Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part VIII - 11 Januari 2011 - Cerita Seram Kaskus

Diary - Catatan seseorang yang bisa melihat Mereka (Catatan Nyata) - Part VIII - 11 Januari 2011

11 Januari 2011

Iya, aku tau, kita lanjutkan cerita kemarin yaa….

… aku melihat ke sisi satunya dan melihat hal yang sama, sepasang kaki putih kebiruan yang menjuntai turun di ranting pohon. Seakan seseorang sedang duduk diatasnya.

…Aku menggenggam tangan pasanganku dan berjalan lebih cepat lagi.

Aku mendengar suara dari belakangku, suara “krsssk..krsssk” suara yang kupikir seperti suara seseorang sedang berusaha turun dari atas pohon.

Awalnya aku hanya mendengar dua suara, hingga semakin banyak, seakan-akan ‘sesuatu’ yang duduk di atas pohon, apapun itu, sedang berusaha turun, dari semua pohon secara bersamaan dengan bunyi “krrsssk..krrsssk” yang semakin bergemuruh.

Aku semakin mempercepat langkahku, temanku juga mengimbangi langkahnya bersama denganku.

Kami terus berjalan dengan cepat, bahkan hampir setengah berlari hingga mencapai pos ke delapan.

Kami tidak berhenti, namun dengan cepat aku menyambar lilin yang ditaruh di meja kecil yang berbentuk seperti altar.

Aku menyalakan lilin ke delapan dengan susah payah karena melakukannya sambil berjalan, Untunglah aku berhasil dan kemudian meletakkan lilin itu kedalam wadah temanku.

Kami terengah-engah, namun aku tidak berhenti karena perasaan diikuti yang masih kurasakan sampai dengan sekarang.

Aku tidak ingat kapan aku sampai di pos ke Sembilan, sebuah rumah petani tua yang dengan lilin yang diletakkan di undakan tangga di depan rumah itu.

Aku menyuruh temanku untuk menunggu sedangkan aku menaiki tangga pendek itu dengan cepat dan mengambil lilin yang tergeletak di sana.

Kurasakan adanya pandangan yang mengarah padaku, aku menengok ke temanku, namun dia sedang melihat sekeliling sambil memeluk badannya yang kedinginan.

Akupun merasa mulai kedinginan sampai aku melakukan kesalahan dengan melihat ke celah pintu yang terbuka sedikit di depanku.

Sepasang mata melihatku dengan tajam..

Sepasang mata yang menatapku tanpa ada emosi..

Aku merasakan keringat dingin mulai mengalir di pipiku, dan jantungku berdebar dengan sangat kencang. Darah mulai tidak mengalir ke wajahku dan aku merasakan adanya rasa ancaman yang membuat perasaanku sangat tidak enak.

Kupaksakan kakiku yang seakan menempel pada lantai kayu untuk bergerak.

Aku melangkah secepat yang kubisa untuk menuruni tangga kayu itu sambil menggenggam erat lilin ke delapan dan sedikit tersandung ketika turun, seakan ada sesuatu yang menghalangi, atau memegang pergelangan kakiku.

Aku tidak memperdulikannya dan segera menyambar tangan temanku, beranjak pergi dari situ.
Kali ini aku menyadari bahwa bulu kudukku berdiri penuh saat ini. Dan instingku merasakan bahwa aku merasa seperti berada di suatu tempat yang membuatku terasa seperti dikurung. Terlepas dari jalanan luas yang terhampar di depan kami dan cahaya lilin yang berada di depanku.

Aku merasa seperti terkucil dan terkurung…

Atau lebih tepatnya..

Terkepung…

Aku tidak peduli hal lainnya selain berusaha menyelesaikan jurit malam ini secepat mungkin. Untungnya temanku juga setuju denganku, karena dia tidak memberikan protes apa-apa selama aku menariknya berlari di sepanjang jalan sampai k epos ke sepuluh.

Pos ke sepuluh berada di pangkal sebuah jembatan batu yang luas yang terbentang diantara kali dengan air yang mengalir deras, dan berbentuk seperti patung dengan lilin-lilin diletakkan di tangannya.

