Ketika kami bersiaga untuk mendegar aktifitas sekecil apapun yang dapat kami dengar dari perkarangan kanan rumah. Suara hentakan dari dinding kamar terdengar keras “brak” suara apapun itu yang jelas seperti ada seseoarang yang melemparkan batu seukuran genggaman tangan dilemparkan ke dinding. Aku kaget dan bangkit dari posisi tidurku, Lala dan Aning yang berada di atas tempat tidurnya hingga lompat mendekat kepadaku. Lala dan Aning berpelukan karena sangat ketakutan sekali. Kembali lagi suara itu terdengar lagi, kali ini lemparannya seperti dengan kerikil kecil. Apapun itu, dinding rumah diantara gudang dan kamaku sampai kedepan rumah itu setengah tembok setengah kayu. jadi kalau dinding kayu dilempar dengan sekecil batu kerikil pada malam hari pasti terdengar.
Jantungku memompa dan berdetak cepat, sekaligus dengan Lala dan Aning menggigil ketakutan. Kerikil itu kembali menghantam dinding kamar, sudah tiga kalinya. Aku berada di titik perasaan panic dan sedikit emosi siapapun orang yang melempari dinding kamar seperti ingin aku hantam dengan batu bata di kepalanya. Lalu aku berdiri beranjak dan berjalan keluar kamar ingin ke pekarangan kanan rumah. Lala menarik tanganku dan berkata “mau kemana?” dengan muka pasi. Aku bilang kalau ingin mengecek keluar sana, dan mereka berdua mengikutiku. Sebenarnya aku tahan mereka berdua tetapi mereka berdua malah tambah ketaktukan jika aku tinggal dikamar.
Aku, Lala dan Aning melihat sekitar pekarangan. Malam itu sangat gelap apalagi di sebelah kanan rumah sama sekali tidak kasih penerangan lampu. Aku mengawasi sekitar, tetapi justru aku merasa kalau kita bertiga yang telah diawasi dari pohon randu yang sangat besar ditenga tengah diantara banyaknya pohon pisang. Aku melihat bahwa tidak ada satupun aktifitas yang membuat suara seperti orang mengambil daun pisang sebelumnya dan tidak ada orang yang menimbulkan suara lemparan pada dinding. Aning dan Lala juga sama tidak melihatnya ada hal yang aneh, tetapi keadaan malah membuat bulu kuduk merinding akan angin malam yang silih berhembus.
Lama – kelamaan aku merasakan menyentuh di sekitar dadaku hingga leherku sangat beras. Rasanya ringan pada awalnya, tetapi kemudian seperti tekanan yang keras. Aku mengatakan kepada Lala dan Aning bahwa dada dan leherku seperti mendapat tekanan sebelum pergi kembali ke kamar dan kami bertiga mendengar suara cekikikan dari pohon randu tersebut. Aku hanya mendengarnya tak lain dengan Lala, tetapi Aning menutup matanya dan jongkok di tanah. Aku dan Lala sangat ketakutan, apalagi jantung rasanya seperti mau copot.
Pohon itu sangat besar bahkan cabang dari rantingnya saja kalau aku lihat dari bawah itu bagus dan menjulur masing – masing kesamping, kalaupun pohon itu dibuat rumah pohon buat anak kecil pasti sangat sempurna.
Lala menepuk pundak Aning dan bertanya,
“ning kamu kenapa?”
