Bayangin aja deh itu bikin reaktor butuh berapa minggu, belum uji parameter fisik dan kimianya, jadi mohon maaf banget kalau agan dan sista menunggu lama updatean ane. Kalau pun ane ngga punya urusan RL yang penting, ane juga usaha update sering kok.
Jadi ini adalah cerita ini termasuk filler ya gan, mungkin index khusus untuk cerita prequel dan filler ane pisahin nantinya.
Dari cerita-cerita sebelumnya, ane sudah mengatakan bahwa ane dan kakak telah pindah mengaji di musholla Kyai Bisri. Rupanya kepindahan kami kesini juga memperluas pergaulan kami hingga ke anak-anak kampung sebelah. Anak-anak kampung sebelah ini memang terkenal bebal dan nakal, tak hanya itu mereka juga dikenal suka mencuri buah-buahan yang sedang tumbuh di pepohonan milik warga. Dan dengan bertemannya kami dengan mereka membuat pengalaman ghaib kami juga bertambah.
Siang itu, Mbak Yati, anak kampung sebelah yang lebih tua sekitar 4 tahun dari ane tiba-tiba datang ke rumah dengan sepedanya yang butut. Ia berlarian kecil menuju halaman belakang dan memanggil kami untuk segera pergi bermain. Kebetulan hari itu adalah minggu, meskipun matahari sedang terik-teriknya tak menyurutkan langkah kami untuk segera berangkat bermain. Dengan sepeda butut itu kami berboncengan tiga menuju kampungnya.
Kampung sebelah ini lebih tepat disebut dengan kampung kecil yang terletak di tengah hutan, kampung ini dilingkupi dengan hutan bambu lebat dan dibatasi dengan sungai besar tempat mengalirnya lahar Gunung Semeru.
Perjalanan kesana kami tempuh selama 15 menit dengan bersepeda, dan setelah kami sampai, tak lupa kami berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi bermain di daerah hutan dekat tepian sungai.
Rencana kami siang itu adalah menangkap ikan gabus yang sedang ramai beranakpinak di dekat batuan pinggir sungai. Tiga buah wadah bekas makanan dari pengajian atau orang Jawa lebih mengenalnya dengan besek atau wadah berkatan, kami bawa ke tepian sungai sebagai alat menjaring ikan.
Satu jam kami terus berpindah mencari ikan namun tak kunjung mendapatkan hasil, hingga secara tak sadar kami telah pergi jauh ke dalam hutan yang ditumbuhi tanaman bambu besar yang semakin lebat dan gelap.
Kami saling berpandangan dan tercekat melihat pucatnya wajah satu sama lain, karena di kampung ini memang santer terdapat legenda macan putih dan macan belang yang menghuni hutan bambu. Kami saling berpegangan tangan dan segera keluar dari sungai lalu mengambil jalan kecil di bantaran sungai untuk menyusuri jalan kembali menuju kampung. Yang ane ingat saat itu terdapat sebuah batu besar di seberang sungai dengan ukuran yang tak biasa, yaitu seukuran sebuah truk yang anehnya ditumbuhi oleh lumut dan sebuah tanaman bunga, kalau tidak salah itu tanaman bunga sepatu dengan bunga berwarna merah.
Kami yang merinding karena ketakutan melihat angkernya hutan segera mempercepat langkah kaki kami. Angkernya hutan ini yang kami rasakan saat itu adalah dinginnya semilir angin yang bertiup dari arah dalam hutan yang membuat bulu kuduk kami berdiri, selain itu karena lebatnya hutan membuat sinar matahari hanya bisa menembus beberapa cabang bambu sehingga suasananya saat itu adalah gelap meskipun hari masih siang, dingin mencekam, dan hanya dipenuhi oleh suara serangga. Sehingga jika kami menarik nafas pun, suara nafas kami terdengar.
Kami berjalan menyusuri bantaran sungai hampir sekitar 30 menit, namun tak kunjung kami lihat ujung dari hutan tersebut. Kami yang mulai lelah memutuskan untuk beristirahat sebentar, Mbak Yati dan kakak ane, Ariana, segera mengambil selembar daun talas untuk dijadikan alas tempat duduk di bawah pohon bambu pinggir sungai, sedangkan ane sendiri melihat-lihat keadaan sekitar.
Lalu terperanjatlah ane, dan segera menggenggam erat-erat tangan mereka dan berbisik, “Mbak, awakdewe nggak pindah ket mau, deloken watu iku, iku watu wes awakdewe liwati mau. (Mbak, kita nggak pindah mulai tadi, lihat batu itu, itu batunya udah kita lewatin tadi).”
Setelah ane mengatakan itu, ane lihat bahwa Mbak Yati sedang menahan tangisnya karena ketakutan, sedangkan kakak ane memeluk erat lengan ane. Yang pasti ane rasakan saat itu adalah pasrah jika kami ditakdirkan hilang, dan tentunya kami merasa sendirian dan pasrah jika memang tidak mendapatkan bantuan. Di hutan ini sendiri memang telah banyak memakan korban, mulai dari anak-anak yang hanyut terbawa arus sungai hingga anak-anak yang hilang dan tidak ditemukan setelah masuk ke dalam hutan.
