Yap.. gangguan demi gangguan menemani saya selama menunggui Elisa di rumah sakit.
Sebelum lanjut, saya akan memperingatkan dulu. Jangan kepo soal rumah sakitnya ya.
Dan ada hal-hal mengenai ‘cara-cara’ yang saya pakai di cerita kali ini yang sengaja saya skip atau tidak ceritakan detail. Untuk menghindari pembaca yang mencoba-coba melakukannya untuk berhadapan dengan ‘mereka’.
BONUS STORY X
Hari pertama….
Eh bukan, malahan dari awal masuk saja kami sudah disambut oleh ‘mereka’.
Ketika kami berdua memasuki lobby rumah sakit itu, keadaan Elisa sudah sangat lemas. Sehingga saya memintanya menunggu di sofa yang lumayan nyaman selagi saya mengurus Elisa agar segera bisa diperiksa oleh dokter.
Saya baru meninggalkan Elisa barang beberapa menit untuk mengkonfirmasi kembali jadwal bertemu dokter yang sebelumnya sudah saya book tempatnya melalui telepon.
Ketika saya kembali, sudah duduk sosok kakek-kakek yang menempati sebelah sofa Elisa. Melihat dari badannya yang transparan, sudah jelas ‘dia’ bukan termasuk diantara yang hidup.
Tapi saya tidak merasakan ataupun melihat kalau kakek-kakek ini bermaksud jahat pada Elisa. Jadi saya mendekati tempat Elisa duduk dan menatap ke kakek itu.
Kakek itu balas menatap saya. Kamu juga bisa lihat saya ya?
Suara itu terdengar langsung di kepala saya. Sudah jelas dari kakek itu. Pikir saya.
Saya mengangguk.
Gadis ini, dia spesial. Kata kakek itu lagi langsung ke kepala saya.
Dia mempunyai kemampuan melihat yang sangat kuat, tapi tidak ada dinding apapun di arwahnya. Kakek itu berkata lagi, kemudian dia melihat saya. Tapi ternyata dinding itu adalah dirimu kan? Anak muda?
“Saya tidak mengerti maksud kakek” bisikku.
Kakek itu tersenyum ramah. Lindungilah dia anak muda, kau dan dia, perisai dan mata panah. Jaga dia anak muda.
Kakek ini sepertinya hanya berkata yang dia inginkan deh… begitu pikirku.
Kakek itu kemudian berdiri dan menatapku serius. Di sini tidak terlalu aman buat dia, kakek itu menatap ke arah Elisa sambil berkata demikian. Perisai harus berjaga terus. Kata kakek itu sembari menghilang.
Sepertinya ini adalah pertanda akan terjadi suatu hal lagi pada kami.
Gawatnya saat ini kondisi tubuh Elisa benar-benar tidak memungkinkan untuk melawan apabila diganggu oleh ‘mereka’.
Tapi untuk memindahkan Elisa ke rumah sakit lain saat ini akan memakan terlalu banyak waktu. Sementara wajah Elisa sudah sangat pucat.
Jadi tanpa pilihan lain, setidaknya saya akan membawa Elisa untuk diperiksa dulu oleh dokter. Setelah menebus resep saya akan segera membawa Elisa pergi dari sini.
Sayangnya, dokter menyatakan Elisa harus di opname karena sakit typhus.
Dan saya tidak mau mengambil resiko untuk memindahkan Elisa karena dokter berkata dia harus masuk hari ini juga. (*rant* btw, rumah sakit sekarang benar-benar ya… orang sudah payah dan separuh sadar tetap dipaksa deposit sekian puluh juta dulu.. lama-lama hanya orang kaya yang bisa menggunakan fasilitas rumah sakit deh).
Jadi setelah pengurusan prosedur selesai saya lakukan, akhirnya Elisa ditempatkan pada kamar kelas 1 yang berisikan dua orang pasien. (saya tidak pilih kamar VIP karena selain ditempatkan seorang diri di kamar, juga karena posisi kamar VIP tepat diatas kamar UGD).
