Aku senang sekali bisa pulang dan menjauh dari bunga. Aku mungkin pulang itu agak siang, karena terik matahari sangat menyengat ke kulit ubun – ubunku. Im on my way, im on my way “home sweet home”, just set me free “home sweet home”.
Kak Budi orang yang sangat menyebalkan waktu itu, karena kak Budi tidak menemaniku dirumah. Aku tidak tahu mengapa kak Budi sangat tega denganku. Tetapi memang ada alasannya, mengapa dia pamit pergi. Hanya untuk bertemu dengan Bunga, iya Bunga. Orang yang mungkin aku bisa katakan hiper dan sakit jiwa. Kalau memang kak Budi terjerumus mungkin sudah hatrick dalam sehari.
Kak Budi sudah berjanji mau mengantar Bunga kerumah saudaranya. Katanya, dia kasihan kalau Bunga naik motor sendirian dan terjadi apa – apa dijalan. Iya sih benar juga, aku mungkin tidak berharap juga kalau Bunga sangat bisa memperdaya aku dan kakakku. Mungkin biarin saja lah kalau dia kenapa – kenapa di jalan. Anggap saja itu hukuman buat Bunga.
Kepalaku pusing dan aku tidak bisa berbuat banyak ketika kak Budi benar – benar sudah meninggalkanku dirumah sendirian. Ketika aku berdiri, ada sebuah obat yang tertaruh dimeja belajarku. Ada notenya, itu buat aku dan wajib aku minum mungkin dari Kak Aning. Mungkin ini obat bisa membuatku tenang dan menghilangkan rasa pusing dalam kepalaku. Aku berjalan sempoyongan menuju dapur untuk mencari apa ada yang bisa aku jejalkan diperutku.
Untung ada pisang hijau, sehingga obat yang aku pegang bisa aku minum sekalian. Rasanya jadi orang sakit itu tidak enak pikirku, aku kadang ingin sakit jika memang sudah badmod tidak ingin sekolah. “huhhh”.
Ketika aku terduduk dalam meja makan. Aku merasa kalau ada mata yang memperhatikanku. Aku dirumah sendirian, tidak benar benar sendirian, seperti ada orang lain yang menemaniku. Setelah aku benar – benar mendengar suara kikikan seperti yang aku dengar sebelum – sebelumnya. Mataku melotot dan kaget, aku pikir itu suara Cuma halunasiku saja, apa mungkin pengaruh dari obat. Jadi aku masih terduduk walaupun tetap siaga dan terjaga kalau itu benar bukan perasaanku saja.
“xixixixickckck” suara itu terdengar jelas ditelinga sebelah kiriku. Aku berlari tidak terarah dengan kepala yang sangat berat dan kak Aning didepan pintu melihatku penasaran seperti dikejar setan. Tentu saja kak Aning tidak tahu apa yg sedang aku dengar barusan. Kak Aning pikir aku sedang menakut – nakuti diriku sendiri.
Kak Aning pulang cepat tidak seperti biasanya. Ternyata dia dengan kak Lala, kak Lala nanti mau menginap bahkan sampai seminggu. Kak Aning dan kak Lala bertanya mengapa aku berlari seperti dikejar setan bahkan aku sempat berteriak keras juga. Aku tidak menceritakannya, aku pikir aku kasihan sama kak Lala jika menceritakan yang sesungguhnya, tentang apa yang aku dengar barusan.
Malam itu aku ingat kita berkumpul diruang keluarga. Semuanya tidak komplit, aku kak Aning dan Lala, meninggalkan budi dan ibu. Ibu masih disemarang, entah Budi sedang apa di luar sana dengan Bunga, yang pasti Budi belum pulang malam itu. Karena waktu itu bapak menjemput ibu kesemarang sekalian, jadi bapak tidak ada juga dirumah. Kita semuanya bercanda, mungkin cuma aku yang linglung tidak memperhatikan mereka bercanda. Hingga kak Lala bertanya padaku, apa aku baik – baik saja. Bukan pusing yang aku derita, tetapi pelecehan Bunga yang selalu aku pikirkan.
