- (Aku akan menceritakan ulang pada saat pelaksaan ritual dengan tidak terlalu mendetail, karena aku tidak menulis diary saat pelaksaan ritual, hanya menulis setelah ritual selesai dan itu tidak menggambarkan hal yang terjadi saat ritual. Karena itu aku akan menuliskannya kembali.)
Aku diminta duduk di lingkaran yang dikelilingi oleh lonceng-lonceng yang diikat pada batang-batang bercat merah yang ditancapkan di tanah. Dengan satu pesan dari nenek Elly “Jangan pernah keluar dari lingkaran”.
Ayano berada di tempat yang memang disediakan untuknya sekitar dua sampai tiga meter di belakangku. Tidak cukup dekat, tapi lumayan untuk membuatku sedikit merasa aman. Karena , entah mengapa ‘dewa jahat’ itu tidak mau mendekatiku kalau ada Ayano di dekatku. Jadi, biasanya dia akan berusaha memisahkan dulu kami berdua.
Dan sekarang tidak ada dinding, pohon atau apapun yang berada di lapangan luas ini. Ayano bisa langsung melihat ke arahku dan aku berpikir, kalau sampai terjadi apa-apa, dia akan bisa langsung berlari ke sisiku.
Terdengar egois ya? Tapi aku benar-benar dalam kondisi panik dan takut sekarang.. membayangkan kalau aku harus berhadap-hadapan dengan si ‘dewa jahat’ itu lagi…
‘CRINGG!!’
Aku dikagetkan dengan bunyi krincingan lonceng yang ternyata berasal dari untaian ratusan lonceng di tongkat yang dipegang oleh nenek Elly.
Bersama dengan bunyi lonceng itu, puluhan ‘pendeta wanita’ yang berpakaian sama dengan nenek Elly, yaitu kebaya putih bersih. Yang membedakan adalah selendang hijau yang dikenakan oleh nenek Elly.
Lalu mereka mulai menari.
Tarian mereka begitu indah dan menawan. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari gerakan-gerakan gemulai para penari yang mengelilingi nenek Elly, dan gerakan nenek Elly sendiri yang begitu luwes dan menghipnotis. Tidak nampak kalau beliau sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun.
‘cringg..cringg…cringg…cringg…’ bunyi lonceng yang dipegang oleh para penari berbunyi nyaring dan berirama. Seakan mengikuti irama tarian mereka.
Kemudian beberapa puluh wanita lainnya, yang juga mengenakan kebaya putih-putih berlari memasuki lapangan yang dipenuhi dengan tarian tersebut. Namun mereka tidak mengenakan lonceng dan tidak membawa satupun lonceng. Sebagai gantinya, mereka membawa semacam tempat yang dianyam dari bamboo yang berbentuk seperti wadah. Besarnya hampir sebesar gendongan jamu.
Para wanita yang membawa wadah itu kemudian berbalik ke arahku dan mulai berlarian membentuk barisan yang memanjang dari tempat nenek Elly menari sampai ke tempatku duduk di tengah lingkaran.
Kemudian mereka menyebarkan kelopak-kelopak bunga yang sangat banyak jumlahnya dan berwarna warni. Mereka menyebarkan kelopak bunga sampai terbentuk semacam karpet bunga yang berwarna-warni. Menutupi jalur yang terbentang dari tempatku sampai tempat barisan penari dan nenek Elly berada.
Lalu, para wanita yang menyebarkan bunga bergabung dengan semua barisan penari lainnya dan membentuk barisan rapi di sebelah kiri dan kanan nenek Elly yang kini sudah duduk bersila tepat tegak lurus berhadapan denganku.
‘CRRIIIRIRIRIRIRIRIRIRIRIRIRIRIRIIIIINGG!!!!!!’
Tiba-tiba seluruh lonceng yang mengelilingiku bergetar kencang begitu kencang seakan hampir membuat lonceng yang berjumlah ratusan itu seperti hampir lepas dari tempatnya diikat.
“Ahhhh!!!” aku berteriak sambil menutup telingaku karena bunyi lonceng yang Cumiakkan telinga itu.
Dengan mata setengah tertutup, aku melihat barisan nenek Elly juga menggoyang-goyangkan lonceng yang dipegangnya dengan berirama. Sehingga seluruh lapangan itu dipenuhi dengan bunyi lonceng.
‘CRINGG!!!!!’
