Saya duduk di samping Wayan yang terlihat murung, anak konyol ini dari pagi tadi sudah meracau karena tidak ingin berpisah dengan kami, “Bli, kamu harus janji besok kalau ke bali harus mampir ke Ubud, kamu tinggal aj di rumahku” begitu katanya berulang-ulang, saya melirik kearah Wardhana yang asik dengan Novelnya, sambil sesekali ngobrol dengan dewi yang sedang asik melihat kumpulan awan dari dalam pesawat berlambang Burung kebanggaan Indonesia ini, novita dan miska, entah apa yang mereka obrolkan hingga mereka cekikian di tempat duduk mereka, sedangkan saya cuma berdehem untuk menanggapi ocehan wayan yang tidak ada hentinya mengomentari kepulangan kami..
Butuh waktu beberapa jam untuk kami sampai di Bandara Soekarno-Hatta, dan di Soekarno-Hatta pula kami berpisah, Dewi akan kembali ke panti dimana dia tinggal, dia sudah punya rencana akan bertemu beberapa lembaga yang berminat memberinya sponsor untuk kelanjutan studinya, Wayan, dia berencana akan meneruskan lanjutan studinya di Tanah air, begitu juga dengan Wardhana, Novita dan Miska, mereka akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dengan dana pribadinya, karena memang mereka semua dari golongan keluarga yang berada, sedangkan saya?? Saya tidak sepintar Dewi yang akan mendapat sponsor, saya hanya orang sebatang kara yang tidak memiliki keluarga kandung dan belum berpenghasilan, tapi saya adalah orang yang sangat beruntung… sangat beruntung.. kalian tentu ingat di beberapa part lalu saya menceritakan kalau saya menadapatkan hak dari Asuransi hidup Bapaku senilai 500 juta?ya dan dari situlah saya akan meneruskan semua yang saya harus lanjutkan.
Di Soekarno Hatta kami berpisah, “jaga diri kalian” ucap saya sebagai perpisahan kepada teman2ku,Wardhana harus kembali kerumah orangtuanya di Malang, Novita kembali ke Medan, Miska dia adalah orang Palembang, Wayan dan Dewi.. kalian tau mereka berasal dari mana..
Masa sekolah dasarku sangat tidak menyenangkan saya banyak menghabikan waktu disana untuk di bully dan di aniyaya lahir batin, dan saya tidak terlalu berat meninggalkan masa itu,kecuali karena harus berpisah dengan sari tentunya, di SMP adalah permulaan saya memiliki teman, cukup sulit untuk berpisah bersama teman masa SMP yang mengajaraiku banyak hal bagaimana bergaul dengan orang lain, sedangkan masa SMA.. hmm tentunya kalian tau masa SMA sangat indah bahkan dijadikan sebuah judul lagu oleh penyanyi tahun 80an, di SMA semua hal baik dan buruk terjadi, hubunganku dengan risa, prestasi2 kecil yang saya raih mayoritas saya dapat di jaman SMA, dan meninggalnya bapaku terjadi di jaman SMA, dan sekarang saya harus berpisah kembali dengan orang2 luar biasa yang menemani perjalananku selama 5 tahun disini, orang2 ini secara tidak sengaja ikut membentuk pribadiku yang lebih dewasa disini. “good bye” lambaian terakhirku mengiringi perpisahanku dengan Wayan, Wardhana, Novita dan Miska..
Kini tinggalah saya dan dewi yang turun di bandara, dewi akan segera kembali ke tempat dimana dia pulang.. lalu kenapa saya malah turun di Jakarta? Bukankah lebih enak jika saya turun di Bandara Adisutjipto? Jawabanya karena saya ingin berkunjung ke suatu tempat.. kalian tau? Saya ingin ke Semarang.
“Zal, kamu gak mau mampir dulu?” dewi menawariku untuk mampir ke panti,
“mungkin lain kali wi, ada yang harus aku selesein, salam buat anak2 dan ibu panti ya” jawabku
Dewi mengangguk takzim, dia adalah cewek yang pengertian, cowok didunia ini mungkin butuh cewek seperti dewi, cewek paket komplit yang langka.
Kami berada dalam satu taxi, obrolan kami masih mengenai seputaran kenangaan2 manis selama perkuliahan, sampai..
“zal, kapan nih kamu mau omong sama orangtuanya Risa?” tanya dewi yang mulai menyinggung rencanaku untuk melamar Risa.
