Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXVIII - 19 Agustus 2012 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part XXVIII - 19 Agustus 2012

Hari kedua…

Sesuai rencana, kami pergi beramai-ramai untuk melihat air terjun walaupun kami semua kesulitan membuka mata. Apa boleh buat, kami tidak bisa tidur semalaman akibat kejadian kemarin.

Tapi syukurlah perjalanan sampai mencapai air terjun cukup lancar.

Pemandangan air terjun yang indah setidaknya membayar lunas penderitaan yang harus dilalui untuk mendaki sampai ke atas, tempat melihat air terjun paling indah.

Kamipun langsung melompat ke dalam sungai dan bermain-main di dekat air terjun kecil.

Ketika sedang bermain-main. Aku melihat sekilas sosok yang sedang berdiri di pinggiran air terjun besar. Aku hanya melihat sosok itu sekilas, bagaikan seorang wanita dengan baju warna hitam.

Aku sih tidak tau pasti apakah benar itu wanita atau tidak, aku hanya menebak-nebak dari rambutnya yang terlihat panjang.

Tapi, melihat sosok itu membuatku firasatku menjadi tidak enak.

Karena itu aku menarik Cindy dan membisikkan mengenai apa yang kulihat itu padanya.

Cindy melirik ke sekeliling. “Gua sih gak liat Lis.. tapi emang mata lu lebih kuat dari gua. Ya udah, gua ajak anak-anak deh cabut” katanya.

Cindy pergi ke Rina dan sepertinya membisikkan apa yang kukatakan padanya. Kulihat Rina mengangguk dan sesaat kemudian dia mengatakan kepada grup kalau hari sudah semakin siang dan saatnya pergi. Seperti biasa, grup mematuhi Rina.

Satu per satu, kami semua keluar dari sungai itu.

“AHK!!” salah satu dari cowok di grup, Mario berteriak kaget. Salah satu kakinya masih berada di dalam air.

“Ada yang narik kaki gue!!” teriaknya.

Aku melihatnya.

Rambut!!

Kaki Mario dililit oleh rambut hitam yang bergerak bagaikan ular, rambut itu hidup dan bergerak dari betis hingga perlahan melingkari lutut Mario.

“Tarik dia!!” Cindy berteriak pada teman-teman kami yang lain.

“Hah?” beberapa teman kami kebingungan mendengar teriakan Cindy.

“TARIK SAJA!!” Kali ini giiran Rina yang berteriak. Dan dengan sigap para cowok membantu Mario keluar dari sungai.

Aku sendiri memperhatikan rambut yang memanjang itu. Rambut itu memanjang sampai ke bebatuan di samping air terjun.

Dan di samping bebatuan itu, sosok dengan rambut hitam yang sangat panjang sedang mengintip ke arah kami.

Bukan, ke arahku.

Matanya tepat mengarah ke mataku hingga pandangan kami berserobok.

Aku langsung menyadari kalau ‘mahluk’ itu tau aku bisa melihatnya.

“Ahh!!”

Aku mendengar teriakan teman-temanku. Mario sudah berhasil ditarik dari sungai.

Tepatnya, rambut yang mengikatnya kini sudah lepas dan mundur ke hulu sungai bagaikan ditarik.

Aku mengarahkan mataku pada bebatuan tempat ‘mahluk’ itu bersembunyi tadi.

Hilang….

Tapi firasat burukku belum…

“Kaki lo nyangkut apaan Mar?” tanya Arman. Mereka semua sedang terbaring terengah-engah pada onggokan-onggokan batu di pinggir sungai.

“Kagak tau, ada yang ngelilit kaki gue” jawab Mario.

“Uler?” tanya Deni satu orang cowok lagi yang ada di team kami.

“Tau deh, kayaknya gitu soalnya bisa ngelilit naek” kata Mario sambil begidik.

“Gak liat uler gue, kali kesangkut ama akar pohon ato gimana kali? Lu takut makanya kerasanya naek gitu” kata Arman.

“Guys… kayaknya bukan uler ato bukan akar pohon deh” kata Nita, anggota cewek keempat yang ikut bersama kami juga. Dia menunjuk ke arah kaki Mario.

Aku sempat berharap atau mengira akan melihat bekas lilitan rambut pada kaki Mario.

Ternyata dugaanku salah.

Kaki Mario dipenuhi dengan bercak-bercak dengan bentuk seperti lengan dan telapak tangan. Seakan-akan puluhan tangan sedang menempel pada kaki Mario hingga meninggalkan jejaknya disana.

Tidak ada seorangpun dari kami yang berani mengeluarkan suara. Semuanya terdiam menatap bekas yang sangat nyata di kaki Mario.

Kami memilih untuk beranjak segera dari tempat itu.

Di perjalanan pulang kami semua terdiam.

