Ketika kami sedang makan siang bersama, Ayano mengatakan kalau dia berniat untuk menjagaku dan menolongku kalau berhadapan dengan ‘mereka’.
Aku sangat bingung dengan pria ini. Dia terang-terangan mengatakan kalau dia takut dengan ‘mereka’. Tapi sekarang dia mengatakan mau melindungi aku dari ‘mereka’.
Jujur, dalam benakku aku mempertimbangkan apakah pria ini sedang berusaha mendekati aku, atau memang benar-benar berkata yang sesungguhnya.
Aku memutuskan kalau dia mengatakan yang sesungguhnya. Karena pria ini sepertinya agak sedikit polos-polos bodoh. Maaf, tapi begitulah kesan yang kudapat dari dia.
Jadi aku bermaksud untuk memperingati dia akan kengerian berhadapan dengan ‘mereka’.
Aku mengajaknya untuk berhadapan langsung dengan ‘mereka’.
Ide bodoh memang. Tapi aku berharap apabila pria ini sudah ketakutan dengan ‘mereka’, dia akan berhenti berusaha untuk melindungi aku. Terlalu berbahaya untuknya.
Begitu dia sudah melihat ‘mereka’ langsung, pasti akan menjauh dariku.
Seperti semua teman-temanku….
Jadi aku membawanya ke tempat dengan kemungkinan kemunculan ‘mereka’ yang paling besar namun paling aman yang kutahu.
Selama tidak menantang ‘mereka’ tentunya.
Aku rasa dia bukan orang seperti itu. Kali terakhir menjadi berbahaya karena adanya ‘tantangan’ pada ‘mereka’. Kalau hal itu tidak terjadi pasti tidak apa-apa.
Aku bertanya berkali-kali pada diriku sendiri, apakah harus aku melakukan ini?
Aku sudah cukup nyaman dengan perhatian dari pria ini. Setidaknya dia benar-benar ada di dekatku sebagai sahabat. Dia sama sekali tidak berusaha untuk mencari perhatianku.
Benar-benar cowok aneh.
Aku ragu apakah aku harus melakukan hal ini dan beresiko kehilangan teman lagi?
Tapi aku merasa kalau aku harus memberitahukan padanya terror yang akan dia hadapi apabila dekat-dekat denganku.
Karena itu aku tetap mengajaknya.
Aku mengajaknya ke perpustakaan kampusku.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, di sini adalah tempat dengan kemungkinan kemunculan ‘mereka’ terbesar namun tidak begitu berbahaya. Seandainya waktu dulu itu Anton tidak menantang ‘mereka’ seharusnya yang terjadi hanya kengerian saja. Bukan ancaman nyata seperti itu.
Ayano cukup terkejut ketika aku langsung mengajaknya bertemu ‘mereka’ secepat ini.
Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau sebenarnya dia takut dan tidak ingin melakukan ini. Tapi toh akhirnya dia menyanggupi juga.
Dan akhirnya dia menemaniku ke perpustakaan kampus bersama.
Aku sengaja memilih waktu sore setelah kuliah sudah hampir tidak ada. Dan saat perpustakaan mulai sepi. Selain itu juga menghindari masalah yang bisa saja terjadi kalau ada teman-teman kelasku yang melihatku bersama dengan Asdosku sendiri.
Kami tiba di perpustakaan benar-benar saat sudah sore.
Sebelum kami masuk, aku mengetahui satu hal lagi mengenai cowok yang ikut bersamaku ini. Ternyata dia akrab dengan para penjaga perpustakaan.
“Jangan pacaran diatas ya!” goda Ibu penjaga perusahaan pada Ayano.
“Hahah, enggak bu, ni anak adek sepupu saya. Mau saya kasih tau buku buat kerjain tugas” jawabnya pada ibu itu.
Kami berdua memasuki perpustakaan diiringi suara tawa dan sambutan hangat dari para penjaga perpustakaan.
“Heeh… koko dekat dengan penjaga perpustakaan ya?” tanyaku.
“Hah? Engga juga. Biasa aja kok” jawabnya.
“Jadi sekarang status aku adek sepupu?”
