Malam itu, aku terlalu sibuk untuk menggantikan peran orangtua. Aku mengurusnya dari masuk keruang dokter untuk menanyakan keadaan Ninda dan mengambil resep obat. Aku disarankan untuk menebus obat itu dibagian apotek ketika memang adikku sudah diperbolehkan pulang. Tetapi malam itu aku tak menebusnya ke apotek langsung, dan aku berjalan menuju ke ruangan dimana Ninda dirawat. Aku lihat Budi diujung lorong ruangan Ninda berada.
“ada apa bud..? kok tidak masuk kedalam?” Ak bertanya dengan tajam
“aku nemu dompet kak..” Dia menjawabnya dengan rasa penasaran dan memilah isi dompet dengan wajah ceria
“dapat darimana..?” tanyaku sangat heran
“di lantai pas aku mau ke ruangan Ninda..” jawabnya
Dompet itu sangat dekil, kalau aku mengira itu dompet kulit seperti dompet kw yang kulitnya sudah mengelupas. Tetapi, aku sangat tertarik untuk memilikinya karena dompet itu salah satu produk dari brand terkenal dari italia. Aku memegangnya dan baunya sangat aneh, seperti wangi2an bunga bahkan anyir. Aku sudah berpikiran yang tidak2 saat itu, sebelumnya budi juga sudah memeriksa bahwa ada terselip batu kecil yang terbungkus dengan kain putih. Uangnya sangat banyak, ada kartu atm dan anehnya tak ada satupun tanda pengenal berada di dompet itu. Aku dan Budi sepakat untuk memberikan kepada salah satu suster yang berada dibagian informasi malam itu. Kebetulan, karena hendak menuju bagian informasi, ada suster yang berjalan dari ujung lorong. Akupun menghentikannya..
“sus” aku memanggilnya
“oh ya bu, ada yg bisa saya bantu..?” jawabnya tersenyum
“ini sus, adiku menemukan sebuah dompet terjatuh dilantai, aku takut terjadi apa2, mungkin pihak rumah sakit bisa menemukan siapa yang punya..” aku menerangkan kepada suster tsb dan memberikan dompetnya
“iya bu, terimakasih. Kalau boleh tahu ditemukannya dimana ya biar saya bisa jelaskan ke bagian security..” suster itu bertanya
“di ruang raflesia kak..” budi menjawabnya “sus btw kamu yang rawat Ninda bukan..?” imbuhnya ingin menggoda
“oh disana. Semoga yang kehilangan dapat melapor secepatnya ya..” jawab suster tersebut “iya bapak saya yang merawat Ninda.. yg baru saja datang hari ini bukan..?” imbuhnya untuk mengoreksi kebenarannya
“iya sus tapi jangan panggil bapak dong, panggil budi aja..” kata budi menggoda untuk memperkenalkan dirinya
“gak usah dengerin sus, dia jomblo akut..” imbuhku
“hehe gapapa kok bu, btw saya Bunga bud..” suster itu memperkenalkan dirinya ke Budi “tapi mohon maaf ya, saya buru2..” suster bunga pamit dan memang terburu karena dikejar2 dengan pekerjaannya
Kemudian aku mengajak budi untuk masuk keruangan Ninda dirawat, tetapi Budi enggan masuk karena dia sama sekali tidak suka ruangan sempit dan dia ingin menunggunya dilobi saja. Aku berjalan dilorong2 rumah sakit tersebut sendirian.
Ninda, dengan rambut yang lebat berbaring liar di atas bantalnya. Ninda masih belum bangun, mungkin dia sangat kelelahan dan tertidur lelap. Aku berharap dia tak kenapa2 waktu itu. Bapak juga sudah tertidur di kursi yang menghadap ke pintu ruangan, dan akupun duduk disebelah bapak. Ibuku masih setia duduk disebelah Kasur tempat Ninda terbaring dengan sesekali ibuku meletakan kepalanya di Kasur dan mengangkatnya untuk melihat Ninda sudah sadar apa belum.