Hari pertama menunggui Elisa, pada malam pertama belum ada yang mengganggu secara langsung. Hanya terdengar bunyi seperti bunyi roda tempat tidur rumah sakit yang di dorong di lorong hampir sepanjang malam. Selain itu hampir tidak ada gangguan berarti, kecuali sosok-sosok transparan yang terlihat berjalan-jalan di lorong atau kadang masuk ke kamar dan berdiri dengan bingung.
Bukannya menyombongkan diri sih, tapi akhir-akhir ini saya terlalu terbiasa dengan gangguan semacam ini. Meskipun tetap tidak nyaman tapi setidaknya tidak membuat ngompol seperti saat pertama kali.
Tapi penampakan yang menyeramkan?
Tidak, saya tidak akan pernah terbiasa tentang hal itu deh.
Malam pertama saya lalui dengan tenang di samping Elisa yang beristirahat setelah diberikan obat oleh dokter.
Saya tidak melihat Robert ada di sekitar. Aneh, biasanya dia akan muncul untuk sekadar mengganggu. Tapi akhir-akhir ini dia memang jadi lebih jarang muncul sih. Begitu juga dengan si ‘wanita’ berdress putih, sudah hampir 2 minggu tidak menampakkan dirinya sama sekali. Terlepas dari mereka berdua, gangguan-gangguan yang datang dari ‘mereka’ masih seringkali muncul.
Si ‘mata’ malah tidak pernah muncul lagi semenjak kemunculan terakhirnya, saat di mana sang ‘mata’ tidak melakukan apa-apa pada Elisa. Saat itu kami berpendapat mungkin karena sang ‘mata’ hanya bisa melukai Elisa, sehingga waktu Elisa saya peluk, dia tidak bisa berbuat apa-apa? Mungkin sih.. saya tidak tau pastinya.
Hari kedua dimulai dengan lebih ramai.
Saya melihat sosok yang diperban di beberapa tempat di tubuhnya dan gips pada tangan dan kakinya berdiri menatap saya dari sebuah ruangan yang saya lalui ketika saya membeli roti untuk sarapan.
Sosok itu menghilang ketika saya melihat untuk kedua kalinya ke dalam kamar itu.
Selain itu ada nenek yang dirawat pada suatu ruangan sedang berbicara pada sosok kakek tua transparan (bukan kakek yang saya temui pada saat tiba di rumah sakit ini, kakek lain lagi). Suster yang mungkin melihat saya sedang menatap nenek itu menghampiri saya dan berkata “Bapak kenal dengan ibu itu?” tanyanya.
Saya menggeleng.
“Ohh, kalau begitu jangan khawatir pak. Ibu itu memang suka bicara sendiri “ jelas Suster itu.
Tidak.. dia tidak bicara sendiri. Dia sedang bicara dengan.. entahlah, mungkin suaminya yang sudah meninggal atau saudaranya yang sudah meninggal? Atau bisa saja temannya? Entahlah.. yang pasti nenek itu tidak sedang bicara sendiri.
Kemudian ketika aku tiba di kamar Elisa, kakek-kakek yang kutemui saat tiba di rumah sakit kembali sudah menduduki tempat di samping Elisa.
Anak muda, kamu tidak mendengarkan nasehatku?
“Hah?” tanyaku bingung.
Opung bilang, jaga dia baik-baik. Di sini tidak aman buat dia.
Saya masih menatap kakek tua itu dengan bingung. “Maksud kakek?”
Boro-boro menjawab pertanyaanku, kakek itu malah menunjuk ke arah sudut kamar itu.
Aku menatap sudut kamar yang ditunjuk oleh kakek itu. Tidak ada apa-apa… pikirku.
Tapi ketika aku menatap ke kakek itu, dia hanya mengacung-acungkan jarinya dengan tidak sabar.
Jangan melihat dengan batas fisik, anak muda. Lihatlah melewati batas fisik
Menerawang begitu? Pikir saya. Saya bukan Elisa, kek…. Pikir saya lagi.
“Saya tidak bisa melihat menembus tembok kakek” jelas saya.
Lihatlah melewati pembatas fisik itu kalau begitu anak muda. Kata si kakek itu.
Melewati batas fisik?
Oohh.. maksudnya lihat diseberang dinding itu? Pikirku mengerti. Mau bicara begitu saja seperti pakai teka-teki.. astaga…
Saya keluar ruangan itu dan melihat ke arah ke arah dimana kakek itu menunjuk.