“Huss! Itu supaya gak dicurigain”
“Dicurigain? Nahh!! Pasti dulu sama ci Risna sering pacaran di perpus ya?” aku memutuskan untuk menggodanya sedikit karena aku sudah bisa merasakan hawa dingin yang datang dari lantai atas perpustakaan.
Tidak biasanya hawanya terasa dari lantai bawah seperti ini.
“Enggak” jawabnya serius “Kami gak pernah pacaran di kampus atau bermesraan di tempat umum”.
Aku terbengong-bengong mendengar jawaban serius itu. Perutku terasa geli.
“Ahahahahahaha”
Tanpa sadar, tawa meledak dari mulutku.
Orang ini benar-benar selalu bisa membuatku tertawa deh. Padahal sudah beberapa tahun terakhir aku tidak pernah tertawa begini. Tapi semenjak dia datang ke kostku saja dia sudah beberapa kali membuatku tertawa lepas.
“Sssttt!! SSsstt!! Kamu ini apa-apaan sih? Tau-tau ketawa?” tanyanya.
Aku masih tertawa, meskipun dengan sekuat tenaga aku menahan tawaku supaya tidak terlalu kencang.
“Kamu kesurupan ya?” tanya dia lagi.
Aku tidak tahan lagi menahan tawaku dan tertawa lepas kembali.
Dia menutup mulutku dan menarikku ke samping. “Huss, udah ntar orang curiga” katanya.
Aku mengangkat tanganku tanda kalau aku mengerti dan akan menghentikan tawaku.
Begitu aku berhenti tertawa, aku merasakan sesuatu pada tengkukku.
Firasat yang biasa menandakan kalau ‘mereka’ sedang memperhatikan aku.
Tapi darimana? Kami bahkan belum menaiki tangga perpustakaan.
Hari ini memang aneh, biasanya tidak terasa se’dingin’ ini.
‘DEGG!!’
Aku melihatnya akhirnya.
‘Dia’ yang sedang menatapku tadi.
Sosok ‘wanita berambut panjang berbaju abu-abu’ sedang bergelantung terbalik di depan jendela dan menatapku dengan sebelah matanya yang tergantung lemas dari lubangnya.
Aku begitu terpaku melihat sosok ‘wanita’ itu hingga tidak sadar Ayano memanggil-manggilku sebelumnya.
Baru setelah dia menggoyang-goyangkan badanku baru aku menyadari panggilannya.
“Hei, Elisa?” panggilnya.
“Eh.. iya?” jawabku linglung.
“Kamu ngeliat apa?” tanyanya.
Aku hanya menatap dia.
“Kamu ngeliat ‘mereka’ kan?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Bukannya kata kamu tadi di lantai-3nya?” tanya Ayano sembari melihat ke lantai atas.
“Harusnya iya”
“Lalu kamu lihat dimana?”
Aku memberi isyarat dengan mataku untuk mengatakan kalau aku melihatnya dari arah jendela.
Ayano menatap ke arah jendela, kemudian dia berbalik dengan cepat.
“Lis?”
“Kalau di belakang kamu? Ada apa?” tanyanya.
Waktu itu aku berpikir, belakangku? Ada apa memangnya?
Dan ketika aku berbalik, tanpa sadar aku berteriak “AH!?” karena kaget.
Sosok dengan rambut panjang bagaikan pohon cemara sedang duduk berjongkok di anak tangga yang bertepatan dengan tinggi mataku.
‘Mahluk’ itu mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya tepat berhadap-hadapan dengan wajahku.
Wajahnya hampir tertutup seluruhnya oleh rambutnya yang tebal. Tapi aku masih dapat melihat kedua bola mata yang sedang menatapku.
Aku bergerak mundur.
Tanpa disangka-sangka Ayano bergerak maju ke depanku dan menutupi pandanganku ke ‘mahluk’ itu. Tangannya terentang dengan sikap melindungi.
“Ko?” tanyaku.
“Ayo pergi…” katanya pelan.
“Koko udah liat?” tanyaku lagi.
“Enggak, saya enggak bisa lihat” katanya “Tapi saya emang ngerasain sesuatu dari tangga, dan muka kamu pucet banget” tambahnya.
