Saya mencoba menggapai bunga waru yang jatuh dari pohonya itu, saya coba memungutnya agar dia tidak hanyut, agar saya bisa bawa pulang dia untuk merawatnya, ahhh tidak.... tidak..., tanganku tidak sampai untuk mengambil bunga berwarna oranye itu, dan dia sudah tidak terjangkau lagi. saya mematung di bantaran sungai kecil dan hanya bisa melihat bunga yang ingin saya miliki itu semakin menjauh, semakin lama semakin jauh dan akhirnya dia tidak terlihat lagi oleh jangkauan mataku. Saya menyesal.... menyesal saat menyadari bahwa saya tidak akan memilikinya, bunga itu sudah cukup dekat dengan tanganku, tapi tetap saja saya tidak bisa meraihnya, tetap saja saya tidak bisa memilikinya. Baru saya sadari pada kenyataanya dia memang bukan miliku, dia adalah kepunyaan pohonnya yang berdiri tegak menjulang di pinggir kali. Kuamati pohon tua itu, seperti tidak menyesal kehilangan, atau dia memang sengaja mengugurkan bunganya?, agar bunga baru dapat bersemi dan menggantikan posisinya?
Hal ini membuatku sadar tentang sesuatu, sesuatu yang sudah saya miliki,yang saya tidak miliki, yang akan saya miliki, dan yang tidak akan pernah saya miliki walaupun saya sudah sangat dekat denganya. saya benamkan kalimat itu keotak dan hati saya dalam2,mencoba merelakan bunga indah itu terbawa air yang hampir tidak beriak, kehilangan bunga itu seperti doa dan anganku yang dijawab Tuhan dengan cara dan kehendak lain, yang sama sekali berbalik dengan pengharapanku.”
-Yogyakarta, 14 Desember 2014-
**
Saya membawa Abima untuk berjalan2, sekarang saya memanggilnya abima. Sesuai dengan permintaan ibunya yang ingin memanggil anak ini dengan nama bima, sedangkan saya ingin memanggilnya dengan nama abi, maka kami ambil jalan tengah dengan memanggil 2 nama itu sekaligus, dan membuat panggilan baru yang bernama abima...
Abima tumbuh menjadi anak yang sehat, dia seperti saya yang memiliki tulang besar, dia mungkin akan menjadi anak yang jangkung jika sudah remaja, dia juga sudah sangat pintar, sudah mulai mengenal dunia dengan sudut pandang anak berumur hampir 3 tahun yang serba sederhana.
Ada sedikit keterlambatan dalam dia berjalan, karena peristiwa sakit anehnya dulu yang menyebabkan beberapa gangguan di kesehatan anaku ini, tapi semuanya sudah membaik.
“cepatlah besar matahariku....tinjulah congkaknya dunia buah hatiku, doa kami di nadimu” begitu kalimat yang saya lagukan walaupun sebenarnya itu adalah saduruan tembang dari Iwan fals yang memang karya-karyanya selalu saya sukai.. saya sedang memegang kedua tangan abima yang mulai bergerak lincah berjalan di sepanjang jalanan kecil di alun2 kota Sleman, tawa kecilnya yang ceria selalu berhasil membuat saya bahagia, dan membuat rasa penat dan stres saya menjadi terobati.
Saya lepaskan genggaman saya dari tangan abima dengan lembut, dan membiarkan dia berusaha berjalan sendiri tanpa bantuan bapaknya, abima berdiri sendiri sambil tanganya yang menggapai2 udara, seolah berusaha mencari pegangan untuk keseimbanganya, saya mengambil langkah dan berjongkok satu setengah meter didepanya dengan tangan terbuka, yang berarti saya akan siap melindunginya jika dia gagal dan jatuh saat pelajaran berjalanya, atau juga berarti kalau saya siap menyambutnya dengan pelukan jika dia berhasil dalam pelajaranya kali ini.
