100 Tahun Setelah Aku Mati #53 - Dewi Dan Husain - Cerita Seram Kaskus

100 Tahun Setelah Aku Mati #53 - Dewi Dan Husain

“Dewi, kamu cerita ya.. ada apa?” tanyaku begitu kami sudah berada dirumah.
Dia masih diam, raut wajahnya masih menyiratkan kesedihan, sangat tidak biasa untuk gadis luar biasa seperti dewi bersikap demikian, sejak awal bulan syawal kemarin dia tampak murung..

“Dewi.... “ucapku pelan sambil menepuk pundaknya..
“hemmm,,, iya iya zal aku denger.. aku Cuma bingung mulai dari mana”
“pelan-pelan aja wi, aku punya banyak waktu.. mau teh? Aku buatin ya”, tawarku pada dewi yang terduduk di sofa. Dewi mengangguk pelan dan saya pun berlalu ke dapur,
Teh hitam pekat dengan seujung sendok gula pasir, bahkan saya hapal dengan takaran teh kesukaan dewi, saya sudah sangat mengenalnya, tapi sikapnya barusan mmbuat saya merasa belum terlalu dalam mengenal dewi, saya buru2 mengaduk teh beraroma melati itu dan menenteng nampan berisi 2 cangkir keramik menuju ruang baca, tempat dimana saya dan dewi sering ngobrol bareng.

“diminum wi” kataku sambil memberikan teh panas itu,

“makasih zal” ucapnya pelan..
Dewi tidak langsung meminum tehnya,dia hanya memainkan jari2nya membuat pola memutar di bibir gelas...
“kamu lagi bingung wi?”
Dia hanya menggeleng pelan
“trus kenapa?” tanyaku menyelidik
“aku lagi kangen”
“kangen sama??”
“Mas Husain”

Mas Husain? Saya mengulang nama itu dalam hati. Nama husain pernah dewi ceritakan, dia adalah laki2 yang pernah dekat denganya, bahkan dewi dan husain bisa deisebut pasangan kasih namun berakhir tragis, Dewi menceritakan kalau Husain sudah meninggal tanpa memberitahuku penyebabnya.
“kenapa dengan mas husain wi?” tanyaku dengan hati2 agar tidak menyinggungnya yang sedang sensitif.
“akhir2 ini aku kangen banget sama sosok mas husain zal, liat kamu bahagia sama risa bikin aku iri, liat kalian bisa komunikasi dengan orang di kampung halaman juga bikin aku iri, aku udah biasa sebenernya, tapi gak tau kenapa zal”
Dewi kembali menunduk, terlihat pertahananya sudah jebol, kesabaranya mungkin sudah dipuncaknya, kesedihanya tidak tertahan, sampai airmatanya keluar tak terbendung, dewi menangis, adalah hal yang sangat langka terlihat, gadis berhati baja ini ternyata mampu cair dengan kenangan dari mantan orang yang pernah mengisi hidupnya, saya merasakan kesedihan yang dewi alami sekarang, rasa rindu kepada orang yang tidak akan pernah kembali benar2 menyiksa batin, apa yang dialami dewi tidak bisa dibandingkan dengan apa yang sudah alami, mungkin beban yang di tanggungnya 2 kali lebih pedih dari apa yang menimpa saya,
Dia anak yang belum pernah mendapat kasih sayang oleh kedua orangtuanya, anak terbuang yang sejak bayi diasuh oleh orang lain, dewi ibarat telur merpati yang dierami puyuh, harusnya dia tidak bisa terbang karena induk puyuh tidak bisa terbang jauh dan mengajarinya untuk terbang tinggi, tapi anak merpati yang kuat itu bisa membuktikan dia bisa terbang lebih tinggi dari pada burung manapun, walaupun merpati itu kini berduka..
Kenapa? Karena merpati adalah burung yang setia pada pasanganya, bagaimana jika merpati ditinggal mati oleh pasanganya? Kira2 itu lah dewi sekarang..

Saya duduk merapat kesamping dewi dan menepuk pelan pundaknya, tangisanya tertahan, dia tidak termehek-mehek seperti tangis wanita pada umumnya, menunjukan bahwa dia tidak ingin kesedihanya mengganggu dan diketahui orang lain, ciri dari orang yang kuat dan low profile, tapi didunia ini tidak ada orang yang terlalu kuat, dewi tetaplah perempuan lembut yang malang..