Sedangkan aku melihat sesuatu di perjalanan pulang. Dari kaca spion tengah mobil, aku bisa melihat sosok berambut panjang itu melata bagaikan ular menggunakan rambutnya mengikuti mobil kami.

‘Mahluk’ itu terus mengikuti kami, sampai akhirnya hilang dari pandangan ketika kami melewati batas desa.

Aku memutuskan untuk menyimpan hal itu sendiri. Tidak ada untungnya menceritakan hal ini pada teman-temanku yang sudah sangat ketakutan.

Setelah kami tiba di rumah, kami baru berani bercerita mengenai pengalaman yang terjadi pada Mario. Sedangkan Mario sendiri tampak shock hingga hanya menjawab apabila ditanya, sisanya dia tampak lebih banyak terdiam.

“Hei… “ Rina berseru di tengah-tengah cerita mereka. “Bagaimana kalau kita ke rumah kepala Desa?” usulnya.

“Kepala Desa?” tanya beberapa anak bersamaan.

“Kalian ingat kan kemarin malam? Nah terus kejadian barusan? Apa gak bagusnya kita denger ada apa aja sih disini? ama gimana cara nanggulanginnya?”

Kamipun pergi ke kepala desa.

Singkat cerita saja, ternyata kepala desa mengatakan pada kami kalau tidak ada sesuatu halpun yang biasanya perlu diwaspadai di desa ini. Tapi beliau mengatakan pada kami kalau sebaiknya jangan berlaku takabur atau yang tidak-tidak.

Masalahnya bagi kami sekarang. Tidak ada petunjuk apapun yang kami dapatkan dari pembicaraan dengan kepala desa ini.

Namun, ketika kami berjalan kembali ke rumah tempat kami menginap. Kami berpapasan dengan beberapa orang tua yang sedang duduk-duduk di teras rumah.

Ketika kami membungkukkan badan kami untuk memberi salam, salah satu dari nenek yang sedang duduk-duduk itu berkata “Hati-hati sama wewe hitam cu.” Kata seorang nenek. “Tenang-tenang, aku to ngeliat e mereka dilindungi Opung Bayan” sahut nenek lainnya dengan sedikit logat Jawa (sengaja saya berikan nama aslinya nenek pelindung kami).

“Maksudnya apa Nek?” Rina bertanya pada nenek-nenek itu.

“Kalau wewe hitam keluar, taruh cermin di depan dia” kata nenek yang memberitahukan soal Opung Bayan pada kami.

“Wewe hitam?” tanya Rina lagi. Tapi para nenek itu mulai berdiskusi diantara mereka sendiri dalam Bahasa jawa sehingga kami tidak mengerti artinya. Sayang sekali tidak ada seorangpun diantara kami yang mengerti Bahasa Jawa saat itu. Tapi aku cukup yakin para nenek itu sedang bercerita mengenai si ‘wewe hitam’ ini. Karena beberapa kali mereka menyebut kata ‘wewe ireng’.

Akhirnya malampun tiba.

Kami sedang mengobrol-ngobrol di ruang tamu ketika Arman memanggil Mario.

“Rio? Lo lagi ngapain? Sini ikutan capsa!!” teriak Arman.

Aku melihat Mario sedang melihat-lihat ke jendela besar yang ada juga di ruang tengah itu.

“Oi, Mario, ngapain si lu?” teriak Arman lagi tidak sabar. Mario tidak mengacuhkan panggilan temannya itu dan tetap melihat ke arah luar jendela besar.

“Lo orang gak denger ada suara bedug gitu?” tanya Mario.

Aku tidak mendengar bedug yang dikatakan Mario, tidak juga Cindy dan teman-teman lainnya.

“Bedug apaan coy?” tanya Deni.

Mario berbalik dan mengangkat bahunya. “Tau deh, salah denger kali gue”

Tepat ketika Mario bergeser dari tempatnya berdiri, “AHHHH!!!” Nita berteriak sambil menunjuk ke arah jendela besar itu.

Di jendela itu, kembali ada sosok wanita tanpa bola mata.

Sosok ‘wanita’ itu sedang menempelkan kedua telapak tangannya sambil wajahnya mengarah kepada kami. Wajah pucatnya membuat tampilan wajah ‘wanita’ itu terlihat dengan jelas dengan diterangi oleh cahaya rembulan.

Rongga matanya yang kosong membuatnya seakan-akan sedang menatap tepat kearahku.

Tapi berbeda dengan kemarin, kali ini semua teman-temanku juga bisa melihat ‘wanita’ tersebut.

“Waahhh!!!”

“Buset!! Apaan itu?!”

Beberapa teman-temanku berteriak kaget sambil merapat ke dinding. Aku melihat Rina sedang berkomat-kamit sambil memegang kalungnya. Sepertinya dia sedang memanjatkan Doa.