Abima mengikuti gerak saya dengan pendangan matanya yang berkeliling, dan saat saya berjongkok didepanya dia tersenyum lebar, dan memperlihatkan gigi susunya yang sudah tumbuh.
Tap... langkah pertama abimanyu diiringi dengan gerakan tubuh yang sempoyongan karena belum seimbang, tapi abima masih berdiri dan meneruskan usahanya, dua langkah tiga langkah, dan dia malah berlari dengan semangat, dan karena dia masih belajar maka brugggg... abima jatuh, saya yang meleset memeganginya dan berusaha menggendongnya, tapi segera kuurungkan niat itu karena melihat abima yang tidak menangis dan malah berusaha berdiri sendiri, saya tersenyum bangga melihat kelakuan anak pertama saya itu, dia tidak seperti bapaknya yang sangat cengeng di masa kecilnya. Dia berdiri dengan kepayahan, tapi dia berhasil dan melanjutkan langkahnya untuk menuju kepada saya yang sudah siap dengan tangan terbuka.
Happp... saya tangkap dia dan memeluknya, saya gendong dia dan saya cium dengan penuh rasa sayang, kuangkat dia tinggi2 dan terdengar lagi suara tawanya yang bagi saya terdengar seperti penawar rindu.
Saya menggendong abima lagi dan mengajaknya berkeliling alun2 sleman yang asri, banyak pohon beringin yang menjadi peneduh, walaupun sebenarnya waktu sudah menginjak senja. Abi masih tertawa2 sambi menjambak kepalaku yang dia gunakan untuk berpengan, saya tengah memanggul abima dan menikmati qality time denganya. Saya tidak terlalu khawatir lagi dengan abima, tentunya maksud saya adalah khawatir karena tambahan indranya, kenapa? Karena dia tidak hanya mewarisi gen dari saya, tapi juga dari ibunya yang seperti kalian ketahui, risa yang selalu ceria, dan semangat, satu hal yang dulu tidak saya miliki. Saya percaya abima memiliki bakat dari ibunya yang akan berguna untuk menghadapi apapun didepanya kelak, dan jangan lupa dia masih memiliki saya sebagai bapaknya yang akan selalu menjaganya, walaupun tidak akan selamanya.
Sudah pukul 16.00, saya memutuskan pulang karena kami kesini dengan menggunakan motor, saya ambil baby bag yang saya titipkan di sebuah warung dan saya gendong tas itu didepan saya dan mendudukan abima kedalamnya, diperjalanan saya dihibur dengan celotehan bahasa bayi abima yang tidak henti2nya bicara, benar dugaan saya, dia akan tumbuh seperti ibunya.. saya mengendarai motor dengan pelan, sekedar menikmati suasana , walaupun sebenarnya saya sudah lapar dan tidak sabar untuk makan masakan istri dirumah.
Perlu waktu 45 menit untuk akhirnya kami sampai dirumah dengan warna cat yang baru saja saya ganti dengan warna yang dominan cerah, home sweet home, begitulah istilah tepatnya untuk menggambarkan rumah sederhana kepunyaan saya yang hanya wujud warisan dari orangtua saya.
Belum juga saya sampai didepan pintu, pintu itu sudah terbuka dan dari dalam saya disambut oleh istri tercinta, dia mencium tangan saya dan saya balas dengan kecupan di keningnya yang tertutupi oleh jilbab berwarna keunguan..
“udah masak kan?” tanya saya dengan lembut..
“udah mas, sini abima biar kugendong” jawabnya dengan lembut sambil mengambil abima dan menggendongnya.
Saya elus kepalanya yang terlindung jilbab berbahan lembut itu dan melangkah menuju ruang makan..
Saya makan dengan lahap hidangan yang sudah disediakan oleh istri saya, sayur asem dan ikan asin dengan sambal terasi, dia tau saja makanan rumahan yang saya sukai itu.