Itu anak laki2. Sekitar tujuh tahun umurnya, terlihat membelakangi pintu ruangan yang tidak tertutup. Wajahnya tak terlihat, tetapi tangan dan kakinya seperti mendapatkan luka bakar, iya luka bakar setengah badan. Ketika aku melihat tajam, dia masih berdiri membelakangi pintu tersebut, sesekali pengunjung2 lain lewat berjalan diantara anak laki2 itu berdiri. Aku heran dengan anak laki laki itu sebenarnya. Dia berdiri ditengah2 tak mendapatkan perhatian sama sekali oleh pegunjung dan suster yg berjalan melewatinya. Bahkan kalau aku diposisi orang yang melewatinya, mungkin aku terbesit bertanya untuk menanyakan kepada anak laki2 itu “kenapa berdiri disini?”.
Aku semakin penasaran dan berdiri dari sofa tempat duduku tadi, tetapi ketika aku berdiri hendak mendekat ke pintu. Dia berlari dan tak terlihat lagi ditempat dia berdiri tadi. Karena aku sudah terlanjur berdiri, akupun menghampiri ibu.
Sebenarnya aku tak mau mengganggu ibu saat itu. Tetapi tak mungkin juga kalau aku tidak sesekali mengajak ibuku mengobrol dan terlalu membiarkan ibuku terlarut dalam kekawatirannya. Aku menepuk pundak ibu dan mengelus elus untuk menenangkannya. Ibu mengangkat kepalanya dari Kasur dan memegang tanganku. Aku pun mengajak ibuku mengobrol dan menjelaskan semua yg dokter katakan dan memperlihatkan resep dokter tadi kepada ibu.
“obatnya Ninda sekalian beli sekarang aja dik..” ibu menyuruhku
“besok aja dong bu kalau Ninda sudah pulang..” jawabku karena mager
“yasudah kalau gitu suruh budi saja ya.. dimana budi..?” Tanya ibu
“budi nunggu di lobi bu, yasudah biar aku aja yang beli obatnya bu..” jawabku
“uangnya di tas ibu ya dik..” ibuku menunjuk tasnya di atas meja dekat sofa.
Aku bergegas menuju ke lantai dasar tempat apotek itu berada, dan aku berjalan mencari lift terdekat. Saat itu aku berada dilantai empat, kemudian aku masuk dilift itu sendirian. Aku tak mengerti kenapa orang2 lebih memilih berjalan di anak tangga daripada memilih lift. Mungkin karena orang2 itu takut kalau terjebak didalam lift dan tak bisa keluar (seperti di film). Tetapi aku tak mau berspekulasi waktu itu. Memang dikotaku saat itu sudah ada lift saja sudah sangat keren waktu itu. Jadi masih banyak pengunjung yg tak bisa menggunakannya.
Ketika pintu lift terbuka pada lantai satu. Aku melihat Budi sedang melihat tv di lobi, tetapi aku acuhkan saja untuk menuju apotek. Rumah sakit waktu itu semakin sepi karena batas jam jenguk cuma sampai jam 10 pm. Jadi yang berada di dalam gedung cuma beberapa petugas dan sanak keluarga yg sakit. Sesampainya diapotek akupun mendapatkan obat yg diminta untuk Ninda. Aku kembali dan sesekali menghampiri Budi, untuk mengajak dia istirahat di ruangan Ninda, tetapi Budi menolak karena dia sedang melihat box office movie yg disiarin oleh salah satu stasiun tv nasional.
Aku mengajak Budi istirahat diruangan ninda sebenarnya karena alibiku saja, karena aku takut berjalan2 dirumah sakit sendirian dan berharap Budi bisa menemaniku untuk berada di lift. Karena budi tak mau dan keasikan menonton film, aku terpaksa berjalan mendekat lift itu sendirian, tapi aku melihat ternyata sudah ada orang didalam lift. Aku tak kenal dan tidak tahu siapa orang itu, tetapi aku sangat senang bisa naik dilift itu dengan seseorang.