“Cari cermin!!” teriak Arman.

Kami semua menatap Arman. “Lo orang lupa tadi nenek-nenek itu bilang apa? Taro cermin!!” teriaknya lagi.

Mendengar itu, Mario, Deni, Arman melesat menuju ruangan lain di rumah kami ini.

“Enggak ada cermin!!” teriak Arman dari ruangan sebelah.

“Di kamar kita juga gak ada cerminnya!!” teriak Deni yang bersama dengan Mario masuk ke kamar para cowok.

“Kamar gua ada cermin!!” teriak Rina.

Aku melihat Mario dan Arman melesat menyebrangi ruangan dan menuju ke kamar Rina. Mario menunggu diluar sedangkan Arman masuk ke dalam.

“Ketemu!!” katanya.

Arman segera berlari keluar dengan membawa cermin besar yang kurasa tadinya terletak di dalam lemari.

Para Pria kembali ke ruangan tengah. ‘wanita’ itu masih menatap kami dengan kosong.

Arman meletakkan cermin itu tepat berseberangan dengan ‘wanita’ itu.

Tidak terjadi apa-apa.

“Kok tidak ilang sih?” celetuk Nita.

“Sial… mungkin yang dibilang nenek-nenek itu cuman takhayul” teriak Arman dengan nada mulai panik.

“Atau mungkin… itu bukan ‘wewe hitam’?” Rina berkata.

Beberapa dari kami sedang menatap Rina, sedangkan Rina menatapku dan Cindy.

“Sorry Lis… gue gak mau nanya begini tadinya…” kata Rina “Tapi… itu ‘mahluk’ yang lo bilang ‘wewe’ kemarin?” tanyanya.

Aku menggeleng “Bukan aku yang bilang, tapi nenek yang aku lihat. Dan iya, bukan itu” kataku.

“Yang gebrak-gebrak pintu” kata Cindy.

“Mahluk hitam gede yang kemaren?” tanya Mario.

“BRAAAAAAAAAAAAKKKKKK!!!!”

Kami semua terkejut.

Di sisi ruangan yang lain, sesosok tikus besar dengan rongga mata kosong sedang menabrakkan moncongnya pada jendela besar lainnya.

Nita berbisik “Itu dia…”

Rina berteriak “MAN!! CERMINNYA!!!” teriak Rina.

Arman terkesiap kemudian dia terlihat paham dan memutar cermin itu ke arah si ‘wewe hitam’.

“GRAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHGGG!!!!!!!!!!”

‘Wewe hitam’ itu berteriak meraung ketika cermin diarahkan padanya.

“RAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!!!” ‘BRAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!’

“Waduh!! Jendelanya!!” Teriak Deni. ‘Wewe hitam’ itu berteriak-teriak sambil menghantamkan tubuhnya pada jendela besar itu.

“GRAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!” ‘BRAAAAAAAAAAAAKKKK!!’

“Gimana nih Rin?” Arman bertanya pada Rina.

Rina hanya menggeleng “Gua juga gak ngerti” katanya lirih kemudian menatap kepadaku dan Cindy “Lo orang ada ide?”

Kami berdua menggeleng.

Dan tepat ketika aku menatap Rina untuk menggeleng itulah, aku melihat di jendela pada sisi sebelah Rina, perlahan-lahan kenop jendela itu berputar.

‘KLEK-KLEK-KLEK’

Bunyi putaran kenop itu tertutupi oleh bunyi raungan dan kehebohan yang diakibatkan si ‘wewe hitam’ sehingga teman-temanku yang lain tidak menyadari kenop pintu yang berputar itu.

“Rina!! Jendelanya!!” teriakku.

Teriakanku sontak membuat teman-temanku yang lain melihat ke arah yang aku tunjuk.

“Dia mau masuk!!” teriak Rina.

“Mario!! Bantu gue!!” teriak Arman sambil berlari ke jendela itu.

Mereka berdua menahan jendela besar tempat sang ‘wanita’ itu bermaksud ingin masuk.

Suasana begitu kacau ketika saya merasakan udara hangat dari belakang saya.

Saya menengok.

Nenek itu muncul lagi dan tersenyum ramah padaku.

Dia berjalan ketempatku berdiri dan menyentuh lenganku. Seketika itu, aku benar-benar merasakan ketenangan dan keberanian yang muncul dari hatiku. Rasanya hangat sekali sentuhan nenek itu.

“Cu.. bilang temannya jangan ditutup jendelanya” kata nenek itu lembut padaku.

Aku menatap nenek itu bingung.

Nenek itu menatapku lembut. “Itu ‘wewe putih’ “ kata nenek itu. “Dia akan bantu kalian” lanjutnya.

