Setelah pengalaman dengan para penunggu rumah sakit ini kemarin (hari kedua), saya sudah berpikiran untuk memindahkan Elisa dari sini.
Tapi yang jadi masalahnya Elisa masih terlalu lemah untuk pindah. Bahkan cenderung belum sadar.
Jadi kembali saya mengurungkan niat saya untuk memindahkan Elisa dari rumah sakit ini setidaknya sampai Elisa lebih kuat.
Sialnya lagi, pasien yang tadinya ditempatkan di sebelah tempat tidur Elisa dipindahkan ke Unit perawatan Intensif karena keadaannya yang memburuk.
Pada akhirnya, pilihanku untuk menghindari sekamar sendirian dengan memilih menempatkan Elisa di kelas 1 percuma saja. Elisapun hanya menjadi pasien satu-satunya yang dirawat di kamar ini.
Dan apakah itu artinya memburuk?
Tentu saja. Bukan kami berdua namanya kalau tidak memancing gangguan dari ‘mereka’.
Firasat buruk awal sudah saya rasakan semenjak siang.
Saat itu saya kembali membeli roti dan susu di kantin untuk makan siang. Well… sebenarnya ada makanan lain, tapi saya ragu meninggalkan Elisa lama-lama. Jadi saya meninggalkannya hanya saat dokter mengadakan kunjungan rutin. Setidaknya ada yang menjaga dia. Pikir saya.
Saya sedang menaiki lift yang membawa saya ke lantai kamar Elisa dirawat. Saya sedang sendirian di lift waktu itu, dan lantai yang saya tuju adalah lantai 3 dari kantin yang berada di lantai dasar, atau B1.
Dan saya sangat yakin kalau tombol angka no. 2 tidak menyala pada saat saya masuk di lift tadi.
Sayangnya itu baru aku sadari sesaat sebelum Lift itu berhenti di lantai 2. Saya melihat lampu tombol lift yang mati sesaat sebelum pintu lift terbuka.
‘TIING’
Pintu lift terbuka di lantai 2.
Tidak ada seorangpun yang hendak memasuki lift itu. Selain itu, saya masih agak sangsi dengan mata saya, apa benar sesaat tadi lampu tombol lift menyala ya? Atau cuma perasaan saya saja…
Saya menjulurkan kepala ke luar lift untuk melihat apakah ada seseorang yang hendak masuk. Namun, ketika saya menjulurkan sedikit badan saya keluar, punggung saya ditabrak oleh sesuatu, seakan ada ‘seseorang’ yang baru saja keluar dari lift itu.
Itu dan kenyataan kalau tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri membuat firasat saya akan kehadiran ‘mereka’ semakin besar.
Yep…
Emang sialnya tuh firasat saya nggak usah butuh waktu lama untuk dibuktikan.
Dari kejauhan di lorong yang agak gelap di lantai itu, tampak beberapa sosok dengan pakaian berwarna hitam, memakai kerudung kepala hitam, baju tangan panjang hitam, celana hitam, bahkan sepertinya dengan sarung tangan dan sepatu berwarna hitam berbaris keluar dari sebuah ruangan yang terletak di ujung lorong itu.
Semuanya berbaris rapid an berjalan dengan cepat menuju lift tempatku berada.
“Oh.. sh*t!!” gumamku.
Aku segera kembali ke dalam Lift dan menekan tombol agar pintu menutup seperti orang gila.
“F*ck!! F*ck!! F*ck!! F*ck!!” kataku panik sementara jariku menekan-nekan tombol.
Pintu lift si*lan itu sama sekali tidak menutup. Sementara derap kaki dari para ‘rombongan hitam’ itu jelas-jelas sudah semakin mendekat.
Putus asa dan takut, saya menggumamkan doa pengusiran yang akhir-akhir ini sangat sering saya pakai. Mungkin karena reflek.
‘grekk’
Akhirnya pintu lift menutup perlahan. Seiring dengan sosok terdepan dari ‘rombongan hitam’ itu tiba di depan lift. Dua dari ‘mereka’ mengulurkan tangannya untuk menahan pintu lift.
“Shi….!!!” Teriak saya terperanjat.