Aning berkata kalau di atas sana ada seoarang perempuan gendut yang mangkring duduk di atas pohon sana. Aku mengucek – mengucek mataku dan sama sekali tidak melihat ada perempuan duduk di atas, Lala malah menjerit “AAAAAAAAAh” dan melompat – lompat tidak jelas. Aku kebingungan dan tidak tahu mau berbuat apa. Aku berusaha menenangkan Lala dan menanyai nya “kamu kenapa?” dia bilang kalau dia melihat juga dan menunjuk diatas dengan jarinya. Aku melihat dengan bantuan dari jari Lala menunjuk, dari tempat aku berdiri aku pandanganku tertutup oleh daun pisang yang menjulur ke atas. Lalu aku berpindah posisi dan benar disana ada perempuan jelek gendut nene nya besar menggantung rambutnya gimbal seperti tidak pernah memakai sampai selama bertahun – tahun. Aku melihat sekitar 10 detik lalu menghilang, seperti terbang menghampiri kamu. Aku manarik baju Lala dan Aning keras mengajaknya lari, aku Lala dan Aning lari terpontang – panting dengan langkat yang sangat berat. Jarak lima meter saja seperti melangkahkan kaki serratus jangkah langkah. Lala dengan keadaan dada terlihat karena aku menarik bajunya sangat keras hingga robek itu tidak sama sekali perduli kalau dadanya yang satu itu keluar dari bajunya. (aku baru tahu kalau wanita pada saat mau tidur melepaskan beranya, agar sehat).
Kami bertiga masuk dan mengunci pintu depan dari dalam dan duduk terjaga di atas karpet kamar. Lala tampaknya sangat tidak perduli sekali setelah di ingatkan oleh Aning bahwa dadanya keluar dari bajunya itu tidak didengarnya. Aku merasa bersalah menarik bajunya pada bagian dada, tetapi namanya orang reflek ketakutan pasti tidak pandang bulu, apalagi Lala saat itu memang baju yang sangat tipis dan menerawang tetapi kainnya hitam.
Sekarang itu sekitar jam 2 am. Kami bertiga membahas dan menceritakan pandangan kita terhadap apa yang kita lihat barusan. Ditengah – tengah perbincangan kami dengan keadaan panic setengah mati, kami mulai mencium sesuatu yang benar – benar mengerikan. Rasanya seperti “kentut” benar – benar buruk baunya, dicampur dengan logam dan belerang, dan membusuknya telur. Kami bertiga saling menuduh tetapi tidak ada yang mengakuinya, kalau diliihat dari keseriusan wajah memang kami bertiga sama sekali tidak kentut. Apalagi Lama – kelamaan bau itu seperti bangkai. Itu sangat – sangat buruk, membuat Aning menyemprot pengharum ruangan dan harus membuka jendela.
Aku bahkan mengecek apa pantet Ninda yang tertidur itu kentut ataupun keciprit dalam celananya, tetapi juga tidak setelah aku amati dari dekat. Itu sama sekali tidak terjadi. Dia membaringkan badannya dan membuka matanya untuk berkata “kalian ngapain sih nyemprot – nyemprot ruangan sampai wangi banget?” . Ninda tanpa alarm berbunyi terbangun dan bangkit, dia menutupi hidungnya rapat – rapat dengan tanganya, dia sangat pusing tidak kuat dengan bau wanginya ruangan saat itu.
“gapapa Ninda, yaudah sana tidur gih udah malam banget..” Lala berkata seperti itu kepada Ninda. Kemudian Ninda kembali tidur dengan menutup kepalanya dengan bantal. Dia menyembunyikan kepalanya dan hidungnya dari bau wangi yang tersebar diseisi kamar.
Setelah beberapa saat Ninda bangun dan menuduh kami bertiga kentut. Dia sangat sebal waktu itu, dengan keadaan mengantuk kecapekan akibat kegiatan sekolahnya yang padat, dia marah – marah tidak jelas. Kami bertiga menjelaskan kalau itu bau tidak tahu dari mana asalnya itu langsung berbau di dalam kamar. Ninda setelah mendengarkan kami menjelaskan waktu itu, dia tidak percaya dan beranjak pergi kedapur untuk mengambil minuman. Karena aku sangat takut jika terjadi apa – apa dengan Ninda. Aku menemaninya menuju kedapur, aku dan Ninda kompak kalau bau itu aromanya tercium dari pekarangan kanan rumah. Didapur rumah kami temboknya diatas itu ada lubang – lubang untuk keluar masuknya udara.