Saya selalu makan dengan porsi besar, dan hampir tidak pernah menyisakan sebutir nasipun tersisa di piring saya.
“enak gak mas?” tanya suara dibelakang saya, yang saya jawab dengan acungan jempol..
“kamu sekarang makin pinter masak” jawab saya sambil meminum teh panas yang baru saja ditaruh didepan saya olehnya..
saya mencukukupkan makan saya dan bersama istri mengajak si lucu abima bermain lagi.
**
Malam hari, baik istri saya dan si kecil abima sudah tidur.kami bertiga tidur di satu ranjang yang sama, ya sekedar berusaha menjaga abima, kalau dia merangkak dari kasur. Saya masih menyalakan laptop dan mencari informasi untuk mendapatkan sponsor demi studi lanjutan sepsialis dokter anak. Tidak ada yang aneh, hanya saja saat itu saya mencium aroma yang kukenal..
“bau melati ini ?....” saya beranjak dari kasur dan menaruh laptop dimeja,mencari sumber aroma melati yang memenuhi ruangan, kalian tau? Dulu pernah saya jelaskan kalau aroma melati yang pekat adalah tanda awal munculnya temanku..
Iya betul, yang ada di pikiran kalian betul sekali,yang saya maksud adalah sari....
Saya berjalan di ruangan rumah saya yang menjadi penghubung antara ruang tengah dengan ruang keluarga, saya dikagetkan dengan tv yang masih menyala, padahal saya yakin sudah mematikanya sebelum kekamar jam 21.00 tadi...
Harum melati itu semakin dekat asalnya, dan benar saja disitu ada sari.. sari sahabat beda alamku dia sedang duduk di sofa, sambil asik mengunyah melati dan menonton tv.
Mungkin kalian yang tidak terbiasa akan langsung melonjak takut karena adalah bukan pemandangan lumrah saat kalian melihat sosok anak kecil berambut panjang berbaju putih yang ternyata bukan manusia sedang asik nonton tv dirumahmu sambil mengunyah melati di malam hari dengan lampu ruangan yang mati. Tapi bagi saya itu adalah kunjungan yang menyenangkan, setelah apa yang saya lalui dulu bersama sari.. dan setelah sekian lama kami tidak bisa berkomunikasi karena ada jin gelap yang membatasi sari agar tidak memberitahu ada maksud jahat yang akan dilancarkan oleh jin itu, seperti yang sudah di ceritakan di cerita lalu.
Saya duduk disebelahnya sambil tersenyum, menurut saya ini lucu karena awal perjumpaanku denganya dia sama sepertiku, maksudku adalah dia berwujud selayaknya anak manusia yang sepantaran denganku, kami sering bersama main petak umpet, bermain mobil2an atau robot2an, dan permainan anak kecil lainya dimasa lalu. Tapi lihatlah sekarang, setelah semua yang kulalui, saya semakin tumbuh dewasa, ditambah lagi dengan jambang yang kubiarkan tumbuh ini membuatku terlihat tua, berbeda dengan sari yang tidak pernah berubah kecuali dia menginginkanya, dia masih sama persis dengan wujud saat kali pertama kami bertemu. Karena dia sebenarnya tidak punya tubuh yang bisa menua seperti manusia, dia mahluk yang bisa dikatakan hampir abadi.
Jika dilihat sekilas kami seperti sepasang bapak dan anak yang tengah menonton tv di ruang tamu...
Sari masih diam, tapi dia menoleh kearahku dengan membalas senyumku, menurutku itu adalah senyuman yang sangat manis,sama seperti seorang anak kecil cantik berumur 6 tahun yang tersenyum dengan menggemaskan kearahmu, tapi saran dariku untukmu teman. Jangan kamu bayangkan,karena mungkin kamu akan takut jika membayangkan dia, jin perempuan di tengah gelap ruangan, yang hanya diterangi sinar redup dari tv yang menyala.