Saat kami bertiga berpelukan karena kedinginan akibat baju kami yang basah, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara auman keras harimau dari dalam hutan yang membuat nyali kami makin menciut. Disitu kami sama-sama berdoa meminta keajaiban supaya kami bisa pulang kembali.
Kresek...Kreseekk...Brukk...
Terdengar seperti suara loncatan kaki di sebuah tumpukan dedaunan kering, dan disitu secara jelas kami bertiga melihat seekor harimau putih besar sedang berdiri di ujung hutan seberang sungai tempat kami sedang duduk. Harimau putih ini menggeram sekali lagi dan berpindah untuk berdiri di atas batu besar tadi.
Kami saat itu hanya ternganga dan takjub melihat ia dengan gagahnya duduk di atas batu besar yang ditumbuhi bunga sepatu itu lalu melihat ke arah kami bertiga (namun lebih cenderung ke memperhatikan kami).
Dan entah kekuatan dari mana, ane merasa seperti ditarik ke masa lalu dan melihat seperti potongan-potongan sebuah film cerita rakyat. Dimulai dari seorang pemuda berpakaian jawa yang diasingkan oleh masyarakat yang saat itu masih banyak yang memeluk agama Hindu. Disini sang pemuda akhirnya mengasingkan diri dengan bersemedi di sebuah batu besar di pinggiran hutan lebat. Ia bersemedi hingga berpuluh tahun lamanya hingga terbangun karena mendengar sapaan seorang pemuda yang saat itu sedang tersesat. Potongan gambar selanjutnya menunjukkan bahwa pemuda yang tersesat tadi akhirnya berguru pada pertapa tersebut dan berniat untuk menyebarkan agama Islam pada warga sekitar. Pertapa ini dari semedinya belajar berguru dan menghadiri setiap pengajian yang dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga, ane kurang paham dengan sistem ilmu ini, mungkin kurang lebih mirip seperti perjalanan sukma atau arwah sedangkan raga kita tetap berada di tempat.
Kedua guru murid ini akhirnya pergi ke luar hutan untuk menjumpai kampung terdekat dan memulai berdakwah pada masyarakat sekitar, namun sayang karena fitnah dari tetua desa, kedua orang ini dikejar dan diancam akan dibunuh oleh masyarakat desa. Mereka berdua pun akhirnya berlari kembali ke dalam hutan, namun 5 orang berhasil mengejar mereka dan akhirnya membunuh si pertapa tepat di atas batu tempat ia bersemedi. Sedangkan sang murid, ia dibunuh di dalam hutan. Mayat mereka dibiarkan membusuk dan tidak dikubur, namun sebelum nafas mereka berhenti, sang pertapa mengucap syahadat dan berjanji bahwa dengan kematiannya akan memberi pelajaran dan mengingatkan pada masyarakat desa bahwa tindakan mereka salah.
Dan semenjak itulah tumbuhlah bunga sepatu di atas batu tempat sang pertapa dibunuh. Sedangkan kematian mereka ditandai dengan kemunculan harimau putih yang dipercaya sebagai jelmaan sang pertapa dan harimau belang sebagai jelmaan sang murid.
Setelah ane ditarik melihat masa lalu tersebut, ane terduduk lemas dan terengah-engah. Matahari pun semakin ke arah barat, pertanda senja akan segera menjelang. Sedangkan Mbak Yati dan kakak ane, tidur terlelap berbantalkan tumpukan dedaunan kering. Harimau putih yang sedari tadi duduk di atas batu, kemudian beranjak pergi ke dalam hutan, dan saat itu juga ane mendengar gema suara laki-laki yang mengatakan, “Cah ayu, kowe lek arep mulih liwato dalan tengen, ojo lali methiko sik kembang sepatu kuwi, mengko yen wis metu, guwaken kembang kuwi nang aliran banyu kali. Jenengku Raden ******, kowe sing ngati-ngati nggih nduk. ( Anak cantik, kamu kalau ingin pulang ambillah jalan sebelah kanan, jangan lupa petik dulu setangkai bunga sepatu ini, dan jika sudah keluar, jangan lupa buang bunga itu ke aliran air sungai. Namaku Raden ******, kamu yang hati-hati ya nak).”
Setelah itu ane membangunkan Mbak Yati dan kakak ane, dan mengajak mereka pulang. Tak lama setelah kami berjalan cukup jauh, kami mendengar sayup-sayup suara-suara ramai sedang memanggil kami.
“Arisaaaaa.....”
“Arianaaa......”
“Yat.... Yatiiiii.....”
Suara orang-orang saling bersahutan memanggil kami, dan setelah keluar hutan barulah kami sadar bahwa hari telah malam, dan kami segera mempercepat langkah kami. Suara orang-orang kemudian berhenti memanggil setelah melihat bayangan tiga orang anak sedang berjalan mendekat.
Sehari setelah kejadian kami bertiga menghilang, kampung sebelah digegerkan dengan aliran sungai yang sangat jernih dan bunga sepatu yang bertebaran di sepanjang bantaran sungai, sedangkan Mbak Yati dan kakak ane jika ditanya sama sekali tidak mengingat kejadian saat kami bertiga bertemu dengan harimau putih tersebut.