Aaaaannnd… apaan itu coba?
Item, bulet, muter-muter kayak gasing, terus adanya di lantai?
Yang tau jawabannya boleh dikirim ke alamat email rsjiwagrogol@otakstress.com.
(Just joking ya. Biar gak terlalu tegang bacanya.)
Jadi, setelah melihat semacam blackhole jadi-jadian sedang berputar di lantai, aku kembali memasuki kamar dan menatap kakek itu lagi.
“Apa itu?”
Tumbal
“Apa?”
Itu adalah tempat tumbal ditanamkan.
“Hah? Tumbal?” tanyaku.
Kakek itu mengangguk. Penjaga tempat ini akan meminta bayaran untuk pelayanannya.
Aku makin bingung dan tidak mengerti dengan arah pembicaraan kakek tua ini.
Anak muda, kamu berbakat. Tapi dindingmu belum cukup kuat.
“Hah? Maksudnya apaan nih kek?”
Mereka terlalu banyak. Opung tidak bisa membujuk mereka terus. Bawa dia dan pindahlah.
Aku menatap Elisa. “Maksudnya? Bawa Elisa pindah?”
Bawalah dia dan pindahlah.
Kata kakek itu sambil menghilang.
Ooookaaayyyy… lalu saya harus membawa Elisa kemana? Bahaya semacam apa yang ada di sini? Dan apa ‘mereka’ yang dimaksudkan si kakek tadi sih?
Masih ragu untuk memindahkan Elisa. Saya memutuskan untuk melhat keadaan sedikit lagi.
Dan akhirnya malam hari keduapun tiba.
Saya sedang duduk sambil terkantuk-kantuk di samping tempat tidur Elisa.
Suara roda yang kudengar di hari pertama terdengar lagi dari arah lorong.
Tapi kali ini ada hal yang berbeda. Tubuhku langsung terjaga begitu mendengar suara pintu dibuka perlahan.
Saya menatap ke arah pintu yang terbuka tersebut. Apa mungkin perawat jaga akan memeriksa pasien di sebelah Elisa atau mungkin saja hal lainnya.
Tapi tidak ada yang masuk. Tidak ada seorangpun juga yang terlihat membuka pintu itu.
“!!”
Tapi saya salah.
Saya berharap akan melihat sosok tinggi dari pintu itu, ternyata saya tidak menemukannya karena sosok yang saya cari adalah sosok yang pendek, setinggi anak SD.
Tapi berwajah seperti kakek-kakek.
“What the???”
‘Anak-wajah-kakek’ itu menyeringai dan menghilang dari pintu.
“Right…. The hell….??” Umpatku kesal.
Aku melafalkan doa yang selama ini menjadi andalanku untuk terhindar dari gangguan ‘mereka’ dan melakukan beberapa hal pendukung untuk ritual perlindungan sederhana yang kutahu dan akhir-akhir ini sering kugunakan. Lumayan manjur sih soalnya.
Tapi ada sedikit masalah dengan cara ini.
Yang lemah memang bisa dengan mudah diusir. Tapi sepertinya ini malah menantang bagi yang lebih kuat.
Untungnya malam itu tidak ada kunjungan dari ‘mereka’ yang kuat atau semacamnya.
Yang ada hanyalah ‘anak-wajah-kakek’ yang menjauh dari teralis pintu kamarku, sosok berbaju dokter operasi lengkap dengan maskernya yang penuh dengan darah menatapku dari lorong jauh, dan yang paling menggangguku adalah sosok beberapa tangan yang terjuntai dari ventilasi di atap lorong rumah sakit itu. Hanya tangan yang berjumlah belasan tanpa sosok tubuh.
“…..Damn….” bisikku.
Saya melanjutkan doaku sebisa dan semampunya.
Tidak tau berapa lama waktu berlalu, tau-tau sudah jam 5 pagi.
Itupun saya sadar ketika suster datang untuk memeriksa infus Elisa.
Sepertinya saya merapalkan doa semalaman tanpa sadar.
Dan itu baru saja hari ke dua di rumah sakit ini.
BERSAMBUNG
(Sorry, Elisa butuh perhatian jadi saya stop dulu ngetiknya)