“dewi, mas husain buat kamu itu artinya apa? Dan sebesar apa artinya buat kamu?” pertanyaanku konyol, mungkin itu akan menyakiti hati dewi, tapi entahlah kenapa mulut saya dengan otomatis mengatakan itu.
Dewi sedikit bergetar, tanganya sedikit mengepal, dan dengan cepat membuat gerakan mengelap wajahnya yang bersimbah air mata, dia menegakan kepalanya dan memandangku..

“dia sosok yang lebih berarti dari siapapun zal, kalo ga ada mas husain, gak mungkin aku sampe sini, kalau gak ada dia sekarang mungkin aku Cuma cewek kuper yang kerjanya ngurung diri di kamar, gak mungkin aku berani ngimpi bisa kuliah disini, dulu aku cewek penakut yang minder karena jadi bahan bully, lalu muncul mahasiswa itu..mas husain... mas husain ...... ... ...... “

Suaranya semakin melemah, dan dewi kembali tenggelam ketangisanya, dia menutup wajahnya dengan bantal sofa.

“dewi... tapi seperti yang pernah kamu bilang ke aku wi, hidup orang seperti kita itu emang gak mudah, wi kalo mas husain masih ada, apa yang dia pikir kalo liat kamu nangis?”

“zal.......” ucapnya dengan suara serak..

“dewi, aku yakin mas husain gak akan mau lihat kamu begini, kalo mas husain yang ngasih kamu semangat selama ini, jangan kamu hilangkan semangat yang dia tularin ke kamu, mas husain tetap akan selalu hidup dalam semangatmu wi”