“kamu datang untuk menagih janjiku?” tanya saya kepada sari.
Dia menggeleng sambil mengunyah melatinya, dia benar2 seperti anak 6 tahun yang menggeleng manja kepada orantuanya ketika diajak makan, tetapi dia lebih memilih makan snack kemasan...
“lalu ada apa sari?” tanyaku lagi..
“aku Cuma ingin mengunjungimu, kita teman kan?, dan teman itu saling mengunjungi, aku ingin melihat anakmu yang mungkin akan tumbuh dengan hal luar biasa sepertimu”
Saya tersenyum mendengarnya, sari ini... meskipun sudah sering dijelaskan bahwa bangsanya adalah jin yang penuh tipu daya, tetap saja sari ini tidak seperti itu, mungkin manusia dan jin tidak jauh berbeda, kalian tau kan? Kadang manusia sendiri juga penuh dengan tipu daya dan licik, tak kalah dari jin, atau mungkin bangsa jin juga menganggap kita demikian? Bahwa kita manusia adalah golongan yang penuh tipu daya? Sungguh saya sendiri tidak tau.
“kamu sudah melihat abimanyu anaku?” tanya saya..
“sudah, saat kamu beribadah dengan istrimu tadi aku menungguinya tanpa kamu sadari,sebenarnya kalau dia perempuan aku akan bilang, dia cantik seperti ibunya, tapi berhubung dia laki2 dan kalau aku menyebut dia ganteng seperti bapaknya sepertinya itu tidak pas” jawabnya dengan terkekeh menyindirku..
“tapi jika dia dewasa nanti, dia akan jadi laki2 tampan pastinya” jawabnya dengan tertawa kecil.
Saya hanya tertawa sambil menyenderkan kepala saya ke sofa. Kami mengobrolkan banyak hal, banyak sekali, dan lebih banyak ke nostalgia, bagaiman saya melewati masa kecilku, hingga saya sudah beristri dan mempunyai anak seperti sekarang.dan disitu saya menyadari bahwa sudah lebih dari 20 tahun terlewati, hal buruk terus datang, begitu juga hal baik yang selalu ada disetiap peristiwa buruk yang saya lalui, tuhan sudah memberikan karunia yang berlebih kepada saya, saya yang dulu selalu mepertanyakan ke Maha adilan-Nya saat saya diuji, sekarang paham dan kini saya mengaku salah berlaku demikian dan bersyukur serta berterimakasih kepada Allah atas segalanya, Maha Suci Allah yang sudah memberi semua umatnya segala nikmat, saya tidak akan meragukan ke Adilanya yang benar2 Haq, kenapa? Karena Bahkan Allah membuat nikmat yang sama kepada semua manusia yang tidak mengimaninya sekalipun, lalu kenapa Allah yang sebagai tuhan saja mau berlaku adil di dunia kepada yg tidak beriman, sedangkan kita yang hanya umat, hanya hamba, dan seorang pesuruh malah kadang bersikap zalim kepada orang yang tidak sepaham dengan kita?, saling mengkafirkan dan menghujat.
lalu nikmat mana lagi yang kamu ragukan? Itu kata saya ketika berfikir demikian..
saya meneruskan obrolan saya dengan sari, sesekali dia mengomentari berita yang ditayangkan di tv, dan menanyakan kebingunganya akan ulah manusia yang diberitakan di tv, saya hanya bisa tersenyum, mengangguk dan menggeleng.
Karena membuat paham untuk individu lain itu sangat sulit, orang itu cenderung percaya dengan yang namanya prespektifnya, “menurut gue sih kalau kayak gitu gue ...... dsb” mungkin itu yang akan dikatakan jika mendengar pendapat atau apapun yang tidak sejalan dengan sudut pandangnya, kenapa seperti itu? Karena Manusia itu merasa dirinya lebih benar dan paling benar, tapi semua bisa diubah jika kita merendah dan mengosongkan gelas, dan berfikir bahwa kita sungguh kecil, dan menganggap bahwa setiap kemungkinan sekecil apapun itu adalah mungkin, ya itu saja yang terlintas di pemikiran saya.