“Iya..” kataku mengangguk, tanpa sadar tanganku sudah menggenggam baju Ayano pada bagian pinggangnya
Kalau diingat sebenarnya cukup memalukan.
“Kita bisa keluar?” tanya Ayano lagi.
Aku melihat ke arah tangga turun.
“Oh!!”
Sosok ‘wanita’ berbaju abu-abu itu naik perlahan dari tangga bawah. Kepalanya yang hanya ditumbuhi oleh beberapa rambut yang panjang terlihat mengerikan dengan kulit wajah yang sudah membusuk.
“Ada ‘mereka’ juga dari tangga” bisikku pada Ayano.
Ayano melirik “Waow…!!”
Aku terkejut karena teriakan Ayano itu “Kenapa ko?”
“Saya bisa lihat juga sedikit yang dari tangga itu…” bisiknya.
‘SREKK’
‘SREKK-SREKK-SREKK’
Suara buku-buku berjatuhan membuat aku dan Ayano menengok pada sisi dimana suara itu datang.
Aku melihat dengan jelas sosok yang tampak bagaikan manusia dengan kaki dan tangan yang panjang sekali hingga seperti seekor laba-laba sedang berlari menyusuri rak-rak buku sambil menjatuhkan beberapa buku karena tungkai-tungkainya yang panjang.
“AHH!!”
Aku mundur lagi dan kali ini Ayano semakin merapatkan punggungnya padaku. Kedua tangannya terentang seakan ingin menutupi aku dari ‘mereka’.
“Saya gak bisa liat apa yang ngejatohin buku” kata Ayano “Tapi saya yakin dia agak jahat”
Aku kaget mendengar Ayano berkata begitu “Kenapa koko bisa yakin?”
“Karena tiba-tiba ada bau darah” kata Ayano lagi.
Benar, aku baru menyadarinya setelah Ayano mengatakannya. Bau anyir darah dan bau busuk bangkai mulai tercium di ruangan itu.
Biasanya tidak pernah begini.. pikirku panik.
“Elisa!!” teriak Ayano “Kita keluar dari sini!!” ajaknya.
Aku hanya menatapnya dan menggeleng “Tapi kita dikepung”
Ayano tampak berpikir “Mereka bisa menyentuh kita?”
Aku tersentak. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya. Kemudian aku menjawab Ayano sesuai dengan pengalamanku.
“Kalau koko entahlah… tapi kayaknya aku bisa disentuh deh” kataku.
“Gitu ya..” komentarnya. “Kalau gitu sorry ya, tahan sebentar” katanya.
Aku tidak sempat mengeluarkan komentar apapun ketika dia membuka blazernya dan menutupiku dengan itu.
Kemudian dia memelukku melalui blazer itu dan berkata “Ayo, kita keluar!!” teriaknya.
“Hah?”
“Sorry, tahan sebentar aja sampe kita keluar” kata Ayano sambil mempererat pelukannya dan menggiringku perlahan untuk berjalan.
“Ayo!!” katanya lagi.
Aku mengikuti petunjuknya dan berjalan dari tempat itu sambil berada di pelukan Ayano dan ditutupi oleh blazernya.
‘OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!’
Suara itu menggema kencang di ruangan perpustakaan itu.
“Damn!!” umpat Ayano “Suara apa itu??”
“Koko juga dengar?” tanyaku.
“Iya bisa!” jawabnya singkat sambil mengisyaratkanku untuk mempercepat langkah.
“Kalau gitu gawat…” gumamku.
“Gawat apanya?”
“Kita harus buruan keluar!”
“Kalo yang itu setuju deh”
Kami mempercepat langkah kami sementara di belakang kami terdengar bunyi ‘SREKK-SREKK-SREKKK-SREKKK!!’ dari buku-buku yang berjatuhan ke lantai.
‘OOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!’
“Kamu duluan Lis!!” teriak Ayano sambil mendorongku sedikit untuk menuruni tangga duluan.
Dengan reflek aku menarik tangan kemeja panjangnya “Jangan, koko juga!!”
Ayano menatap ke belakang. Aku tidak dapat melihatnya karena tertutup oleh tangga. Tapi aku bisa mendengar suara ‘mahluk’ yang mengejar kami semakin dekat.