“kapan ya, palingan minggu depan wi, Insyallah semoga aja lancar. Aku juga harus bilang sama om Bowo, soalnya beliau kan waliku sekarang”
Dewi tersenyum sambil menunduk,dia memainkan jari2nya, mungkin ada yang mengganjal di pikiranya.
“ada apa wi?” tanyaku menyelidik.
“ahh egak kok, ikut seneng aja zal, tapi kamu gak boleh lupa sama aku ya meskipun besok kamu udah lamaran dan nikah sama Risa,tetep komunikasi terus sama aku”
“kalau itu aku bisa janjiin ke kamu wi” kataku sambil menoyor kepalanya.
Butuh waktu cukup lama untuk sampai ke tempat dewi, dapat dimaklumi dengan kondisi jalanan jakarta yang yahhh kalian tau sendiri bagaimana, udara berasa sangat terik, walaupun tidak terasa langsung oleh saya yang di dalam mobil tapi dapat terlihat dari pohon yang meranggas di pinggir jalan, perbedaan sangat kontras jika di bandingkan di Melbourne.
Taxi berhenti di depan pagar besi panti itu, seperti terakhir saya kesana terlihat anak2 yang bermain dihalaman, keadaan panti itu sekarang lebih baik, Dewi pernah bercerita jika sekarang panti itu memiliki donatur baru yang memeberikan donasi yang cukup besar jadi masalah kesehatan dan berbagai fasilitas di dalamnya sudah cukup teratasi, anak2 yang tengah asik bermain itu menghentikan aktifitasnya dan memandang taxi yang berisikan kami didalamnya, mereka terlihat senang melihat ada tamu yang datang. Mungkin bayang mereka tiap ada tamu yang datang akan berarti “keluarga baru” bagi mereka , wajah penuh harap akan diadopsi dan mendapat keluargaterpancar dari wajah mereka, wajah kami terhalang kaca mobil yang berwarna gelap itu, dewi membuka pintu, dia keluar dan melambaikan tangan kepada anak2 itu, butuh sepersekian menit sampai beberpa anak2 disana berteriak dan memanggil nama “Kak Dewiiiii!!” mungkin mereka sedikit lupa dengan dewi setelah lama tidak bertemu, sebagian anak lain mungkin adalah penghuni baru yang belum mengenal dewi,
Dewi berlari masuk ke dalam halaman, dan memeluk satu persatu dari anak2 itu, saya tersenyum melihatnya, dibantu sopir taxi saya mengeluarkan bawaan dewi dari dalam bagasi, dan membawanya masuk, dewi masih berlinang tangis dan memeluk erat ibu panti yang menyambutnya dengan haru...Saya tidak punya banyak waktu karena hari sudah menjelang malam, segera setelah berbasa basi sekedarnya saya pamit, “Good luck zal” begitu kata Dewi yang mengiringi kepergian saya dengan lambaian tanganya.
“wi.. kamu sudah pulang” ucapku dalam hati.
Saya melanjutkan perjalanan dengan taxi yang sama, taxi itu mengantarkan saya sampai di sebuah terminal di jakarta barat, saya menenteng koper itu dengan cukup repot, sebentar saja setelah saya melangkah beberpa meter saya di kerubuti beberapa orang, ojek, jasa angkat junjung, calo tiket bis, dan banyak laagi.. “welcome to Indonesia” batinku dalam hati, saya berusaha menolak dengan halus setiap tawaran itu, saya memang sedang buru2 tapi saya tidak bisa mengesampingkan rasa lapar yang sudah terasa menggedor-gedor perutku, saya memanggul koper itu dan pandangan saya tertuju pada sebuah warung dengan tulisan besar yang terbaca “Pecel Lele” saya tersenyum senang, sudah begitu lama saya tidak makan pecel lele, saya duduk di sebuah bangku panjang dan memesan pecel lele dengan tambahanlalapan daun kemangi yang banyak. Rindu juga dengan rasa daun kemangi, selama di Melbourne saya belum menjumpai daun kemangi.. bahkan di Supermarket asia sekalipun...
Sambil menunggu pesanan saya membuka hp, sengaja memang saya belum mengabari risa jika saya sudah sampai jakarta,kenapa? Karena Saya tidak ingin tuli.. saya membayangkan jika saya mengabari risa mungkin dia akan berteriak dengan suara yang sangat tinggi, bukan berteriak, lebih tepatnya menjerit.. tapi rasanya gatal juga jika tidak mengabari anak cerewet itu, saya memainkan menu kkontak pada hp, “Nduk” begitu nama yang tertera pada kontak Risa..