“kamu sudah se dewasa ini rizal, aku tidak pernah menyangkanya” kata sari sambil ikut bersender di sofa.
“ya, aku juga seperti itu, aku merasa semuanya terjadi begitu saja dan begitu cepat terjadi”jawab saya mengiyakan kata2 sari.
“rizal, ingat pesanku dulu? Hiduplah dengan baik, jadilah orang yang bermanfaat, kepedihanmu akan membuatmu menjadi orang yang derajatnya lebih tinggidi mata manusia dan Tuhan”
“iya sari, aku selalu sempatkan berdoa untuk menjadi orang yang besar dimata orang lain, namun kecil dimata Tuhan”
sari tersenyum dan mengangguk sambil memandang ke dinding, dia melihat kearah foto keluargaku, terlihat bahagia dan sempurna,terlihat saya yang berada di samping risa yang sedang menggendong abi yang berumur beberapa bulan, jika saya kenang lagi sebenarnya saya menahan tangis yang hampir pecah..
“dan untuk kepedihan terdalamu yang belum begitu lama kamu lalui aku ikut menyesal rizal” kata sari dengan suara yang menurun...
Saya mengangguk takzim, dengan kalimat sari..
“aku sudah ikhlas, apa lagi yang bisa aku lakukan sari?, nyawa bukan menjadi ranah yang bisa ku protes dan ku gugatkan kepada Tuhan, meskipun kamu tau sendiri betapa aku hancur saat itu, seolah hatiku ikut mati, dan yang tersisa hanya jasad yang bergerak dariku, aku merasa sudah tidak memiliki tujuan lagi saat hal itu terjadi,.. dia orang yang menemaniku sejak aku pindah kesini, seoalah dia adalah orang yang dikirim sebagai penggantimu untuk menemaniku ”
saya berkata dengan suara sangat bergetar, sakit sekali..... rasanya pilu, saya tidak bisa berhenti menyalahkan diri saya sendiri saat hal buruk itu menimpa dia... Risa.. Risa yang kalian kenal lewat cerita ini sekarang sudah tidak ada lagi, risa seorang wanita yang paling kucintai dengan sepenuh hati, sudah meninggalkan kami, meninggalkan saya sebagai suaminya dan Abimanyu anaknya, masih dapat saya rasakan perihnya ketika ibuk dan bapaku pergi dan membuat lubang menganga dihatiku, lalu risa.. dia datang membuat luka itu berangsur pulih, tapi ternyata dia datang hanya untuk pergi dan membuat hati ini lebih hancur dari sebelumnya!!masih teringat jelas mungkin itu ingatan yang ingin saya lupakan sekaligus kuingat selamanya, saat dia terpejam,dan tidak bergerak, saat kuteriakan dan kujeritkan namanya sekuat tenaga namun dia tidak bisa lagi menjawab panggilanku, saat tangisku pecah didekatnya, dia tidak lagi menyeka air mataku dan memeluku seperti yang sering dia lakukan, saya guncangkan lagi tubuhnya agar dia menjawab panggilanku, tapi percuma, kini dia tuli, kini dia bisu, kini dia buta..... dan kini risa sudah meninggal.. saya menjerit hingga tenggorokanku serasa putus dan perih, saat ibuk meninggal saya tidak melihat jasad ibu, saat bapak meninggal saya juga tidak melihatnya secara langsung, tapi saati risa... saat risa mengalami hal yang sama saya melihatnya, saya memegang jasad tidak bernyawa itu, dan itu adalah siksaan yang sangat menghancurkanku, “NDUKK!!!!!!! NDUUUKKKKKK!!!!” teriakan saya tidak dapat membawanya kembali, tidak akan mebawanya kembali hidup, saat itu saya merasa ikuut mati saya sudah kehilangan akal dan saya hampir kehilangan iman saya, saat cahaya hati saya sudah redup dirumah duka.. mertuaku datang dari belakangku, dan saya merasakan ada tangan kecil yang memegangku, Abima, yaa dia anaku, kugendong dia dan kutatap wajahnya lekat, anak yang masih polos, tanpa tau hal yang sebenarnya telah terjadi, dia memegangi wajahku dengan tawanya, dia tidak sadar, diumurnya yang kala itu baru 1,5 tahun dia sudah menghadapi 2 cobaan besar... saya peluk abimanyu dengan tangis keras, mungkin dapat didengar oleh pelayat yang datang.