“Ayo!!” Ayano menggandengku menuruni tangga perpustakaan menuju ke lantai satu.
“Ngh!!” keluh Ayano sembari berlari menuruni tangga.
“Ko?” tanyaku sambil turun.
“Enggak biasa lari, hehehe” katanya.
“Dasar”
“Ayo, dikit lagi” kata dia lagi.
Untung saja sebelumnya Ayano menyarankan untuk menaruh tasku di mobilnya sehingga kami tidak perlu lagi mengambil titipan tas di loker.
Kami langsung pergi keluar dan tidak menemui penjaga perpustakaan yang sedang berjaga di luar.
Kebetulan yang aneh.
Aku berhenti untuk mengambil nafas sejenak. Tapi Ayano merangkul pundakku dan mengajakku langsung naik ke lift.
Setelah kami berdua masuk ke dalam lift, Ayano baru terlihat lebih lega.
“Takut banget ya?” tanyaku.
“Ya gitulah” katanya masih terengah-engah.
“hahahahaha” Aku tertawa melihatnya yang biasanya rapi menjadi berantakan.
“Hehehehehe” tidak disangka-sangka, dia juga ikut tertawa bersamaku.
Akhirnya kami berdua tertawa-tawa di lift berdua.
“Sampai tuh, ayo, ladies first” katanya.
Aku melangkah duluan sementara Ayano berusaha memakai kembali blazernya.
“Sini, aku bantuin” kataku sembari berjalan ke belakangnya dengan tujuan membantunya memakai blazer.
“Eh nggak usah!” katanya.
Tapi terlambat. Aku sudah melihatnya.
Sepertinya dia berusaha menyembunyikannya.
“Kenapa bisa begini ko?”
Pada punggung kemejanya aku melihat bekas seperti telapak tangan berwarna merah yang membercak jelas.
“Sejak kapan ini ko?” tanyaku sambil menyentuh bekas itu sedikit.
“Aw” Ayano mengaduh dengan reflek ketika aku memegang bekas itu.
“Sakit? Koko luka?” tanyaku panik.
“Enggak kok” katanya sambil tersenyum. “Ayo pulang” ajaknya.
Aku mengangguk. Biarkan dulu, pikirku. Nanti saja, pikirku.
Sesampainya di kostku. Aku segera menarik tangannya. “Turun! Biarin aku liat lukanya!” kataku.
“Luka apaan?”
Aku sedang tidak mood untuk beragumen. Aku sudah membuat orang lain terluka. Dan perasaan itu sama sekali tidak mengenakkan.
“Please, turun ko.” Kataku meminta separuh memaksa pada Ayano.
Akhirnya Ayano mau turun dari mobil. Aku membawanya masuk ke kostku dan segera membantunya melepas blazer.
Aku memintanya membuka kemejanya untuk menunjukkan punggungnya yang terluka.
Dan ternyata lebih parah dari yang kubayangkan.
Seluruh punggungnya banyak bekas seperti telapak tangan yang memerah di kulitnya. Pada lengan dan pundak dan pinggangnya tampak bekas tangan bagaikan menarik dengan keras hingga membekas kemerahan di kulit.
Tapi yang paling parah adalah bekas telapak tangan yang membekas di kemejanya. Karena bekas telapak itu seperti mengelupas. Seperti kulit yang mengelupas karena terkena panas atau dingin yang sangat ekstrim.
“Kenapa koko gak bilang?”
“Alahh.. luka kecil”
“Kayak begini dibilang luka kecil?” kataku sambil melihat bekas-bekas di punggungnya.
“Dibanding kamu tempo hari?” jawabnya.
Dia sedang membicarakan ketika aku diserang oleh sang ‘dewa’ lalim. Sang ‘mata’ atau sang ‘topeng naga’ entahlah, nama mana saja sepertinya tidak ada bedanya. Aku hanya mengenalnya sebegai ‘mahluk’ yang bisa melukaiku secara langsung.
“Itu beda…” kataku sambil mencari-cari obat untuk luka di laci.
“Beda?”
“Iya beda..”
“Hmmm.. iya sih”
Aku mendongak melihatnya ketika dia mengatakan itu. Dia tersenyum dan berkata “Yang ini gak separah kamu waktu itu” katanya.