Tapi ternyata jari mereka menembus pintu lift itu tanpa bisa menghentikannya tertutup.
Lift akhirnya menutup dan membawa saya naik ke lantai 3.
Dari situ dan selama perjalanan saya ke kamar Elisa, saya memikirkan beberapa hal. Terutama mengenai bagaimana caranya membawa segera Elisa pergi dari sini. Gangguan itu terlalu sering dan nyata. Berbeda dengan gangguan biasanya di tempat baru yang muncul perlahan-lahan. Dan menurut pengalaman saya, gangguan kali ini bukan berupa ‘perkenalan’ atau ‘penasaran’ akan keberadaan kami, terutama Elisa. Tapi lebih berupa ‘ancaman’, ‘pengusiran’ dan ‘berniat jahat’.
Jenis gangguan seperti ini biasanya punya satu sumber atau penyebabnya. Tapi saat ini saya tidak punya waktu luang untuk mencaritau hal seperti itu. Dan saya juga tidak tertarik untuk mencaritau hal-hal yang mungkin pernah terjadi di rumah sakit ini. Tidak sekarang.
Yang paling penting saat ini adalah mengamankan Elisa.
Tapi kembali niat itu melemah ketika kembali ke kamar Elisa dan melihat wajah Elisa yang masih pucat sedang tertidur di Kasur rumah sakit yang sudah pasti tidak nyaman.
Wajahnya masih sangat pucat. Dan bulir-bulir keringat kecil terbentuk di dahinya.
Saya mengusapnya dan kembali mengurungkan niat untuk memindahkannya sekarang. Tidak tega. Itu pikiran saya.
Akhirnya meskipun enggan, saya menelpon ke guru yang mengajarkan saya doa-doa pengusiran sederhana dan yang menuntun saya untuk mempelajari beberapa hal yang bisa menolong Elisa.
Saya menelponnya, dan dia mengatakan untuk meletakkan Handphone saya di samping telinga Elisa dengan kondisi speaker menyala.
Saya melakukannya.
Dan melalui speakerphone, guru saya mulai melantunkan doa-doa penyucian dan permohonan perlindungan kepada Tuhan YME yang diucapkannya dengan Bahasa aslinya. Saya belum menghapal semua doa-doa sejauh itu… mungkin nanti, dan saya terus belajar untuk itu.
Kemudian guru saya juga melantunkan doa keselamatan dan mohon berkat kesembuhan bagi Elisa yang lagi-lagi diucapkannya dengan Bahasa aslinya.
Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih padanya. Sebelum guru saya memutuskan sambungan telepon, beliau berkata “Kekuatan Doa dan hatimu penting untuk mengusir yang jahat anakku, camkan itu” katanya.
Saya mengiyakan perkataan beliau dan merasa sedikit lebih tenang.
Karena itulah mungkin, saya yang tidak sadar atas kelelahan diri saya sendiri akhirnya tertidur pulas setelah memakan roti dan susu yang saya beli tadi.
Saya terbangun ketika hari sudah malam kembali. Lampu lorong rumah sakit sudah dibuat redup, begitu juga dengan lampu ruangan tempat kami berada.
Anehnya, saya merasa getaran pada kursi tempat saya tidur tepat sebelum saya terbangun. Justru getaran itulah yang membangunkan saya dari tidur.
Saya melihat Elisa. Wajahnya sepertinya sudah sedikit merona. Jauh lebih baik dari tadi siang meskipun tidak terlihat tanda-tanda kalau dia sudah tersadar.
Mungkin besok dia akan lebih baik. Pikir saya.
Saya beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju rak yang berada di dekat pintu untuk mengambil air karena merasa haus.
Setelah meneguk segelas air dan merasa lumayan terjaga. Secara tidak sengaja, saya melihat keanehan pada tempat tidur yang berada di seberang tempat tidur Elisa.
Tempat tidur itu seharusnya kosong karena penghuninya sudah dipindahkan ke Unit perawatan Intensif. Lantas.. kenapa gordennya disekeliling tempat tidur itu tertutup rapat?