Dan seketika semuanya terhenti. Semua bunyi lonceng berhenti bersamaan. Aku mulai membuka mataku perlahan dan melihat nenek Elly dan barisan yang berada bersamanya kini berwajah tegang menatap ke arahku.
‘cring…’
Beberapa lonceng yang berada di sekelilingku berbunyi pelan.
‘cring..’
‘cring..’
‘krrssskk..’ terdengar bunyi gemerisik bercampur dengan bau korek api terbakar yang sangat menyengat di udara dan menusuk hidungku.
Beberapa kelopak bunga yang berada di tengah-tengah jalur antara aku dan nenek Elly terlihat menghitam dan menekuk, seakan-akan terbakar.
‘cringg…’
‘cringg…’
‘cringg…’
Lonceng yang berada di sekelilingku masih berbunyi berirama dengan pelan. Seirama dengan jantungku yang mulai berdegup keras.
Kemudian aku merasakan hawa dingin yang sangat familier bagiku. Aku memeluk tubuhku dengan reflek.
Tepat di tempat di mana kelopak-kelopak bunga menghitam, asap berwarna hitam mulai bermunculan dan berkumpul membentuk gumpalan besar di atas karpet bunga itu.
Bau korek api terbakar semakin tercium di udara.
‘CRING!!’
Aku tersentak ketika nenek Elly membunyikan loncengnya.
Kemudian, satu per satu barisan yang ada di belakangnya juga ikut membunyikan loncengnya.
‘cring!!...’
‘cring!!...’
‘cring!!...’
Dan asap hitam yang berkumpul itu perlahan-lahan mulai membubung naik dan menghilang. Meninggalkan sosok yang sangat kukenal.
Si ‘dewa jahat’.
‘Mahluk’ itu terlihat sedang duduk di tempat di mana asap itu berada tadinya. Penampilannya kini sudah berubah lagi dari terakhir kali aku melihatnya.
Kini dia sudah mengenakan pakaian raja namun dengan berhiaskan duri-duri yang membengkok seperti tandung yang berjumlah puluhan yang terpasang pada berbagai bagian pakaiannya yang berwarna merah hati. Keliman berwarna emas menghiasi pakaiannya itu dan membuatnya terlihat seperti raja.
Topeng naga yang menutup wajahnya semakin buruk rupa, topeng itu terlihat semakin menempel pada wajah si ‘dewa jahat’ itu. Matanya yang berwarna kemerahan bersinar nanar.
“Ahhh…. Ahhh…..” dengan reflek aku mundur ketakutan sampai salah satu jariku memegang batangan penuh lonceng yang terikat di belakangku.
Si ‘dewa jahat’ itu melihatku. Dan berdiri.
Dengan dibarengi oleh rasa takutku, aku melihatnya berjalan ke arahku seperti biasa. Tangannya teracung membentuk cakar yang aku tau merupakan tandanya kalau dia akan mencekikku.
Sebuah ancaman…
Dan itu jelas membuatku sangat ketakutan. Terakhir kalinya aku disakiti olehnya, dia mencekikku sampai jarinya menembus tenggorokanku. Membuatku merasakan rasanya hampir mati karena kehabisan nafas.
Aku menatap sosok ‘dewa jahat’ itu dengan lemas dan takut. Aku mendengar suara lirih dari mulutku, tapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar. Aku membeku dalam ketakutan.
Tiba-tiba…
‘HAH!!’ ‘CRING!!!’
Nenek Elly berteriak keras sambil membunyikan lonceng yang dipegangnya. ‘Mahluk’ itu berhenti dan menoleh ke nenek Elly. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena tertutup topeng naganya. Tapi aku bisa merasakan auranya semakin mendingin.
Perlahan-lahan, ‘dewa jahat’ itu melangkah mendekati ke arah nenek Elly dan barisannya.
Para ‘pendeta wanita’ yang ada bersama nenek Elly membelalakkan mata mereka dalam ketakutan.
Aku juga merasakan diriku membeku ketakutan.
‘Cringg…’
Suara lonceng yang berbunyi tepat dari belakangku membuatku terkejut. Namun kemudian aku merasakan ada hawa hangat yang berhembus dari belakangku.
Dan diikuti oleh angin kencang hangat yang berhembus tepat ke wajahku.
Sedetik kemudian, aku merasakan hawa hangat dari belakangku, aku kembali berbalik arah dan mendapati sang Piyak sudah berdiri membelakangiku.