Aku, kak Aning dan kak Lala sedang menonton tv, sepertinya kita menonton nixau waktu itu. Aku benar – benar marah karena kak Lala dan kak Aning bersepakat untuk mengambil alih televise untuk menonton kepingan cd video dewasa. Entah video apa yang dimaksud dewasa? Aku disuruh kak Aning untuk istirahat di kamarku. Menjadi seorang anak kecil yang masih rewel, aku bertekad untuk tidak pergi tidur apapun yang terjadi. Karena aku masih sangat penasaran sekali apa yang mereka mau lihat hingga kak Aning tega mengusirku.
Jadi ditengah – tengah malam yang hening aku bisa mendengarnya ( aku bisa mendengar apa yang mereka lihat dari kamar tidurku) mungkin itu suara desahan orang berhubungan. Aku berteriak untuk kak Aning agar mengambilkan ku air dari dapur. Aku berteriak kembali dalam “satu menit” karena kak Aning tidak kunjung datang ke kamarku. Tiba – tiba aku mendengar suara itu lagi, cekikan dari sumur mendekat ke jendela kamarku . Siapapun itu dia sepertinya berjalan mendekat kepadaku. Dan kemudian…. Kak Aning masuk ke kamarku. Namun dia tidak membawakanku segelas air yang aku minta tadi. Dia juga tidak berkata apa – apa.
Aku bisa melihat dia langsung di antara dua tempat tidur yang paling jauh dari pintu kamarku. Ini baru pertama kalinya aku melihat perempuan lain dirumah selain kak Aning dan Lala. Aku berteriak sekencang – kencangnya dan bersembunyi dibalik selimutku. Kak Aning dan Lala berlari untuk menemukanku menangis dibalik selimut. Aku tidak bisa membiarkan dia hilang lenyap dari pikiranku karena aku ingat jelas baju apa yang dia kenakan waktu itu (daster warna merah seperti baju yang dikenakan kak Aning). Selimutku disikap dan mereka berdua menanyaiku kenapa aku berteriak bahkan menangis juga.
Kak Aning berkata,
"Nind kamu ini kenapa seharian aneh lho kamu, tadi siang lari – larian sekarang nangis sama teriak – teriak.."
Aku berkata dengan mengusap air mataku dipipi,
"Kak aku lihat perempuan pakai baju merah. Aku tadi berteriak minta ambilkan minum, memang kakak tidak dengar?"
Kak aning berkata,
"Aku tidak dengar sama sekali dik. Kamu denger La adiku manggil aku tadi?"
Kak lala berkata keheranan,
"Gak kok Ning. Kamu emang tadi manggil kak Aning ya Nind?"
Aku berkata,
"iya kak aku tadi teriak –teriak untuk mengambilkan aku air karena aku memang sebal sama kakak . Terus yang datang bukan kakak tadi, tapi perempuan lain.."
Kak Aning berkata dengan sedikit takut,
"Siapa dia? Jangan – jangan dia hantu Nind."
Kak Lala berkata dengan kesal,
"Hantu gimana Ning, yang bener dong. Rumahmu nakutin banget emang, tapi apa ini rumah banyak hantunya."
Kak aning berkata dan jujur menjelaskan,
"Iya rumahku ini berhantu bukan hanya Ninda yang sering diganggu tapi Budi juga."
Kak Lala berkata,
"Sumpah, kalau gini aku besok mending dirumah sendirian deh Ning. Takut aku.."
Kemudian mereka tidak melanjutkan lagi apa yang sedang ditonton tadi. Mereka lebih memilih untuk berada dikamar untuk menemaniku . Kak Lala orang yang paling terkejut, karena kak Aning berkata jujur tentang rumah kita. Aku sebenarnya agak tidak menyangka pada kak Aning, dia seperti biasa saja ketika aku ngomong “hantu”, padahal kak Aning penakut. Setelah kita bersama didalam kamar, kak Aning bercerita tentang kejadian yang dialaminya kemarin. Dia bercerita dengan muka yang serius. Aku dan kak Lala saja sampai merinding mendengarnya.