Lift naik mencapai lantai dua, dan pintu terbuka. Aku melihat anak kecil itu lagi, yang sebelumnya aku lihat didepan pintu ruangan dimana Ninda dirawat. Sontak aku kaget karena wajahnya sangat pucat dan menduduk kebawah, aku takut apalagi anak kecil itu tak sesegera mungkin masuk kedalam lift. Aku buru – buru menutup pintu lift dan menekan lagi tombol lantai 4 meninggalkan anak itu. Tampak orang yang berada dalam lift bersamaku bingung dan bertanya.
“kenapa kamu tidak membiarkan anak itu masuk..?” orang asing itu bertanya
“maaf sebelumnya pak, aku sudah melihat anak itu berdiri membelakangi pintu ruang adiku dirawat tadi. Dan sekarang aku jelas melihat dia mau masuk lift tetapi tidak kunjung naik. Dia tidak seperti anak kecil biasanya, karena dia menakutkan bagiku..” jawabku dengan menjelaskan kepanikannku
“kenapa kamu bisa begitu yakin kalau dia anak kecil yang sama..?" tanya orang asing itu dengan tenang.
“……………” aku tidak menjawab dan memalingkan wajahku dari tatapannya disebelahku
Aku tidak menghiraukan sama sekali orangasing yang mengajakku ngomong saat itu, aku sudah terlalu takut karena sudah melihat anak itu dengan jelas. Aku tak menjawab pertanyaan dia dan lebih memilih untuk memperhatikan tombol2 lift. Aku berharap semoga cepat sampai dilantai empat.
“apakah dia terlihat sama sepertiku…?” orang asing itu menanyakan kembali
Aku terkejut ketika dia bertanya seperti itu. Aku pikir aku akan pingsan ditempat karena melihatnya. Aku tidak bisa menggambarkan kondisinya karena sangat sulit untuk mendiskripsikannya, intinya wajahnya ada beberapa jahitan dan sedikit hancur karena akibat luka bakar dibeberapa wajah, kaki dan lengan. Rambutnya kering coklat dan bercabang, terlihat ada sedikit darah kering disela2 rambut kepalanya yg botak. Matanya, matanya sebelah kiri itu dijahit, tampak tatapan penuh kebencian, ketakutan, dan memberikan cahaya yg sangat redup ketika aku melihatnya. Dikakinya terlihat lumuran darah keluar menetes dibekas jahitannya, tetapi tampaknya darah itu menghilang ketika sebelum jatuh ke tanah.
Pintu lift terbuka saat mencapai lantai 4. Akupun berlari membabi buta dari lift dan tidak pernah melihat kembali kebelakang. Aku mendapatkan obat yg Ninda butuhkan dan aku buru2 masuk keruangan Ninda. Ibuku saat itu bertanya2 kenapa aku berlari dan hampir kehabisan nafas. Tetapi aku enggan untuk bercerita dan memilih untuk tidur disebelah bapak ketika Ninda juga belum bangun saat itu.
Jam 3 hpku bergetar menandakan sms masuk. Ada rasa marah , jengkel dan penasaran karena tidak biasanya aku memperoleh sms pada pukul 3 dini hari. Ketika aku membuka inbox, sms itu berasal dari operator. Aku berpikir sama sekali tidak penting karena aku kehabisan pulsa dan dihimbau untuk mengisi ulang pulsanya kembali. Seketika aku pejet tombol tutup telepon berwarna merah untuk kembali kemenu dan menguncinya. Aku terkejut kembali setelah melihat jelas anak kecil itu berdiri lagi seperti malam kemarin tetapi kali ini dia
=== Cerita Selanjutnya ===