Sebelum jawaban dari pertanyaan saya terjawab, sebuah sosok sudah terlebih dahulu terlihat bangun dari tempat tidur yang kosong itu dan duduk di sana.
Saya tidak bisa melihat atau memastikan siapa sosok itu karena terhalang oleh gorden penutup itu. Pasien baru kah?
Firasat saya mengatakan bukan.
“Halo? Apa saya membangunkan anda?” tanya saya.
Sosok itu menengok dan tentu saja pasien apapun itu tidak akan menatap saya dengan mata yang berwarna bulat sempurna dan menyala bagaikan mata kucing dalam gelap kan?
Itulah yang terjadi.
Sosok itu menatap saya dengan mata berwarna cahaya kebiruan yang membulat sempurna.
“WTF!!!?”
Saya bermaksud untuk segera beranjak ke sisi Elisa untuk melindungi dia dari apapun yang sedang menatap saya itu.
‘GREBB’
“WHA-!!??”
Saya berteriak kaget ketika kaki saya digenggam oleh sesuatu.
Well… sesuatu itu tangan. Tangan berwarna hitam pekat.
Dan tebak, tangan dari mana?
Jawabannya adalah dari laci paling bawah rak yang dipakai untuk meletakkan barang-barang bawaan saya selama menunggui Elisa.
Kemudian melesat juga tangan lainnya dari bawah rongga rak.
Tangan itupun menggapai betis saya dan mencengkeramnya.
“The actual f*ck??!!” umpat saya sambil menarik-narik kaki dari tangan-tangan itu.
“AHH!!!” tiba-tiba terasa rasa sakit pada tumit dan betis saya yang di cengkeram oleh tangan-tangan hitam itu.
‘Mereka’, maksud saya para tangan hitam itu mencengkeram kaki saya dengan kukunya.
Masih belum selesai, bermunculan beberapa tangan lagi yang bahkan lebih panjang dari dua tangan awal. Tangan-tangan tambahan itu mencengkeram kaki saya yang lain dan sisanya mencengkram pinggang saya.
“AHHHH!!!!”
Rasa sakit akibat cengkraman kuku yang menusuk ke pinggang, betis dan tumit saya membuat kesadaran saya serasa hampir menghilang.
“AWWW!!!” geram saya menahan sakit dan menahan agar kesadaran saya tetap terjaga.
Nah, sebagai informasi saja. Saat begini itu, jujur ya, bahkan untuk membaca doa saja sulitnya minta ampun untuk bisa berkonsentrasi. Rasa sakit yang luar biasa setiap kali saya mulai berusaha membaca doa? Boro-boro bisa melafalkan dengan lantang dan gagah berani seperti para pemeran di film-film. Yang ada di pikiran saya cuman ada dua. “ANJ********NK SAKIT BOOOO!!!!” atau mungkin hanya “AAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH!!! ADOOOOOOOWWW!!”
Yang mana saja, intinya saya hanya berkonsentrasi di rasa sakit saya saja.
Itulah yang membedakan kenyataan dengan hasil syuting.
Kondisi otak saya benar-benar kosong selain dari merasakan rasa sakit akibat cengkraman dari tangan-tangan itu yang semakin kencang.
Saya terjatuh berlutut saking sakitnya.
‘SREKK..SREKK..’
Di pandanganku yang agak samar, aku melihat perlahan-lahan kasur yang berada di seberang Elisa bergeser perlahan menuju ke arah Elisa.
“ARRRGHH!!!”
Mengganggap Elisa berada dalam bahaya, saya berusaha menyeret badan saya. (Note : sakiiiit banget gileee).
Tapi kasur itu berhenti pada jarak sekitar 1.5 meter dari kasur Elisa.
Belasan atau puluhan tangan keluar dari bawah kasur itu, namun menabrak tembok yang tidak terlihat sehingga tidak bisa mencapai kasur Elisa. Tangan-tangan itu mencakar-cakar dengan percuma di dinding yang tidak terlihat itu tanpa ada hasil.
Saya terpana melihat hal itu sejenak sebelum akhirnya kehilangan kesadaran saya karena rasa sakit yang sangat dari pinggang dan kaki saya.
BERSAMBUNG lagi ya, urus Elisa dulu