Ayano itu. Aku menariknya sekuat tenaga sehingga tanpa sadar beberapa kuku jariku melukai leher Ayano. Tapi cekikan itu sedikit melonggar.
Mendapat peluang, Ayano dengan cepat menarik nafas dalam dan menyelipkan jari-jarinya pada rongga tangan yang mencekiknya itu.
Kemudian aku mendengar Ayano berbisik, mengatakan doa yang akhir-akhir ini sering sekali dia gunakan. Doa yang diajarkan oleh seorang guru yang bisa mengusir roh jahat. Semenjak dia diajari oleh guru itu, Ayano sering sekali menggunakannya setiap kali bertemu atau berurusan dengan ‘mereka’.
Tiba-tiba ‘tangan’ yang mencekik Ayano melonggar dan melepaskan dia tiba-tiba.
“UHUKK!! UHUKKK!!” Ayano terduduk dan terbatuk-batuk sambil memegang lehernya.
‘Tangan’ itu mundur menjadi bayangan dan menarik diri mundur. ‘Bayangan’ itu merayap di lantai ruangan itu dan menghilang di bawah ranjang kosong di seberang ranjangku.
‘SREKK’
Gorden di ranjang seberang menarik sendiri dan menutupi ranjang itu.
‘SREKKKK’
Bayangan dari sebuah sosok yang terhalang oleh gorden tampak sedang duduk di ranjang seberangku itu. Bayangan itu tampak duduk di atas ranjang itu dengan diam.
Kemudian, dengan cepat, ranjang itu bergerak menuju ke tempatku dan Ayano berada.
Dengan cepat Ayano mendorong tubuhku hingga berada di belakangnya. Dan dengan sigap menahan ranjang yang hendak menabrak kami.
Sosok yang tadinya terlihat duduk di atas ranjang itu telah menghilang. Aku mengintip dari belakang punggung Ayano dan melihat sosok bayangan itu masih berdiri di balik gorden yang tadinya menutupi ranjang yang kini sedang berusaha menjepit kami.
Sosok itu seakan menyusut dan menghilang dari balik gorden itu.
Dan dari bawah ranjang rumah sakit itu, kini terlihat jelas bentuk dari sosok itu.
Seluruh tubuh dan kulitnya berwarna hitam pekat. Lebih hitam dari kulit manusia manapun yang pernah kulihat. Tapi yang lebih mengerikan lagi adalah karena wajahnya adalah wajah seorang anak-anak. Sekitar seumuran balita namun berkulit hitam legam.
Sosok itu merangkak dari bawah ranjang dan menjulurkan tangannya yang lebih panjang dari tangan manusia normal ke arah leher Ayano.
Ayano menangkap kedua tangan itu dan menahannya dalam genggamannya.
Namun sepertinya tenaga mahluk itu lebih kuat karena semakin lama tangan itu semakin bergerak lebih dekat ke arah leher Ayano.
“TUMBAL!! HUTANG!! KORBAN!!” jerit mahluk hitam itu. Suaranya melengking bagaikan suara anak kecil yang histeris.
“RRGHH!!!” tangan mahluk itu semakin dekat untuk mencekik leher Ayano. Namun sesaat sebelum jari-jari mahluk itu berhasil menyentuh leher Ayano, tiba-tiba terjadi kericuhan dari luar ruangan kami. Beberapa suster dan dokter berlarian di lorong.
Mahluk itu berhenti dan menatap kosong ke lorong. Kemudian dengan cepat mundur kembali dan menghilang di bawah ranjang.
Ranjang itupun mundur ke tempatnya semula. Dan sesaat kemudian sesosok bayangan merayap dari bawah ranjang itu dan keluar menembus jendela kamar.
Sesudah itu suasana hening.
Selang sekitar setengah jam setelah kepergian ‘mahluk’ itu, Ayano mengangkatku (penjelasan : menggendongku) kembali ke ranjang. Dan menelpon ke ruang suster untuk meminta memasangkan kembali infusku yang kulepas.
Setelah menelpon beberapa saat, Ayano berbalik kepadaku dan mengatakan “Katanya suster lagi sibuk semua, karena ada 3 pasien ICU gawat darurat bersamaan, jadi baru bisa datang nanti setelah ada yang spare” katanya dengan wajah bingung.
Melihat wajahnya, aku mengetahui Ayano sedang berpikir apakah hal ini berkaitan dengan menghilangnya mahluk hitam itu? Aku tau, karena akupun berpikir seperti itu. Apalagi karena kata-kata jeritan dari mahluk itu tadi.
Tumbal.. hutang…. Dan korban….
Tidak berapa lama setelah itu aku tertidur sementara Ayano berjaga semalaman. Dan keesokan paginya, Ayano mengatakan padaku kalau sebaiknya dia mengurus perpindahanku ke rumah sakit lain. Aku menyetujui usulannya dan siang itu juga, Ayano sudah mengurus keluarnya aku dari rumah sakit ini. Kami memutuskan untuk memasukkan aku pada rumah sakit yang lebih dekat dari rumah kami.
Sebagai catatan tambahan, untungnya rumah sakit berikutnya, walaupun banyak ‘penghuni’ seperti biasanya, tidak ada yang melakukan serangan frontal kepada kami.