Aku benar-benar bingung harus berkata apa.
“Please ko, udah tau kan sekarang bahayanya?”
“Kurang lebih gitu”
“Jadi koko udah paham kan? Bahaya? Karena itu sebaiknya koko jangan terlibat lah” pintaku.
“Hmm.. justru kebalikannya loh Lis” katanya.
“Hahh??” kataku separuh berteriak karena frustasi.
“Justru kalau perkenalan pertama kayak begini. Saya lebih khawatir lagi sama kamu”
“Hahhh???” teriakku dengan frustasi.
“Jadi saya masih tetap pada omongan saya ya” katanya “Kalau ada masalah begini kalau bisa panggil saya. Eh… hmmm….”
Dia tampak berpikir. “Bukan-bukan-bukan.. kalau tiba-tiba gak bisa langsung panggil ya? Kalau begitu gini deh. Kalau bisa kemana-kemana yang kamu gak ada teman sama saya aja. Setidaknya saya udah tau kemampuan kamu gimana. Jadi kamu gak usah pura-pura gak bisa liat kalo lagi sama saya” katanya.
“Nggak mau!!” aku menolak.
“Lis, ayolah” Ayano memohon.
“Koko baru pertama udah luka begini, ntar mau kayak gimana? Enggak!! Pokoknya enggak!!” kataku.
“Ealah luka kecil begini aja” katanya.
“Ntar kalo koko udah luka parah baru ntar benci aku!!” teriakku histeris. Air mata tidak terbendung mengalir keluar. Mataku benar-benar terasa panas karena air mata. Tenggorokannku terasa sesak.
Ayano menatapku lurus-lurus. Kemudian tersenyum.
Dia beranjak berdiri dan mendekati aku.
Dan mengusap-usap rambutku perlahan. “Maksudnya saya benci kamu karena bisa ngeliat hal gaib gitu?” tanyanya.
Aku mengangguk.
‘pletak!!’
Dia menyentil keningku.
Beneran menyentil keningku hingga terasa pedis.
“Bodohh!!” katanya.
“Aduh!! Sakit tau!! Koko!! Orang lagi serius malah becanda!!” bentak saya kesal. Jujur, perasaan saya waktu itu juga sudah tidak karuan.
“Biarin!!” katanya sambil tersenyum. Kemudian dia memegang bahuku “Denger ya cewek galak. Kamu galakin dan jutekin aja saya masih dateng lagi-dateng lagi” katanya.
“Emang.. kecoak aja gak segigih itu” sambarku ketus.
“Tuh, keluar lagi kan galaknya” ledeknya.
“Nggak mau tau ah!!” aku ingat waktu itu aku mulai mengambek.
“Hehehehehehe” dia tertawa.
Aku berdiri membelakanginya, tidak mau melihat mukanya karena takut akan ikut tertawa.
“Lis?”
“Elisaaaaaa”
“Yuuuhuuuuuu!!”
“Apa sih? Bawel!!” hardikku.
“Hmmm” Ayano berhenti sejenak dan memberikan gumaman panjang sebelum berkata “Temen-temen kamu.. benci kamu?” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat sesuatu tempat di dalam dadaku sakit.
“Karena urusan sama ‘mereka’ ini?”
Aku mengangguk.
“Beda Lis” katanya lagi.
Aku menengok ke arahnya. “Mereka kan cuman ingin tau. Kalau saya kan emang mau jagain kamu. Beda” jelasnya lagi.
Pada poin ini aku mengetahui mukaku memerah tanpa memerlukan cermin.
Kata-katanya seperti orang mau menembak saja.
“Ya udah saya pulang dulu. Thanks ya salepnya” katanya lagi “Jangan lupa makan malem” katanya sambil beranjak ke pintu.
Dan dia pulang sementara aku masih memutar kejadian dengannya dalam benakku dengan detail dan menuliskannya kata-per-kata pada Diaryku yang akhirya membuatnya terlalu banyak menceritakan tentang Ayano ketimbang membahas tentang ‘mereka’.
PS : katanya Ayano akan menceritakan cerita ini dari sudut pandanganya juga lho di lanjutan tulisannya kemarin.
=== Cerita Selanjutnya ===