“iya, enggak, iya, enggak, iya enggak” saya malah bicara sendiri mencoba menimbang manfat dan mudharat jika saya menelpon risa malam ini..
“telpon aja lah” begitu ucapku sabil nekat memncet tombol panggil.
Tuuuuuuttt.... tuuutttt...tuuuuutttt belum ada jawaban..
Saya melirik ke jam tangan yang menunjukan pukul 19.45
“Haloo mas... udah berangkat?” tanya suara di sebrang sana...
“udah nduk, ini aku lagi makan pecel lele”
“ha pecel lele? Mas lagi dimana to?”
“aaa.. aku udah sampe jakarta nduk”
“hyaaaa!!!!! Beneran mas? Mas udah sampe jakarta? Seriusan? Yeee asikk.. aku jemput dimana mas?”
Saya menjauhkan speaker hp dari telinga, bahkan panggilan telepon itu tidak saya load speaker tapi tetap saja terdengar nyaring.. sudah saya duga kalau anak bawel itu akan teriak begitu tau saya sudah sedekat ini denganya..
“mas!! Halooo.. pecel lelenya tinggal dulu ahhh!!, ini aku tanya!!!” teriaknya dengan lebih semangat dan lebih kencang.. belum juga makan suruh ninggal apanya.. batinku dengan dongkol, andai saja jika tenggorokan risa bisa di stel secara manual, maka saya akan menurunkan volumenya, agar dia bisa puas teriak tanpa membuat orang di sekelilingnya budeg ...
“iya wel bawel.. jemput aku di semarang aja ya, aku mau nyekar dulu di makamnya bapak ibuk, bisa?”
“bisa mas bisa.. yeyeyye asikk mas udah pulang aaaaaaaa!!!!” teriaknya lagi..
“bisa minta tolong nduk?”
“apamas? Apa? Ada apa? Mas gak kenapanapa kan?”
“bisa gak sih suaramu di kecilin?, takutnya speaker hpku jebol nduk”
“ihh apa sih wajar dong kalo aku teriak seneng mas, udah setaun lebih gak ketemu !, udah kangen... kangennn... kangen.. apa kamu gak kangen mas? Ha apa mas bla bla bla bla”
Saya menaruh hp di meja membiarkan Risa ngedumel sepuasnya, karena saya sedang fokus dengan pemandangan didepanku..
Es Jeruk, Pecel Lele goreng, dengan kemangi, sambel tomat dan nasi yang banyak..
Sikat !!!!!
****
Saya menumpang disebuah bis yang cukup nyaman, didalamnya saya bisa sedikit beristirahat sambil menikmati pemandangan jalanan jalur pantai utara jawa, , satu2nya hal mengganggu saya adalah bunyi ringtone hp yang selalu berdering hampir tiap menit, siapa lagi jika bukan risa dengan segudang pertanyaan tidak pentingnya mengganggu waktu istirahatku... lucu juga, saya sebal dengan orang yang selalu saya rindukan selama 5 tahun...
Pukul 04.15 saya sudah sampai di pinggiran semarang, saya berhenti di sebuah masjid sambil menunggu waktu untuk shalat subuh, rasa kantuk dan lelah perjalanan sudah terasa, tapi saya berusaha menguatkan diri, “udah sampe sini zal” begitu kalimat yang saya ulang dalam hati, ya saya sudah kembali ke semarang, tempat dimana bapak dan ibuku beristirahat untuk selamanya,walaupun sebenarnya jenazah bapak tidak ada di semarang, tapi anggap saja seperti itu.. saya ke semarang untuk melakukan hal yang sia2, yaitu untuk pamer... pamer kepada almarhum bapak dan ibu, saya ingin menunjukan bahwa mereka sudah berhasil membuat saya sampai seperti sekarang, dan berharap beliau akan bangga.. bangga akan putranya yang sudah dewasa ini....
*****
Makam dengan keramik biru itu tampak bersih, hanya beberapa rumput liar tumbuh di sekelilingnya, saya berjongkok dan mencabuti rumput2 itu sambil mengusap2 permukaan licin dari makam yang masih terawat dengan baik itu... saya menabur bunga diatasnya, bau harum dari kanthil menyeruak di hidung, suasana di kompleks makam itu sangat sepi.. karena hari memang masih pagi..