Kak Aning bercerita,
“Kemarin, waktu aku menjaga Ninda. Aku lihat hantu dari korban meninggal kebakaran rumah. Bahkan aku bertemu dengan anak dan ibunya sekaligus. Ibunya di lift sendirian waktu aku mengambil obatnya Ninda dan anaknya laki – laki sering sekali berdiri di depan pintu ruangan Ninda. Mereka berdua wajahnya tidak bisa dikenali karena saking hancurnya, meleleh dan banyak jahitan – jahitannya. Aku sempat ke security juga untuk melihat aktifitas di rumah sakit dari rekaman kamera cctv. Sebenarnya Bunga yang mengajakku kesana karena dia ingin memperlihatkan siapa yang punya dompet. Karena sebelumnya, Budi menemukan dompet diarea lorong ruangan dimana Ninda dirawat. ..”
Kak Lala bertanya karena tidak tahan menahan rasa penasarannya,
“Emang pentingnya apa Ning, jika Bunga memberitahu siapa pemilik dompet yang telah ditemukan Budi? Lagian Bunga siapa sih?”
Aku menyaut sebelum kak Aning menjawab,
“dia suster kak, jangan sampai deh kamu ketemu dia kak..”
Kak Lala bertanya heran,
“maksudnya jangan sampai ketemu dia..?”
Aku berkata dengan cuek,
“gakpapa kak Lala, “mm lanjutin ceritanya deh kak Aning.”
Kak Aning berdehem dan melanjutkan ceritanya,
“Ya, sebenarnya memang tidak terlalu penting bagiku karena sudah di urus sama security. Tapi dompet itu jatuh sudah beberapa hari yang lalu, jatuh waktu almarhum yang sempat mengganggu aku kemarin itu meninggal. Tak lain dompet itu punya suami yang membakar istri dan anaknya didalam rumah. Sebelum pelaku pembakaran keluarganya sendiri itu dibekuk oleh polisi. Dia sempat mengantar istri dan anaknya sampai rumah sakit, dan dompetnya terjatuh. Security yang berjaga saja sempat heran karena dompet beberapa hari di jatuh lantai itu tidak ada yang tahu, bahkan melihatnya saja tidak ada..”
Kak Lala berkata,
“Mungkin dompetnya ada jimatnya banyak kali Ning. Makannya tidak ada yang tahu. Tapi gak tahu juga sih. Aneh banget emang kalau ada barang dilantai sebesar dompet saja dilewatin banyak orang itu tidak ada satupun yang lihat..”
Aku pun membuka mulutku yang dari tadi cuma diam dan serius mendengarkan,
“Emang isinya apa kak?”
Kak Aning menjawab pertanyaanku dan melanjutkan ceritanya,
“iya La emang bener kayak ada jimatnya. Isinya gak tahu sih itu apa, tapi ada batu kecil dibungkus kain putih. Mana baunya anyir banget kaya bau darah tapi ya ada aroma wangi – wanginya sedikit.. Sebenarnya gak sampai situ aja sih masalah dompetnya, cctv itu merekam sesuatu “blur kecoklatan” didepan pintu ruangan Ninda dirawat..”
Kak Lala spontan berkata,
“mungkin dia anak kecil itu kali Ning..”
Kak Aning berkata,
Iya dia memang anak laki – laki dari korban terbakarnya rumah itu. Sumpah rasa takutku kemarin benar - benar diuji.
Kak Aning bercerita hingga kita tidak sadar sudah larut malam. Ibu dan bapak saja belum sampai rumah. Kak Aning sebenarnya tidak terlalu heran kenapa bapak dan ibu belum sampai rumah juga. Tapi dimana perginya Budi sampai – sampai dia lupa rumah sendiri.
Kak Aning bertanya kepadaku,
“Nind kok Budi jam segini belum pulang juga ya. Gak biasanya lho, kalau lagi diluar dan mau gak pulang dia ngabarin aku lewat sms..”
Aku berkata seadanya,
“dia tu pergi sama Bunga kak… udah dari siang tadi lah sebelum kakak pulang”
Kak aning berkata dengan mimic muka terkejut,
“Budi nganterin Bunga kerumah saudaranya?”
Aku berkata dan jauh lebih kaget,
“kok kakak tahu kalau Budi nganter Bunga kerumah saudaranya Bunga..?”
Kak Aning berkata untuk menyudahi masalah Budi,
“ya gapapa.. tahu aja..”