Dengan langkah yang bagaikan melayang, sang Piyak meluncur maju.
Aku melihat si ‘dewa jahat’ kini sudah berhenti berjalan, namun, yang membuatku lebih terkejut adalah melihat satu sosok lagi, yang berbentuk sama persis dengan sang Piyak berdiri di depan nenek Elly. Tapi, sosok yang satu ini terlihat jauh lebih berkuasa, dengan baju berwarna hijau zamrud yang terang. Dan sorban mewah berwarna hijau dan bertatahkan batu-batu mengkilat berwarna hijau juga seperti yang dikenakan oleh raja-raja turki.
Kedua sosok sang Piyak meluncur mendekati si ‘dewa jahat’, namun berhenti kurang lebih satu meter sebelum mencapai ‘mahluk’ tersebut.
Kemudian, nenek Elly dan para ‘pendeta wanita’ yang bersamanya mulai bernyanyi.
Nyanyian mantra yang berkumandang bernada sendu, dengan diiringi oleh kerincingan dari lonceng-lonceng yang digoyangkan dengan tarian lembut oleh para ‘pendeta wanita’ sementara nenek Elly bersimpuh sambil mengatupkan tangannya dan menancapkan lonceng yang dipegangnya tepat di depannya.
Dan kemudian kedua sang Piyak mulai mengeluarkan mandaunya dan…
Menari….
Mereka berdua menari dengan mandaunya dan mengelilingi si ‘dewa jahat’ itu. Sementara sang ‘mahluk’ yang berada di tengah-tengahnya itu tampak seperti memberontak seakan sesuatu sedang mengikat dia.
‘HAH!!!’ ‘CRINGG!!!!’
Nenek Elly tiba-tiba berteriak kencang dan dengan serentak, semua lonceng, baik dari batangan yang tertanam tepat di depannya, dan semua lonceng yang mengelilingiku berbunyi bersamaan.
Aku bisa merasakan udara menjadi semakin berat. Seakan menekanku.
Aku semakin merasakan lemas dan pusing seiring dengan bunyi teriakan sesekali dari nenek Elly yang selalu dibarengi dengan kerincingan lonceng yang mengelilingiku.
‘OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOHHHHHHH!!!!!’
Aku terkejut.
Selama ini ‘mahluk’ yang selalu datang untuk menyakitiku itu tidak pernah sekalipun mengeluarkan suara. Namun kali ini, di tengah-tengah tarian kedua sang Piyak, aku bisa mendengar suara teriakan dari ‘mahluk’ itu. Teriakan serupa dengan lolongan marah.
Kemudian ‘mahluk’ itu menoleh ke arahku.
Lubang hitam topeng naganya seakan menatapku tembus. Aku benar-benar ketakutan, badanku gemetaran tanpa bisa dicegah.
Dan…
Dengan mengerikan, leher ‘mahluk’ itu memanjang, dan menerjang dengan cepat ke arahku.
Aku begitu ketakutan sehingga tanpa sadar aku melompat dan mundur.
Tanpa disadari aku sudah melewati lingkaran lonceng itu. Tapi saat itu aku tidak sadar kalau aku sudah melewati lingkaran itu, aku begitu ketakutan dan ingin lari sejauh mungkin dari ‘mahluk’ mengerikan itu. Dengan wajah topeng naganya yang semakin mendekat.
Wajah dari ‘mahluk’ itu sudah benar-benar dekat denganku dan aku semakin melangkah ke belakang.
Dan seseorang memelukku dari belakang.
“Eh?”
Ayano memelukku, dan seketika itu wajah dengan leher yang memanjang itu berhenti di tempatnya.
Aku bisa melihat sebuah cahaya kecil berkilat kemerahan dari dalam lubang mata topeng naga ‘mahluk’ itu.
‘OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOHHHHHHH!!!!!!’
‘Mahluk’ itu kembali berteriak, kali ini dia meliuk-liukkan kepalanya dengan lehernya yang memanjang di hadapanku. Di hadapan kami berdua.
Suaranya terdengar marah dan frustasi. Entah bagaimana aku memang bisa merasakannya.
Kemudian Ayano menarikku menyamping, sehingga kini seluruh tubuhku sudah berada di luar lingkaran lonceng itu.
Aku menyadarinya ketika pergelangan kakiku menyenggol lonceng ketika kakiku yang tersisa di lingkaran bergeser keluar.