Di seberang pos itu, dengan jarak sekitar 1 kilometer, aku melihat cahaya lilin menyinari sesuatu dengan bentuk yang hampir sama dengan patung pos kesepuluh ini. Kemudian cahaya lilin di depanku itu pergi menjauh, menyusuri jalan selanjutnya.

Pos ke sepuluh dan ke sebelas ada di kedua pangkal jembatan ini rupanya, begitu pikirku saat itu.

Aku berterimakasih untuk itu, setidaknya hanya selangkah lagi sampai ini semua selesai. Aku segera mengambil lilin ke sepuluh dan bergerak menyebrangi jembatan dengan cepat.

Aku kembali tidak sengaja melihat api dari lilin keempat yang berada di dalam wadahku kembali bergoyang-goyang dengan kencang, seakan tertiup oleh angin.

Setelah melihat kaki yang bergoyang dari atas ranting pepohonan, kali ini aku melihat tangan, banyak sekali tangan yang memegang samping jembatan batu itu. Seakan hendak memanjat.

Oke, kali ini aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa takutku dan memaksa temanku berlari menyebrangi jembatan itu.

Bunyi kecipak air dan suara derak besi dari pinggiran jembatan berbunyi dengan ramai di belakangku, aku semakin mempercepat lariku.

Aku melihat pos ke sebelas yang berbentuk patung yang berbentuk sama seperti pos sebelumnya hanya kali ini aku baru bisa melihat bentuk patung itu dengan lebih jelas. Patung itu memiliki kesamaan dengan patung di pos ke sepuluh dengan hidung panjang, mata marah dan rambut yang diikat keatas. Namun bedanya, patung pertama berperut buncit, sedangkan patung ini tidak buncit, tapi memiliki dua gigi depan seperti gigi kelinci dengan senyum yang mengerikan.

Aku menyambar lilin yang berada di tangan patung itu. Sesuatu menggenggam pergelangan tanganku namun aku segera menyentakkannya dan berlari (belakangan aku melihat luka di pergelangan tanganku seperti genggaman sebuah tangan dengan jari yang sangat panjang).

Dengan terengah-engah aku melanjutkan perjalanan yang semakin sempit. Pada titik itu, aku benar-benar sudah sangat kehabisan nafas. Maklum saja, kegiatan fisik bukan sesuatu yang menjadi kelebihanku, malahan sebaliknya aku sangat payah dalam hal olahraga atau hal lainnya yang menuntut fisik.

Tapi aku rasa waktu itu rasa takut mengalahkan rasa lelahku…

Tidak jauh didepanku, aku melihat cahaya lilin. Aku berlari menuju cahaya lilin itu sampai mendapati sebuah arca tanpa kepala.

Di depan arca itu terdapat banyak sekali lilin, baik yang terpasang di dalam tempat-tempat lilin maupun yang tergeletak di meja kecil di depannya.

Semua lilin yang terpasang di tempatnya dalam keadaan mati, mungkin karena angin yang berhembus sangat kencang di tempat ini.

Satu-satunya lilin yang menyala adalah lilin yang berada di meja tempat lilin lainnya berserakan.

Lilin yang terletak pada wadah yang sama seperti lilin pada wadah kami.

Seseorang telah meletakkannya disitu, pikirku. Aku mendekati wadah lilin itu dan mendapati sedikit keanehan.

Wadah lilin itu juga memiliki satu lilin dengan bentuk aneh yang mati. Lilin keempat yang juga terdapat pada wadah milikku.

Secara reflek, aku melihat kedalam wadahku sendiri dan mendapati lilin keempat milikku juga mati.

Baru saja aku hendak memikirkan atas keanehan ini ketika lilin keempat milikku tiba-tiba menyala.

Menyala bukan karena tersambar api dari lilin lainnya, melainkan menyala seakan-akan api itu keluar dari dalam lilin itu.

Bersamaan dengan itu, lilin keempat di wadah didepanku juga menyala.