Aku masih menatap nenek itu yang masih tersenyum ramah. “Kemarilah cu, bukakan pintu untuk dia” kata nenek itu sambil menuntunku.

Aku berjalan bersama nenek itu ke jendela tempat ‘wanita’ itu masih berusaha masuk.

“Hah? Lis? Lo ngapain di sini? Mundur, bahaya lho” kata Arman yang masih menahan jendela besar itu. Mario yang berada di sampingnya mengangguk setuju.

Aku menatap nenek di sampingku yang mengangguk lembut.

“Tidak apa-apa” kataku pada Arman dan Mario “Yang ini tidak jahat” kataku.

Kedua cowok itu menatapku bingung. Tapi akhirnya mereka menyingkir dari jendela itu.

‘KLEK’

Jendela itu terbuka. ‘wanita’ itu menggapai-gapai seraya memasuki ruangan.

Arman dan Mario sudah mundur untuk menjaga jarak aman dengan ‘wanita’ itu.

“Tidak apa-apa cu” kata nenek disampingku menenangkan “ambil tangannya dan tuntun dia ke ‘wewe hitam’ “ kata sang nenek.

Aku ragu sejenak. Tapi senyuman dan anggukan nenek yang ramah itu membuatku membulatkan niat.

Aku mengambil tangan ‘wanita’ itu. Sesaat ketika menggenggam tangannya ‘wanita’ itu menatap dengan rongga matanya yang kosong ke arahku. “Tidak apa-apa, aku akan menuntun kamu” kataku.

‘Wanita’ itu tersenyum tipis dan mengangguk.

“Tuntun dia ke arah si ‘wewe hitam’ “ kata nenek dari belakangku.

Aku mengikuti suruhan nenek itu. Aku mendengar suara kaget dari teman-temanku yang mungkin saja terkejut melihatku sedang menuntun si ‘wanita’ ini.

Ketika aku dan si ‘wanita’ sudah berada dekat dengan si ‘wewe hitam’ itu. Si ‘wanita’ berhenti berjalan. Dia melepaskan tangannya dari genggaman tanganku yang menuntunnya dan berdiri dengan sikap anggun.

‘Wewe hitam’ masih berteriak-teriak dan menghantamkan tubuhnya pada jendela yang entah bagaimana tetap bertahan tanpa roboh.

Si ‘wanita’ itu perlahan-lahan berjalan ke arah si ‘wewe hitam’ itu.

Aku sedang menatap si ‘wanita’ dari samping ketika bajunya yang sebelumnya adalah baju biasa-biasa saja seperti baju gadis desa pada umumnya berubah menjadi baju putih dengan selendang panjang transparan yang terpasang pada lengan bajunya.

Yang lebih mengejutkan aku lagi adalah ketika ‘wanita’ itu menutup matanya yang kosong itu dan membukanya lengkap dengan bola mata yang memiliki pupil mata berwarna hijau yang sangat indah.

‘Wanita’ itu kini terlihat anggun dan bercahaya dengan baju kebaya putih bersihnya yang berselendang transparan.

‘Wanita’ itu kemudian menggerakkan bibirnya.

Suaranya… entahlah, bagaimana aku harus menggambarkannya? Ketika mendengar suaranya seakan kami mendengarnya dari hati.

“Mahluk nakal”

Dua kata itu saja yang ‘diucapkan’ oleh wanita itu.

Setelahnya, aku hanya melihat si ‘wewe hitam’ menjerit-jerit sebelum akhirnya berubah menjadi gumpalan hitam kecil yang mirip dengan gumpalan rambut.

Dan pemandangan selanjutnya benar-benar bertentangan dengan wujud cantik wanita itu.

Dia memakan gumpalan hitam rambut itu…

‘KRESS..KRESS…KRESS….’

Kami semua terdiam tanpa suara sewaktu wanita itu mengunyah gumpalan hitam itu dan menelannya.

Kemudian dia berbalik dan menatap kami semua dengan matanya yang berpupil hijau.

Mata itu bagaikan menghipnotis kami.

Tapi dia tidak berbuat apa-apa, ‘wanita’ itu hanya berjalan ke luar jendela yang tadinya di hantam-hantam oleh ‘wewe hitam’, menembusnya dan menghilang dalam kegelapan malam.

“Bagus cu, terima kasih” kata nenek itu sebelum menghilang.

Setelah itu kami semua hanya terdiam. Sampai akhirnya Nita berkata kalau dia tidak kuat lagi berada di sini dan minta pulang. Tidak ada satupun dari antara kami yang tidak setuju dengan perkataan Nita itu.

Pada akhirnya, keesokan paginya kami semua meminta diri untuk pergi dari desa itu dan pulang kembali ke Jakarta dengan membawa pengalaman ini.


=== Cerita Selanjutnya ===