“Ah!!” teriakku kaget menyadari kalau aku sudah keluar dari lingkaran perlindungan nenek Elly.
Namun, dengan suara lantang, nenek Elly kembali berteriak. ‘HAHHHH!!!!!!’ sambil menggoyang-goyangkan lonceng yang dipegangnya.
Dan entah dari mana, tiba-tiba kedua sang Piyak sudah muncul di sisi kiri dan kanan leher ‘mahluk’ itu.
Dengan tebasan Mandau mereka yang berbarengan, leher ‘mahluk’ itu putus seketika.
Aku menatap kejadian itu tanpa bisa mengatakan apapun….
Aku melihat ketika kepala ‘mahluk’ itu yang putus terjatuh dan berguling di dalam lingkaran lonceng yang dibuat nenek Elly untuk melindungiku.
Tidak, maksudnya yang kupikir dibuat untuk melindungiku.
Aku tidak mengira kalau ada fungsi lain dari lingkaran itu.
Fungsi yang baru kuketahui setelah nenek Elly dan para ‘pendeta wanita’ mengumandangkan nyanyian mantra mereka sekali lagi.
‘CRINGG!!!!’
Setelah nyanyian itu selesai, sekali lagi mereka membunyikan lonceng berbarengan.
Bedanya adalah kali ini seluruh lonceng yang terikat pada batangan yang ditanam membentuk lingkaran itu putus dan memenuhi lingkaran itu dengan lonceng-lonceng yang berpantulan tidak teratur.
Dan ketika lonceng-lonceng itu selesai memantul, kepala ‘mahluk’ itu sudah menghilang. Tubuh 'mahluk' itupun sudah menghilang menjadi asap hitam.
Aku menatapnya dengan terpana dan takjub, juga dengan rasa bingung…..
Kemudian, aku dijelaskan kalau memang pada rencana awalnya, Ayano yang nantinya akan ‘menjemputku’ untuk meninggalkan lingkaran, sembari mereka akan memancing ‘mahluk’ itu untuk mencapai lingkaran tempatku. Ayano memegang peranan untuk menjagaku karena nenek Elly mendengar kalau ‘mahluk’ itu enggan mendekat kalau ada Ayano bersamaku.
Dan fungsi sebenarnya dari lingkaran itu adalah penjara bagi 'mahluk' itu.
Memang hal yang terjadi berbeda dari rencana awalnya, namun setidaknya penyegelan ‘mahluk’ itu sudah selesai di laksanakan.
Aku sempat menanyakan perihal sang Piyak hijau, namun nenek Elly hanya tersenyum dan berkata “sebaiknya ada hal-hal yang tidak kamu tau” katanya bijak.
Aku masih tidak percaya kalau ‘mahluk’ yang telah menyakitiku selama bertahun-tahun kini sudah tidak akan menggangguku lagi…
====
Beberapa hari kemudian, kami, aku dan Ayano kembali pulang ke Jakarta.
Dan sesampainya di Jakarta, aku dikejutkan dengan banyaknya miss call dari nenekku di kampung yang bersahabat dengan nenek Elly (bukan nenekku yang meninggal saat adikku lahir ya, ini nenekku dari pihak ibu, dan masih hidup sampai cerita ini dituliskan kembali).
Beliau mengatakan, tepat pukul 9:00, yang berarti bertepatan dengan waktu pesawat kami lepas landas, nenek Elly menghembuskan nafas terakhirnya.
Beliau pergi dalam meditasinya dan sambil tersenyum.
Butuh waktu dua jam bagi Ayano untuk menenangkanku dari tangisanku di bandara. Kepergian sosok nenek Elly yang sudah seperti nenekku sendiri begitu berat menghantamku. Apalagi, kepergian beliau itu setelah beliau menyelamatkan aku dari mahluk yang selama ini menggangguku.
Aku sempat depresi untuk beberapa saat, dengan berpikir kalau apakah nenek Elly meninggal karena menyegel ‘mahluk’ itu? Apakah nenek Elly melakukannya dengan terpaksa? Hanya untuk diriku ini? Apakah nenek Elly pernah menyesal karena melindungi aku?
Aku belum mendapat jawabannya sampai ketika Ayano mengatakan kalau nenek Elly masih ada, dan saat ini, beliau malah menjadi malaikat pelindungku…
Tidak akan ada cukupnya rasa terimakasihku kepada nenek Elly.
=== Cerita Selanjutnya ===