Disitu saya sadar bahwa saya tidak boleh mati, saya tidak boleh gila saya tidak boleh meninggalkan abimanyu, abima adalah satu2nya orang yang mambuatku masih memiliki alasan hidup, dia memang belum bisa bicara tapi abima sudah memberikan lebih dari cukup alasan untuk membuat saya berkata “saya harus bangkit”
Semuanya berduka, semuanya seddih, dengan risa istriku yang meninggal dunia dengan mendadak, saya sudah melanggar sumpah saya sendiri untuk menjaga risa, saya sudah berdosa, dosaa yang sangaat besar...
Pak hamzah, ibu sri mertuaku tidak dapat menyembunyikan duka yang mendalam, anak mereka satu2nya kini sudah tiada, teman2 ku yang datang, semuanya meneteskan air mata, seolah tidak percaya, risa yang ceria, risa yang hampir tidak pernah menunjukan raut sedih semasa remaja kini tinggal kenangan yang hanya bisa diingat, dan saya yang menggendong abimanyu hanya bisa diam dengan segala macam rasa,sakit dan hancur, yang berkecambuk didalam batinku,benar2 kepedihan ini tidak terperi bagi saya, saya sendiri enggan jika harus menceritakan atau memberitau siapapun tentang ini, tentang saya.... Rizal, seorang suami yang sudah gagal menjaga istrinya!!, jika saja tidak ada perkataan dari ridwan kala itu, dan tulisan risa dari diarynya yang menginginkan seluruh dunia mengetahui kisah cinta kami, maka cerita pilu ini hanya akan saya simpan sendiri,tanpa seorangpun boleh mengusiknya...
Saya menahan air mata saat mengingat hal itu, sudah 1,5 tahun saya kehilangan risa, tapi begitu saya mengingatnya peristiwa tragis itu seperti baru terjadi kemarin, kejadianya hanya berselang beberapa bulan saat peristiwa teror abimanyu...
“kamu harus kuat rizal, sekarang dia sudah tenang disisi-Nya” kata sari sambil menepuk pundaku,
Saya tidak menangis, mungkin sudah kering benar air mataku, saya mengangguk kepada sari..
“lalu kapan kamu juga akan tenang?” tanya saya balik..
“segera rizal, tidak ada permintaanku, selain datanglah datanglah di 100 tahun setelah kematianku,tepat 3 purnama dari malam ini”
“Kamu butuh tidur rizal, dan aku akan pulang sekarang”
sari berdiri, kaki mungil itu tiba2 terangkat dan melayang, menuju pintu, saat sari sudah berada didepan pintu dia berbalik dan mengubah bentuknya.
Seperti kalian ketahui, saya pernah berkata kemiripan mereka berdua itu hampir identik, sari mengubah bentuknya seolah umur dan tubuhnya ikut menua seumuranku, dia melambaikan tanganya dan menghilang seketika..
Dan saat itu saya baru menangis, karena sebentar lagi saya juga akan kehilangan teman yang menjagaku dari sepinya masa kecilku, ditambah wujudnya yang serupa istriku yang sudah meninggal.
“Risa... Sari....”
=== Cerita Selanjutnya ===