Saya menunduk, lantunan alfatihah saya lafalkan untuk kedua orangtuaku...
“Alhamdulillah” begitu kata saya, saya bersyukur masih bisa bertemu dengan beliau walau hanya dalam bentuk batu nisan, pada kesempatan itu saya tidak menangis, tidak pula bersedih.. saya merasa sangat bahagia, karena saya tau.. Bapak dan Ibuku sudah bahagia di alam sana..
“pak, buk.. Rizal pamit.. terimakasih.. makasih ini semua berkat doa bapak sama ibuk. Dan pak.. buk... Rizal juga mohon doa Restu, Rizal yakin Bapak sama Ibuk bakal setuju, Doakan dan restui Rizal anakmu ini untuk nikah” begitu ucapan terakhirku di depan makam bapak dan ibuk, saya berdiri dan meninggalkan kompleks makam itu, saya berjalan menuju sebuah tempat dimana teman masa kecil saya tinggal..
Rumah tua itu.... ya.. rumah tua itu..rumah itu kini kosong lagi, itulah informasi yang saya dapat dari pemilik warung di sebrang jalan ketika mendapati rumah dinas TNI itu kosong, Pak sangadi dan keluarganya sudah pindah, karena pak sangadi penghuni terakhir rumah ini di pindah tugaskan ke kalimantan.. pagar rumah itu tidak digembok, saya sudah izin untuk masuk ke lingkungan rumah itu kepada salah seorang tetangga, yang ternyata mereka masih mengingat saya..
Krieeetttt... begitu suara pagar berkarat itu ketika saya dorong.. aura disana masih seperti dulu, ada hawa sedikit tidak enak, lumrah jika dari dulu rumah ini dijuluki rumah angker. Saya meneliti keadaan rumah bergaya tahun 50an itu, masih kookoh berdiri tanpa cacat, bangunan jaman dulu memang terkenal awet... saya berjalan perlahan menuju halaman belakang, memori masa kecil saya mulai kembali menghampiri, teringat di masa lalu saya menghabiskan waktu SD saya disini...
Penghuni abadi rumah ini meneringai kearahku, saya berusaha cuek, mereka juga tidak akan berani mendekat.. saya fokus untuk mencari sosok yang saya kenal baik..
“Sari” nama itu terucap begitu saya melihatnya...
“sari!!!!” panggilku dalam bahasa batin..
Jin berbaju putih itu, dia tidak menua sepertiku, dia masih dalam wujud anak2nya, dia bermain di dekat pagar belakang, entah apa yang dia mainkan...
Dia menoleh.. dia tersenyum dan perlahan menghampiriku,
“Rizal.. akhirnya kamu pulang , kamu semakin gagah ya sekarang “ katanya dengan lembut..
“sari, aku kesini untuk bertanya “
“kamu bertanya tentang janjimu zal?”
Saya hanya mengangguk mendengar jawaban sari..
“apa kamu lupa zal?, datanglah setelah 100 Tahun Setelah Aku Mati.. kamu terlalu cepat kesini zal”
“tapi sari.. aku gak tau apa yang bisa aku lakuin ke kamu”
“yang perlu kamu lakukan Cuma datang setelah 100 tahun kematianku zal, cukup itu dulu”
“tapi .... tidak kamu gak mau ngasih petunjuk ke aku?”
“petunjuk zal?, itu gak perlu, kamu bakal tau sendiri kok, zal.. kamu manusia, dan hiduplah bersama mereka, aku Cuma makhluk yang terjebak di dunia fana ini, kamu sudah dewasa sekarang ya? Bukan lagi anak2 yang cengeng dan suka ngompol seperti dulu” ucapnya dengan terkekeh..
“Sari??” panggilku kepadanya
“pulang zal.. pulang.... kamu sudah pergi lama dan jauh, sekarang ini adalah hari pertamamu kembali kan?, tidak baik jika kamu terus berada di dekatku, kita tidak semestinya terus berinteraksi.. bagaimana kabar gadismu? Kamu harus pulang zal, ada orang yang menunggumu, dia seperti aku zal.. dia menunggumu seperti aku, sekarang kamu harus kembali kerumah untuk kamu pulang”
=== Cerita Selanjutnya ===