Dewi kembali mengelap air matanya dan sekali lagi menoleh kearahku, tatapanya seperti kaget.
“zal, kata2mu tadi, persis yang diucapin mas husain terakhir kali” ucapnya setengah berbisik..
Saya belum sempat membalas kata2nya, dewi sudah berdiri dan berjalan menuju kamarnya,
“kamu tunggu disitu” ujarnya sambil melangkah cepat,
Saya masih terduduk sambil melihat arloji, waktu menunjukan pukul 11.00. hari libur seperti ini digunakan oleh beberapa teman2 serumah untuk bekerja part time,di beberapa toko di lingkungan kami . saya mengecek hp, sekedar melihat apakah risa memberi kabar atau tidak, dan ternyata kosong, mungkin dia masih di pesawat.. sedang asik memencet keypad hp dewi muncul sambil menenteng sebuah buku.
Dia menyerahkan benda yang semula saya anggap buku, ternyata itu adalah album foto yang berisi kenanganya dengan almarhum husain..
Saya membuka halaman pertama dari album itu dan melihat sosok almarhum husain yang tercetak pada selembar foto.
Husain dia berpostur tidak terlalu tinggi, mungkin lebih pendek dari pada dewi, badanya kurus dan mungkin bisa dikatakan sangat kurus, kulitnya putih dan dia memakai kaca mata, dia juga memakai jas almamater berwarna kuning, yang merupakan identitas dimana dia berkuliah, disampingnya ada dewi yang masihberseragam osis. Foto itu menunjukan betapa bahagianyamereka,saya membuka halaman demi halaman, album itu berisi foto mereka berdua, diakhir halaman hanya ada selembar foto, tanpa ada foto lain disampingnya, itu adalah foto batu nisan dari husain..
“Dewi, ceritain gimana dulu mas husain hidup” pintaku kepada dewi yang masih tertunduk melihat foto di akhir halaman itu, sorot matanya terlihat sayu seperti biasa.
Dewi menghela nafas panjang, terlihat dia seperti menelan ludah seolah dia berusaha menahan rasa kelu dari mulutnya, kalian tau? Bukan hal mudah menceritakan suramnya masa lalu, ibarat kamu menuang air garam di sayatan lukamu, pedih.. tapi dewi adalah orang yang akrab dengan rasa pedih, rasa sakit dan kepedihan hidupnya yang membuatnya menjadi pribadi yang kuat seperti sekarang,dan dia mulai bercerita.
“zal, mas husain itu adalah pemimpi nomer wahid di dunia, dia punya cita2 yang melebihi kita, aku dari jakarta, kota dengan segala macam fasilitas dan kemegahan dilalamnya, kamu dari jogja, kota dengan budaya terpelajar dan salah satu pusat pesona jawa. Tapi mas Husain dia berasal dari sebuah pulau yang jauh tertinggal dari tempat dimana kita tinggal, kerusuhan, gizi buruk, wabah, pendidikan, moralitas, dan banyak lagi permasalahan di desanya, di daerahnya mayoritas pendidikan anak2 mentok sampai SD, mereka lebih memilih membantu keluarganya di ladang, tapi mas husain dia memilih pergi meninggalkan kampungnya, semenjak masuk smp dia merantau ke Surabaya, sambil bekerja di sebuah toko buku sudut pinggiran kampus ternama kota 10 November itu dia berjuang sendirian, SMA dia lanjutkan tetap di surabaya, hingga nasib baik membawanya Ke kampus makara kuning. Program studi kesehatan masyarakat adalah pilihanya, dia bermimpi seetelah lulus dia akan pulang kampung, membuat perubahan di kampungnya melalui pendidikanya, memperbaiki gizi buruk, masalah sanitasi, moralitas dan sebagainya, dia punya berbagai ide bermacam langkah untuk mewujudkan cita2nya dia tulis di sebuah buku, dia tidak memiliki cita2 sebagai seorang pegawai negri, tidak juga sebagai karyawan perusahaan, dia adalah si kecil kurus yang ingin mengabdi, setiap hari dia membual tentang kelak anak2 di desanya tidak akan lagi memegang belati dan senapan rakitan, molotov dan sebagainya, tapi anak2 itu akan membawa buku, dan penggaris ditanganya, dia bermimpi melihat anak2 yang memiliki impian yang libih tinggi dari impianya, tidak ada lagi anak2 yang mabuk, tidak ada lagi kerusuhan antar kampung dan tidak ada lagi kemiskinan, dan tidak ada lagi orang yang sakit, mati karena kurangnya kepedulian tentang kesehatan.Tapi..... kadang takdir membuat jalan yang berbeda zal.. mas husain meninggal dalam kecelakaan, dia meninggal saat akan menjumputku berangkat sekolah, aku mau tanya zal, apa aku ikut berdosa? Mas husain meninggal lantaran aku.. karena aku zal dia meninggal,dia meninggal bersama cita2nya..... ....... “

Dewi lagi2 tertunduk, dia kembali menangis,kali ini bukan menangis tertahan, dia menangis terisak-isak, mungkin sudah tidak tertahan lagi rasa sedih dan sesalnya, jika kalian ma tau, baru kali ini saya melihat dewi seperrti ini, gadis baja dengan mata sayu ini yang biasanya tegar luar biasa kini ambruk dan menangis dalam sesal kenanganya.

Saya masih diam, saya masih takjub dengan penuturan dewi tentang husain,dia orang yang hebat bahkan lebih tepatnya dia orang yang menakjubkan, cita-citanya sederhana tapi adiluhur, rasa malu terbesit dibenaku, bahkan saya yang sudah menghabiskan setengah dari waktu studiku belum memiliki cita2 yang semulia dan sespesifik husain.

“kamu masih menyayangi mas husainmu wi?” tanyaku perlahan sambil memegang bahunya
Dewi menjawab pertanyaanku dengan anggukan yang kaku.

“kalo kayak gitu wi kamu harus bisa lebih baik sekarang, kamu itu cewek paling kuat yang pernah aku kenal, bukanya hatimu ini ciptaan Allah? Bukan hasil produksi pabrikan tiongkok?, kamu bisa lebih baik dari ini. Tolong wi jangan bikin aku tambah malu lagi, dulu awal ketemu kamu aku udah cukup malu karena tau ada orang yang punya sejarah lebih kelam dari aku tapi dia 2 kali lebih kuat dari aku, yaitu kamu.. dan sekarang kamu malu2in aku dengan cerita husain yang memiliki impian nyata jauh dari pada aku yang saampai saat ini belum bisa mikir sampai sana”