Ninda berkata,
“kak baunya dari sana?”
Aku jawab,
“iya, aku juga mencium”
Aku kemudian mendekat ke dinding tembok dibawah lubang. Dan baunya sangat tidak enak, bangkai hewan besar kalau aku prediksi. Setelah mengendus bau – bau itu Lala dan Aning kembali berteriak kencang memanggil nama kami berdua. Aku dan Ninda mengengarnya lalu berjalan menujur ke kamar, saat sampai diruang makan, ibu bangun juga dan mengikutiku .
Tetap seperti yang aku lihat sebelumnya, Lala dan Aning berpelukan kembali. Merekapun bilang kalau wewe itu berdiri di pojokan kanan kamar jauh dari pintu kamar. Ibu yang disana juga ketakutan kepada kami, tetapi tidak bagi wewe nya. Ibu lalu bergegas wudhu dan membawa alquran kecil untuk dibacanya.
Dengan 03 am kami kelelahan. Kita semua memutuskan untuk mencoba tidur. Ibuku tetap duduk bersandar di tempat tidur Ninda sambil membaca alquran tersebut.
=====================================================================================
Singkat cerita, besoknya dipanggilkan orang pintar. Dan kyai tersebut bilang kalau wewe gombelnya enggan pergi dari pohon itu. Wewe itu mau pergi kalau ada yang mau menggendongnya sampai pohon besar di pinggir jalan pantura daerah jawa timur..
Dilain waktu kyai itu datang, ibuku membeli gorengan dan beberapa jajanan untuk menyambut kyai itu datang. ketika bapak ibu dan kyai tersebut menuju pohon randu tersebut. aku jahil dan memakan bakwan mendoan dengan lombok yang sangat banyak yang dsuguhkan ibu dan bapak buat kyai tersebut di lincak depan rumah. ya aku makan seperti tidak mempuyai dosa waktu itu hingga berselang lama perutku sangat mules sekali. dengan rasa sedikit takut bahwa dari kita bertiga, aku Aning dan Ninda itu sama sekali belum pernah menjajal wc itu waktu malam hari, berada pada belakang rumah yang terpisah dengan bangunan rumah itu sangat gelap. jadi itu rekor buat aku tersendiri untuk menjajal bab di wc itu pada malam hari. aku saat itu lari terbiri - birit melewati ibu dan bapak menemani kyai disamping rumah. Ibu yang melihatku seolah sudah tahu kalau aku mau bab.
dengan suasanya yang agak merinding aku mengeluarkan kotoran dari tubuhku dan membuangnya. rasa ketakutan sudah mengalahkan ambisiku untuk mengeluarkan kotoran panas itu. setelah sudah selesai, aku berdiri dan menaikan celanaku. ada yang sangat aneh dengan paha kakiku. kedua paha kakiku membesar seperti kaki gajah, dan anehnya kakiku sama sekali tidak merasakan sakit. aku ketakutan dan menjerit memanggil - manggil orang tuaku karena celana yang mau aku pakai sama sekali tidak bisa aku pakai dan tidak muat karena pahaku besar. jadi cuma sebatas lutu saja celanaku terpakai. tidak berselang lama Ibu dan Bapak kaget, mereka berdua ketakutan. hingga Lala Ninda dan Aning menghampirku dengan di ikuti kyai tersebut karena ibuku menjerit - njerit ketakutan. Lalu kyai tersbut bilang untuk menyuruh Ninda Lala dan Aning untuk masuk mengambilkan sarung agar aku bisa keluar dari dalam wc.
Aku saat itu diobati dengan daun kelor oleh kyai tersebut. kyai itu mendoakan dan menepuk - tepukan daun kelor tadi kepahaku. Tanpa terlihat karena aku tutup dengan sarung. pahaku kembali normal. dan kyai tersebut bilang kalau aku baru saja menendang mainan "pasar - pasaran" anak dari penghuni rumah dan membuat orangtuanya dari penghuni rumah marah kepadaku.