Kak Lala berkata tanpa ada jawaban dari aku dan kak Aning,
“keren banget ya Budi, baru sehari dirumah sakit aja udah jalan aja sama suster yang ngerawat kamu Nind..”
Bunga kayak nya benar - benar hatrcik nih menurutku. Apapun diluar sana aku sungguh tidak mau memikirkan jika Budi diperdaya sama Bunga. Lagian kakakku Budi juga laki – laki jadi aku tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan Budi. Semunya sudah mengantuk tapi dari kita bertiga tidak ada yang bisa tidur. Bahkan kita bertiga kompak menahan lapar. Hingga kak Lala mempunyai ide untuk membuat mie instan, sementara waktu untuk mengganjal perut. Kak Aning pergi kedapur untuk memasak air, aku dan kak Lala diruang keluarga bisa mendengar kak Aning sedang menyalakan kompor gasnya.
Ruangan belakang diantaranya ada tiga, yaitu dapur, ruang makan dan kamar ibu bapak ini ada pintu menuju keluar rumah. Kak Lala yang tidak focus dengan acara televise tengah malam itu membuat dia sangat cerewet kepadaku. Dia bercerita tidak jelas akan kerjaannya dengan kak Aning di kantor, karena aku tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan aku Cuma mengangguk tandaku untuk mengerti.
Ditengah kak Lala bercerita aku dan kak Lala sempat melihat kak Aning berjalan menuju ke kamar ibu. Sebenarnya kak Lala memanggilnya tetapi kak Aning tidak menoleh kan wajahnya. Aku dan kak Lala heran dan bergegas masuk kekamar ibu untuk melihat kak Aning keluar rumah. Dan kak Aning berdiri diluar sana sambil menyirami bunga dipot waktu aku dan kak Lala mengintipnya dari jendela yang sudah kak Lala sikap. Kak Lala berbisik kepadaku kalau dia juga melihat kak Aning, aku juga mengangguk karena aku juga melihatnya. Kita sama sekali tak memanggilnya waktu itu karena kita juga gak punya perasaan yang aneh. Mungkin saja kak Aning membuang sedikit air yang tersisa dari masak air membuat mie instant tersebut.
Dan kemudian kakak Aning yang asli berjalan menuju ruang makan dan membuat sedikit suara aktifitas mempersiapkan mangkuk dan piring yang diletakkan dimeja. Kami berdua berbalik dan sedikit berjalan menuju ruang makan, memang iya kak Aning disana. Ketika kami kembali menatap dari jendela, apapun yang berdiri disana yang menyiram bunga tadi sudah tidak ada. Ini adalah pertemuan pertama kalinya kak Lala dengan wanita bergaun merah dirumahku.
Kak Lala nangis – nangis seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi, sampai membuatnya tidak mod untuk makan.
Kak Lala berkata,
“nind kamu juga lihat kan tadi aning di luar lagi nyiramin bunga..”
Aku berkata,
“iya yakin sekali kok, apa mungkin dia perempuan yang cantik itu ”
Kak Aning berkata menyangkal,
“orang aku dari tadi didapur kok, sumpah aku juga males dirumah kalau ibu bapak gak ada..”
Aku berkata,
“sama kak aku udah kenyang banget dihantui terus..”
Kak Lala berkata,
“udah – udah aku gak mau membahasnya lagi, mending ayo sekalian tidur udah jam 1..”
Kak Aning marah,
“makan dulu dong mie kamu, masak udah aku capek – capek bikinin gak kamu makan..”
Kak Lala berkata,
“maaf Ning, aku gak begitu mod deh. Rasanya kenyang banget kaya mau muntah..”
Aku berkata,
“yaudah sini aku makan, aku masih laper kok tapi temenin ya jangan tinggalin aku sendiri di sini..”
Kak Aning berkata,
“ya cepetan dik..”
Aku memakan sampai habis dan bergegas untuk tidur bersama kak Aning dan Lala. Kami pun tertidur setelah mematikan lampu kamar. Kita sebenarnya gak sampai tertidur pulas karna kak Lala berulah lagi, dan membangunkan kita berdua.
=== Cerita Selanjutnya ===