Satu-persatu lilin-lilin yang terletak ditempatnya juga menyala.

Api dari lilin-lilin itu menari-nari yang entah mengapa membuat perasaanku sangat tidak enak.

“KAAAAAAAKKKKKKKKK..AAAKKKKKKK”

Sebuah suara yang mengerikan datang dari arca tanpa kepala didepanku. Suara yang kalau kugambarkan seperti suara yang dikeluarkan seseorang yang dicekik.

Dari leher patung itu yang tidak ada kepalanya, mengalir cairan berwarna hitam.

Aku tidak perlu melihat kelanjutannya karena aku menyambar lilin yang tergeletak di meja dan menyambar tangan temanku yang juga membeku di sampingku.

Aku mengira bahwa dia juga sama ketakutannya seperti aku.

Aku segera berlari bersamanya, tidak peduli rasa terbakar di paru-paruku yang memberontak.

Entah berapa lama aku berlari, tapi aku mulai panik karena aku tidak menemukan jalan keluar dari jalan setapak ini.

Dengan keadaan ketakutan dan panik aku berdoa, memohon kepada Tuhan dengan desperate.

Hingga pada suatu titik, aku bisa melihat cahaya dari kejauhan.

Aku berusaha tidak memperdulikan rasa lelahku dan menarik temanku menuju cahaya itu.

Dan aku bisa melihat areal terbuka yang adalah lapangan tempat kami berkumpul tadi. Aku segera berlari ke arah bukaan semak-semak yang mengelilingi kami.

Wadah lilin temanku terjatuh tepat ketika kami sampai ke ujung semak-semak itu. Aku tidak menunggunya dan hanya berkata “ayo cepat! Tinggalkan saja itu, kita hampir sampai” dan aku meninggalkannya karena dia berusaha memungut lampu lilin itu.

Aku berpikir, tidak apalah toh sudah dekat dengan jalan keluar…

Seketika aku keluar dari semak-semak itu, seorang Pembina melihatku. Dia sedang memegang senter bersama dengan beberapa senior dan Pembina lainnya.

Dia berteriak “Itu Dia!!!! Ketemu!!!” seru Pembina itu sambil berlari ke arahku.

Dalam sekejap banyak orang mengelilingiku. Beberapa menyelimutiku dengan jaketnya karena melihatku menggigil.

Salah seorang Pembina itu bertanya padaku “Kamu dari mana saja? Bagaimana mungkin kamu bisa tersesat?”

Aku keheranan dan menanyakannya aku hanya mengikuti jalur yang sesuai dengan jurit malam itu.

Pembina itu juga berkata lagi “tidak mungkin, kau tau jam berapa ini? Sekarang jam 2 pagi, sudah 5 jam kami mencari-cari kamu karena kamu tidak kembali juga setelah semua kelompok lain juga sudah kembali”

Aku berkata kalau aku tidak tau, dan sepanjang perjalanan aku juga bersama teman pasanganku mengikuti cahaya lilin di depan kami.

Pembina itu melihatku dengan heran “dengan (nama teman pasanganku-aku lupa namanya)? kamu meninggalkannya setelah pos ke empat” katanya “dia kembali dan terus bersama kami dari tadi, katanya dia baru meleng sebentar tau-tau kamu menghilang sendirian”

“Aku hanya mengambil lilin dari penjaga pos empat kok” bantahku ketika mendengar aku meninggalkannya sendirian.

Pembina itu mengerenyit “tidak ada yang menjaga pos, semua pos bentuknya seperti pos 1 – 3 kok, Cuma bangku kecil dengan bendera yang diikatkan pada tongkat pramuka”

Setelah itu pikiranku seakan kosong dan darah seperti berhenti dari badanku deh… sepertinya aku pingsan, entahlah.. aku tidak ingat lagi…

Yah, kau tau diary? Waktu itu aku benar-benar serasa mau mengompol mendengarnya

Aku tidak tau apa yang terjadi waktu itu padaku, dan baru padamu saja aku menceritakan hal ini..