Dewi masih terisak, wajahnya dia benamkan pada bantal yang sekarang sudah terlihat basah karena air mata yang keluar begitu banyak dari dewi, dia masih memeluk sebuah benda kotak,tanpa melihat kearahku dia menyerahkan benda itu, awalnya saya kira adalah album foto yang lain, ternyata itu adalah sebuah buku, buku itu cukup tebal, di sampulnya tertulis tulisan arab yang berarti “Dengan Menyebut Nama Alla Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
Saya membuka halam pertama buku itu,

“pikiran adalah bunga,
Ujaran adalah kuncup,
Dan tindakan adalah buah didalamnya”
-Ralph Waldo Emerson
Halaman pertama buku itu hanya berisi kutipan dari tokoh yang saya kurang paham siapa itu,
Saya membuka lembar kedua, yang berisikan profil dari Muhammad Husain Azhari,
Alamat dimana dia tinggal, tahun kapan dia lahir dan sebagainya ditulis dengan tulisan tangan yang rapi, saya membuka lembar2 selanjutnya yang berisikan apa yang menjadi rencananya, apa yang menjadi impianya, dia menulis rencananya bagaimana membuat sanitasi di kampungnya, dia menulis resep makanan sehat dari komoditas tanaman murah yang bisa diolah, dia menulis bagaimana dia kelak akan membuat kelompok tani, dia menulis bagaimana dia akan membuat teknologi tepat guna dalam pengolahan lahan, dia menulis bagaimana menanggulangi wabah ini dan itu, banyak sekali rencana yang dia tulis berdasarkan permasalahan dilingkunganya, dan tulisan itu bukan hanya tulisan kosong, didalamnya berisikan bagaimana dapat merealisasikan rencana itu..

“hebat” gumamku secara tidak sadar, orang ini tidak sekedar menulis rencana, tapi perencanaan..

Saya jadi menyadari bagaimana saya terlalu sederhana dalam berfikir, saya kurang memahami rumusan masalah yang terjadi di sekitar saya.
“iya zal, dia emang hebat.. makasih ya zal udah mau diajak cerita, kamu tau zal? Kayaknya mas Husain bakal terus hidup, aku ngeliat kamu mirip sama dia zal”
Dewi berdiri dan mengelap sisa air mata yang belum mengering, senyum tipis namun terlihat ikhlas terlihat di wajahnya,

“aku mau sholat dulu zal, aku udah ngerasa sedikt lebih enakan kok” ucapnya kalem seperti biasa,
Saya mengangguk dan menyerahkan kedua benda kepunyaan dewi, dewi menerima album fotonya dan memberikan buku peninggalan husain kepadakku,

“lho kok di kasihin ke aku?, ini kan peninggalan mas husain?” tanyaku yang heran kenapa dewi menyerahkan buku itu kepadaku.

“aku udah apal setiap hurup di buku ini zal, dan aku punya impianku sendiri zal, mungkin kamu lebih cocok nyimpen buku ini, kalau kamu mau mungkin kamu bisa nerusin cita2 mas husain, wlaupun itu dengan cara yang berbeda zal” ujar dewi sambil berlalu dan menuju kamarnya,

Saya masih duduk di sofa sambil menyruput teh yang saya buat sendiri, dan berfikir sejenak.
Bukankah kisah romansa antara Dewi dan Husain itu indah sekaligus tragis?
2 orang yang saling mencintai dan saling menguatkan. Bahkan setelah salah satu diantaranya mati, mereka tetap 2 orang yang saling mencintai.
Sejanak saya menunduk dan berdoa dalam hati, Dewi adalah gadis yang benar2 baik, dan Husain meskipun saya hanya mengenalnya daari penuturan dewi,tetap dia adalah laki2 yang hebat.
Saya memohon kepada Tuhan jika mereka tidak berjodoh didunia, maka jodohkanlah mereka di akhirat.. Amin

Melihat kesedihan dewi akan kerinduanya dengan husain dan mendengar kisah mereka berdua membuat saya bersyukur, bahwa saya masih memiliki Risa. Sekali lagi saya berdoa semoga saya di jodohkan dengan Risa didunia maupun akhirat..
Walaupun saya tidak pernah tau akan ada jalan terjal didepan kami.


=== Cerita Selanjutnya ===